Ulang tahun adalah berkumpulnya kado-kado, kue tart, ucapan selamat dan pesta. Tapi tidak dengan ulang tahunku. Tak ada kue tart, tak ada kado, bahkan tak ada ucapan selamat satu pun. Papaku melarang membuat pesta. Ia bilang lebih baik uangnya ditabung untuk biaya melanjutkan kuliahku kelak. Satu hal lagi, yang paling buruk adalah kakak yang paling ku benci Annes, pulang dari paris untuk liburan kuliah. Itu artinya tak akan ada perhatian sedikit pun untukku. Semua akan memperhatikan anak kesayangan papa dan Mama yang menyebalakan dan sok pintar itu. Lengkap sudah penderitaanku dihari ulang tahunku yang tiba dua hari lagi.
Aku mendengar pintu depan terbuka dan terdengar suara gaduh dari ruang tamu. Aku melongok keluar kamarku di lantai dua untuk memastikan, dan ternyata memang benar kak Annes tiba dengan sambutan yang kurasa terlalu berlebihan dari papa dan mama. Senyuman Papa dan Mama yang tak pernah sekali pun diperlihatkan didepanku kini diumbar begitu saja ketika ada kakak.
Kak Annes menatap ke arahku lalu ia tersenyum sambil melambaikan tangan seperti seorang artis menyapa penggemarnya. Cih! Memuakkan sekali! Aku tak sudi membalas sapanya. Memangnya dia pantas disebut sebagai kakak? Mentang-mentang mendapat beasiswa kuliah di perancis dia berlagak begitu penting di rumah ini. Aku langsung melengos kembali memasuki kamarku dengan muka cemberut.
Aku melajutkan menggambar komik di kamar. Tak lama kemudian tanpa kusadari tiba-tiba ibu masuk ke kamarku. Aku langsung gelagapan dan menyembunyikan komik-komik yang baru saja ku gambar. Kalau mama melihatnya bisa dimarahi habis-habisan aku. Tapi semuanya terlambat. Aku tak bisa menyembunyikan kepanikanku dari Mama.
"Apa itu!?" Mama mendekatiku dan bersiap untuk marah.
"Aku sedang menghafal pelajaran untuk ujian besok." Ucapku berbohong. wajah Mama terlihat garang. Ia menarik tanganku yang sedang menyembunyikan komik. Dan ia menarik lembar-lembar komikku dengan kasar. Ia kelihatan begitu marah. Aku hanya menunduk ketakutan.
" Aku menyuruhmu belajar kan? Tapi apa yang kau lakukan!?" Mama membentakku. Mama merobek-robek komikku " dasar anak tidak berguna!" bentak Mama. Aku menangis meronta.
"Jangan ma…" ucapku sambil menangis. Tepat saat itu kak Annes masuk kamarku.
"Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau Papamu sampai tahu hal ini." Ucap Mama. Lalu keluar dari kamarku. Kak Annes hanya menatapku dengan hampa lalu berjalan mengikuti Mama. Ini adalah saat yang paling tepat untuk anak kesayangan itu mencari muka, menjelek-jelekkan aku dan membantu Mama menetapkan peraturan baru untukku. Aku melongok keluar dan mengintip Mama dan kakak yang berbincang-bincang di ruang tamu. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Aku hanya melihat wajah Mama yang terlihat sedih, lalu aku melihat kak Annes menunjukkan lengannya pada Mama. Seperti ada bekas luka di lengannya. Mama terlihat semakin sedih. Ah mungkin kak Annes hanya sedang mengeluh tentang luka yang dialaminya saat di Paris. Aku mengabaikannya dan kembali ke kamar. Berbaring ditempat tidurku yang hangat untuk melepas sedikit rasa sedihku.
Hari Ini adalah saatnya. Hari ulang tahunku. Tapi aku tahu tak akan ada hal yang spesial hari ini. saat akan berangkat ke sekolah aku melihat boneka kucing mungil yang sangat lucu di meja ruang tamu.
Aku mengambilnya. "Ih! Lucunya…" ucapku sambil tersenyum mengamatinya. "Boneka ini untukku ya Ma? Pasti kado ulang tahun dari mama ya?" tanyaku pada Mama saat ia melintas didepanku. Mama hanya menatapku dengan sinis lalu pergi dengan cemberut. Ah jangan-jangan ia masih marah dengan kejadian kemarin.
Lalu kak Annes turun dari kamarnya dan menatapku. "Oh, pichan! Aku mencarimu kemana-mana!" serunya ketika menatap boneka yang kubawa. Ah, bagaimana aku bisa lupa kalau anak kesayangan papa itu ada dirumah dan ternyata boneka kucing lucu itu miliknya. Aku melempar boleka itu sebelum kak Annes menggapaiku. Aku segera berlari keluar rumah dan masuk ke mobil Papa.
Mama berlari mengikutiku. "Kau tak boleh bersikap seperti itu pada kakakmu!" teriak Mama marah padaku. Kak Annes menggenggam lengan Mama dan menggeleng. Ia mencegah Mama memarahiku. Mama menghela nafas lalu masuk rumah. Tak lama kemudian Papa menghampiri mobilnya dan kami pergi ke sekolah tanpa berucap sepatah kata pun. Begitulah sikap papa padaku. Sama sekali berbeda dengan sikapnya pada kak Annes. Papa sangat ramah pada kak Annes. Seperti dengan rekan kerjanya saja. Tapi denganku Papa tak pernah berbicara. Papa seperti tak pernah menganggapku ada. Ia hanya berkata padaku jika ingin memarahiku saat aku membuat kesalahan.
Saat pulang sekolah Mama menyambutku dengan senyum. Ini tak seperti biasanya. Biasanya saat marah Mama tak akan mau bicara denganku selama dua hari. Pasti ada sesuatu di rumah ini. Mungkinkah Mama menyiapkan sebuah kejutan untukku. Mataku berkeliling menyapu ruang tamu dan aku tak menemukan apapun yang patut dicurigai sebagai kejutan. Mama pun hanya tersenyum sebentar saja tadi, lalu kembali ke dapur.
Aku melanjutkan berjalan ke kamar aku terkejut ketika melihat kotak besar berwarna biru langit warna kesukaanku diatas tempat tidurku. Dan dimeja aku melihat kue tart bertuliskan happy birthday Luca. Pasti dari Mama. Ucapku dalam hati. Aku segera membuka kado untukku dari Mama untuk pertama kalinya dalam hidupku. Isinya satu set peralatan membuat komik. Mulai dari pensil mekanik, penghapus, drawing pen berbagai ukuran, sampai tinta dan kuasnya. Aku terkejut saat melihat boneka kucing mungil berwarna hitam berkilau yang ku kenal tadi pagi bernama pitchan didalam kado itu juga. Aku segera tahu kalau tarnyata kado itu bukan dari Mama tapi dari kak Annes. Ada kertas surat berwarna biru langit dibawahnya.
Aku membuka dan membacanya. 'Selamat ulang tahun akdikku tersayang. Maaf untuk semua kekacauan yang terjadi karena kehadiranku. Aku tahu kau kecewa padaku karena aku tak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Aku tak bisa membantu apa pun masalahmu. Dan hanya membuatmu sakit hati dengan sikap Mama dan Papa yang berbeda denganku dan denganmu. Aku juga tak bisa menjadi teladan yang baik untukmu. Tapi meski jarak memisahkan kita, aku akan tetap membantumu dengan segenap kemampuanku. Jangan pernah menyerah untuk menggapai mimpimu. Ciptakan komikmu tapi jangan mengorbankan sekolahmu. Aku sudah bicara dengan Mama dan Papa mereka akan mengijinkanmu membuat komik jika nilai rapormu tak ada yang kurang dari tujuh satu pun. Berjuanglah! Aku menunggu komikmu disini. Maaf hanya itu yang bisa ku lakukan untukmu. Disini ada hati yang sangat menyayangimu. ^-^'.
Entah mengapa tiba-tiba air mataku meleleh saat membaca surat itu. Betapa selama ini aku selalu berbuat jahat pada kakakku. Tapi ia sama sekali tak membenciku. Ia memang sangat mirip dengan Diva sahabat baruku. Mama memasuki kamarku dan duduk disebelahku.ia menatapku dengan seksama. Ia menatap fotoku yang tergantung di dinding sanbil tersenyum.
"Melihatmu aku jadi ingat Annes ketika masih kecil. Kalian sangat mirip." Ucap mama. Aku begitu terkejut. Mana mungkin aku mirip dengan kak Annes? Anak kesayangnan Papa yang begitu sempurna itu. Mama menatapku yang terheran-heran.
"Sebenarnya Papa ingin dia jadi guru. Tapi Ia sangat suka menggambar sepertimu dan ia bercita-cita ingin menjadi perancang busana. Setiap hari ia mencuri waktu untuk menggambar. Setiap hari juga Papanya memergokinya dan setiap hari Papa memukuli lengannya dengan gagang sapu hingga memar. Tapi ia sama sekali tak menyerah. Ia terus menggambar dan sampai suatu saat Papanya mengetahuinya mendirikan perkumpulan desainer di sekolah bersama terman-temannya. Papa langsung menyeretnya pulang lalu memukuli tangannya hingga berdarah. Papa terus memukulinya sampai ia berjanji tidak akan menggambar lagi. Tapi Annes sama sekali tak bergeming. Ia malah berteriak sambil terisak. DENGAN TANGAN INI AYAH! AKU AKAN MENGGAPAI MIMPIKU MENJADI DESIGNER! Papamu menyerah dan meninggalkannya. Mereka tak pernah berbicara sampai kakakmu beranjak SMA lalu ia berkata pada ayah. Tuhan menciptakan kita berbeda seperti pelangi yang berwarna-warni. Kalau ayah bahagia menjadi guru, dan ayah pikir aku akan memperoleh kebahagiaan yang sama jika menjadi guru, itu salah. Kita memiliki jalan yang berbeda. Aku tahu ayah selalu berusaha agar aku jadi orang yang berguna, tapi Tuhan memberiku akal supaya aku menentukan jalanku sendiri. Lalu ia berkata, ia mendapat beasiswa kuliah desainer di paris. Tentu saja Papa sangat bahagia. Dan ia ingin memperbaiki hubungan yang dulu rusak dengan kakakmu." Ibu bercerita sambil menangis.
"Kalau begitu aku akan jadi guru saja." ucapku. Mama malah terkejut mendengar ucapanku. "Guru komikus tentunya." Lanjutku sambil tersenyum. Mama juga tersenyum dan mengelus kepalaku.
"Kemarin saat Mama memarahimu kak Annes mengingatkan Mama tentang luka di tangannya. Ia berkata ia tak akan membiarkan Luca mengalami luka yang sama seperti dia." Aku menangis semakin menjadi-jadi. Jadi luka yang ditunjukkan kak Annes kemarin adalah bekas luka karena dipukuli Papa saat masih kecil. Ada rasa sesak mengalir di tenggorokanku dan menjalar ke ulu hatiku. Aku tak menyangka kakak begitu teguh dan berani. Aku saja tak akan mungkin berani melakukan hal seperti itu. Bahkan ia pun tak ingin aku mengalami sakit sepertinya. Aku menangis mengingat setiap perlakuan burukku padanya.
"Dimana kakak?" hanya kata itu yang bisa kukatakan pada Mama. Aku ingin meminta maaf padanya.
" Ia sudah kembali ke Paris. Ia bilang ia akan kembali setelah Luca memaafkannya."
Aku malah semakin senangis menjadi-jadi. Mama memelukku juga sambil menangis.
'Kehidupan yang tak teruji bukan kehidupan yang berharga bagi seseorang.' (plato)