Nana lama sekali menunggu Kojiro di depan pintu.
Uuh..si tukang ngaret itu menyebalkan sekali. Aduh…dinginnya…
Kriing..! Kriing…!
Akhirnya anak laki-laki itu muncul juga di ujung jalan dengan sepedanya yang seperti baru karena sudah dicuci. Wajahnya kemerah-merahan tampak segar dan di bibirnya tersungging cengiran iseng.
'Hei, Unta jelek!" seru Nana. "Lama sekali datangnya! Kakiku sudah kedinginan…"
Kojiro tidak membalas, ia memberi isyarat agar Nana naik ke boncengannya dan gadis itu menurut.
"Ayo, Kojiro! Ngebut, dong…bisa-bisa kita terlambat lagi ke sekolah.." seru Nana sambil menepuk punggung koji keras sekali. Kojiro mengangguk mantap.
"Yuuhuu! Pegangan yang kuat, Nana! Kita terbang…!"
Wah…benar-benar ngebut si Koji ini. Tapi Nana tidak takut. Sejak dulu ia sudah terbiasa menikmati perjalanan kilat bersama Kojiro karena keduanya sering sekali terlambat pergi sekolah.
Sejak masih kecil sekali Nana dan Kojiro telah berteman, apalagi dulu rumah mereka bersebelahan. Ayah Kojiro adalah seorang konsultan bisnis di perusahaan yang berinduk di Jepang. Beliau adalah warga negara Jepang yang menikah dengan seorang perempuan Indonesia dan setelah memiliki dua orang anak laki-laki kemudian memutuskan untuk pindah kewarganegaraan.
Putra pertamanya, Akira kini kuliah di fakultas kedokteran sebuah universitas di Bandung, sedangkan putra keduanya, Kojiro, saat ini masih duduk di kelas tiga SMP bersama Nana.
Dulu rumah yang mereka tempati adalah sewaan karena pemiliknya berimigrasi ke luar negeri, tetapi kemudian anggota keluarga pemilik rumah membeli rumah itu dan keluarga Kurosawa terpaksa mencari rumah baru.
Gara-gara kepindahan itu Nana dan Kojiro kesulitan untuk berangkat sekolah bersama-sama. Kojiro nekat menjemput Nana setiap hari dan hasilnya mereka lebih sering dimarahi karena terlambat.
"Uf, Kojiro..coba tahun lalu keluargamu tidak pindah…pasti nggak akan sesulit ini…" ujar Nana saat mereka duduk-duduk di depan perpustakaan, siswa yang terlambat tidak boleh masuk di jam pelajaran pertama. "Bu Indri selalu marah-marah, ia bahkan mengancam kita tak akan dibiarkannya lulus kalau masih terlambat lagi…"
"Ala…itu kan cuma gertak sambal saja... Si Indri nggak usah dipercaya, deh…" Kojiro melihat ke arah langit lalu tersenyum lebar. Ia bangkit berdiri dan menarik tangan Nana, "Cuacanya bagus untuk mengamati langit…ayo.!"
Nana ikut saja ketika Kojiro berlari-lari ke bukit kecil di belakang sekolah. Mereka lalu duduk santai di atas rumput dan memandang awan-awan indah yang berarak di angkasa.
"Aku ingin cepat besar…" ujar Kojiro, "Aku ingin terbang..."
Nana tak berkomentar. Ia tahu cita-cita Kojiro sejak dulu, ia ingin sekali terbang mengarungi angkasa. Di kamarnya banyak sekali terdapat buku-buku aeronautika dan berbagai model pesawat.
Nana sendiri tak tahu apa mimpinya. Ia menyukai semua mata pelajaran tapi tak mempunyai minat khusus pada satu hal pun, kecuali Basket, karena Kojiro ikut Basket.
"Lihat, Nana! Awan itu seperti seorang perempuan…" cetus Kojiro tiba-tiba, "Lihat, deh… seperti perempuan berambut panjang…"
Nana melihat awan yang dimaksud Kojiro. Ah, ya…Kojiro pandai mengkhayal, demikian pula dirinya.
"Benar…perempuan berambut panjang…mungkin putri yang diculik naga… Lihat awan raksasa di atasnya…"
"Itu jamur bukan naga…ngaco, ah…"
"Oke, kalau begitu siapa perempuan itu?" tanya Nana kesal. Kojiro memicingkan matanya dan berkonsentrasi pada awan tersebut.
"Seperti seorang dewi yang..akh..awannya berubah jadi agak gemuk..kayak ibu-ibu.."
"Memangnya ibu-ibu harus gemuk?" tanya Nana.
"Kau lihat mamaku, kan?" tukas Kojiro,"Walaupun dia mamaku, aku jujur saja kok bilang mamaku gemuk..."
"Tapi mamaku tidak!" Nana tiba-tiba terdiam. Ia membuang muka. "Mamaku…cantik sekali…"
Kojiro tersenyum menenangkan.
"Aku percaya."
Untunglah bel tanda usainya jam pelajaran pertama segera berbunyi. Kojiro dan Nana cepat-cepat masuk kelas. Seperti biasa anak-anak kelas sudah maklum dan tak banyak ribut lagi.
Pelajaran pak Agus membosankan sekali. Ia membuat Matematika jadi hal terburuk dalam hidup murid-muridnya. Karena malam sebelumnya sudah belajar, Nana tak menaruh perhatian sama sekali. Ia sibuk menulis surat di bukunya. Dua hari lagi ulang tahunnya tiba, berarti ulangtahun Diana juga.
Bandung, 24 Mei….
Dear Diana,
Selamat ulangtahun, ya… Tahun ini kita sama-sama 15 tahun (time flies, doesn`t it?), bulan depan aku lulus SMP dan mau masuk SMA Nusantara, kamu bagaimana? Semoga selalu sehat ya. Maaf aku tak bisa memberimu apa-apa..habis, ongkos paket ke Amerika mahal sekali. Salam buat Mama dan Papa..
Nana membaca ulang suratnya dengan sedih. Dadanya terasa sesak. Nun jauh di sana… Papa dan Mama bersama Diana…
Nana merenung lagi. Sejak bayi ia dan Diana hidup terpisah. Diana terlahir dengan jantung cacat yang membuat tubuhnya sangat lemah dan sakit-sakitan. Sebaliknya dengan Nana yang sehat luar biasa.
Walaupun Papa seorang dokter ia tak mampu berbuat banyak. Untunglah ternyata sebuah perusahaan di Amerika berhasil mengembangkan alat pacu jantung yang sementara berhasil mempertahankan jantung Diana yang rusak.
Demi kesehatan Diana, Papa dan Mama pindah ke Amerika. Nana tak dibawa serta karena akan menyulitkan Mama dalam merawat Diana yang sangat lemah.
Di Amerika, Papa mengikuti riset untuk mengembangkan pencangkokan jantung. Mereka berjanji pada Kakek dan Nenek akan segera pulang ke Indonesia begitu Diana sembuh.
Tapi sampai kini Diana belum juga sembuh …
Nana baru mengetahui tentang orangtua dan saudara kembarnya setelah ia berusia 5 tahun. Mati-matian ia belajar menulis agar dapat menulis surat pada mereka. Tetapi… Mama berkata bahwa Nana tidak usah sering-sering menulis surat, nanti mereka bisa menjadi sedih… akhirnya Nana menulis surat hanya pada saat ulang tahunnya…
Semakin lama ia semakin kehabisan kata-kata, seperti bicara dengan orang asing saja. Nana cuma dua kali dikirimi foto dari Amerika. Mama memang cantik sekali, sedangkan Papa masih saja terlihat muda… lalu Diana yang berwajah persis dirinya.
Nana tak mengenal wajah-wajah dalam foto itu sedikit pun.
Saat istirahat tiba Kojiro dan Nana dengan cepat telah berada di kantin sekolah dan memesan masing-masing mie seporsi besar. Keduanya makan lahap sekali.
"Hei, Nana… nafsu makanmu tidak berkurang juga, ya…" tegur Kojiro setelah selesai makan. "Sekali-sekali jadi perempuan, dong…"
Nana mencibir saja.
"Aku kan butuh energi, tahu! Kalau tidak makan segini, bagaimana aku sanggup nenghadapi orang sepertimu… " tukasnya cepat. Kojiro hanya balas mencibir.
"Eh… bagaimana dengan SMA Nusantara ?" tanya Kojiro kemudian. Nana mengerutkan keningnya.
"Memang ada apa di Nusantara?" balasnya.
"Maksudku … Nusantara terlalu bagus untuk orang sepertimu."
Cepat-cepat Kojiro berlari menghindar ketika tangan Nana hendak bergerak memukulnya. Tak ketinggalan gadis itu pun berlari mengejarnya.
"Apa maksudmu?! Apa katamu tadi?"
Kojiro hanya tertawa-tawa sambil berusaha menghindari Nana sebisanya. Tapi dasar lari gadis itu cepat sekali, tertangkaplah ia tepat pada saat bel masuk berbunyi lagi.
"Awas lain kali…"
Sepulang sekolah Kojiro dan Nana yang sama-sama ikut tim Basket berlatih sampai sore lalu lalu pulang bersama.
"Iri, deh …ngelihat pasangan itu…" komentar beberapa gadis yang menyaksikan Kojiro dan Nana berboncengan sambil tertawa-tawa.
"Masa sih mereka tidak pacaran?"
"Katanya sih tidak…"
Sampai saat ini Nana tidak menaruh perhatian istimewa pada anak laki-laki manapun. Apa sih gunanya pacar selain mengantar pulang dan dimintai traktir sesekali? Kalau cuma itu sih, si Koji juga bisa…
Sama halnya dengan Kojiro. Ia paling alergi berdekatan dengan perempuan sebab mereka susah di mengerti. Kalau Nana sih ia kenal baik, toh sejak kecil mereka sudah cakar-cakaran…
"Seminggu lagi Ujian Akhir…sesudah itu ujian masuk ke SMA Nusantara…" ujar Kojiro saat mengayuh sepedanya pulang. Nana berdehem. "Aku seharusnya sudah bosan satu sekolah terus denganmu…tapi apa boleh buat, SMA Nusantara kan klub Basketnya hebat…"
"Aaa…jangan kira aku senang bersamamu terus…!"ujar Nana dengan ketus. Tapi Koji tidak melihat Nana mengatakannya dengan senyum gembira. "…Daripada digosipin macam-macam dan terlambat terus… nanti aku ke sekolah naik angkot saja, ah…"
Koji menoleh dengan keheranan.
"Astaga, Nana …serius, nih?" tanyanya cemas.
Nana tertawa terbahak-bahak.
"Hei…ada apa?" tanya Kojiro bingung melihat Nana tertawa geli.
"Tidak…nggak kenapa, sih..tapi sikapmu itu lucu. Kamu takut kehilangan teman terlambat, kan..? Takut menunggu di luar kelas sendirian, ya?"
Koji mengangguk kuat-kuat.
***
"Nana…ada kiriman paket dari Amerika untukmu…" ujar Nenek di malam sebelum ulang tahun gadis itu.
Dengan gembira Nana segera mengambil kotak besar di atas meja.
"Astaga…nenek…besar sekali hadiahnya…" Cepat-cepat ia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya. "Wah…boneka beruang yang besar sekali…oh, ada kartunya…"
Boston, May...
Dear Nana…
Happy birthday to you and may all your wishes come true. This is my favorite Teddy Bear, I hope you will like it too. Mom and Dad said hallo and happy birthday …. We love you.
Sincerely yours
Diana Auraline
Dari dulu Diana selalu mengirim surat dalam bahasa Inggris karena Nana meminta demikian, ia ingin memperdalam bahasa Inggrisnya melalui surat-surat itu.
Rasanya airmata sudah mengalir tanpa disadari Nana. Ia yakin Diana membeli boneka itu dengan ditemani Mama dan Papa, sementara ia… hanya ditemani oleh Kojiro.
"Nenek mendapat kabar bahwa dalam waktu dekat ini mereka akan pulang ke Indonesia." kata Nenek. "Katanya penyakit Diana sudah mulai sembuh.."
"Oh, ya…? Senang sekali…" jawab Nana dengan gembira, padahal sebenarnya ia sudah bosan dibohongi.
Dari dulu selalu ada kabar bahwa keluarganya akan pulang, namun tiba-tiba saja penyakit Diana kambuh dan kepulangan mereka dibatalkan. Ia sudah cukup mengerti bahwa mereka benar-benar harus berkonsentrasi merawat Diana di Amerika.
Dalam hati ia bahkan berpikir takkan pernah melihat mereka seumur hidupnya.