Setelah jam pelajaran ketujuh selesai, bel berbunyi, dan sekolah pun berakhir. Murid yang mengikuti turnamen nanti mulai meninggalkan kelas tepat setelah guru keluar. Aku hanya mengatakan ganbatte kepada Fuyukawa-san sebelum dia keluar tadi.
Akhirnya turnamen mereka dimulai. Aku hanya bisa berharap timnya Fuyukawa-san dan Nazuka-san bisa menang di pertandingan pertama hari ini. Baiklah, saatnya menuju ke ruang klub.
Memasuki ruang klub yang sudah tidak asing lagi bagi diriku, Shiraishi-san sudah duduk di kursinya dengan secangkir teh di mejanya dan buku di tangannya.
"Halo, Shiraishi-san."
Seperti biasa, aku menyapanya saat masuk ke ruangan ini. Sepertinya sudah menjadi kebiasaanku saat masuk ke ruangan ini untuk selalu menyapa dirinya.
Shiraishi-san melihat ke arahku, lalu mengatakan, "Halo." Nada bicara datar yang sama. Ya, seperti itulah Shiraishi-san.
Aku langsung duduk di kursiku dan mulai melanjutkan bacaanku tentang Ishikawa Goemon. Saatnya menenggelamkan kesadaran ke dalam dunia sastra. Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang sambil menunggu seseorang yang datang mengunjungi klub ini untuk meminta bantuan ataupun saran.
Suasana ruangan yang sunyi membuat kegiatan membaca menjadi sangat nyaman. Aku tidak tahu sudah berapa lama sejak mulai membaca buku ini kembali. Saat mulai merasa haus karena turunnya kadar air di dalam tubuh, barulah aku berhenti membaca dan beranjak dari tempatku menuju meja peralatan teh. Kutuangkan teh ke dalam satu gelas kertas yang masih banyak tersedia ini, walaupun ada satu cangkir dari set peralatan teh ini yang masih belum digunakan.
"Ehem… ehem…" Terdengar seperti Shiraishi-san yang sedang membersihkan tenggorokannya.
Aku menghiraukannya dan kembali ke kursiku untuk membaca.
"Ehem… ehem…" Shiraishi-san melakukannya lagi.
Sekilas, aku memaliingkan pandanganku dari buku yang kubaca ini ke arah Shiraishi-san. Padahal sedang berada di bagian yang seru dari buku ini. Saat kulihat ke arahnya, dia juga melihat ke arahku sehingga mata kami pun bertemu.
Apa "ehem-ehem" tadi merupakan cara Shiraishi-san memanggil diriku? Aku juga punya nama seperti orang lainnya, wahai Shiraishi-san.
"Ada apa, Shiraishi-san?" Aku mulai membuka pembicaraan karena wajahnya tampak seperti kebingungan.
"Sepertinya hari ini turnamennya dimulai."
"Ah, iya. Fuyukawa-san dari tim basket putri bilang kalau pertandingan pertama dimulai pukul 5 sore. Kemungkinan untuk tim voli putri juga sama."
"Begitu ya…"
"Um, ya, gitu…"
"Apa kamu tidak ingin datang untuk menonton?"
"Menonton siapa?"
"Tim voli putri."
"Tentu saja ingin, tapi…"
"Tapi?"
"Ya… aku kan ada kegiatan klub hari ini di sini. Lagian aku ngga tau di mana pertandingannya diadakan."
"Apa kamu tidak penasaran dengan pertandingan pertama mereka?"
"Jadi bohong kalau aku bilang ngga penasaran."
Ah… mungkin aku melamun saat pelajaran Bahasa Inggris tadi karena penasaran dengan pertandingan pertama tim bola voli putri. Apakah mereka bisa menang atau tidak. Pasti karena itu.
"Semoga saja mereka bisa meraih kemenangan di pertandingan pertama hari ini. Kamu sudah melatih mereka dengan baik, walaupun hanya sebentar."
"Ah, um, kamu benar, Shiraishi-san. Semoga aja."
"Dengan begitu, kamu bisa berkencan dengan manajer mereka."
"Eh, itu? Itu kan bukan kencan, cuma nemanin Taniguchi-san belanja."
"Benarkah seperti itu?"
"Ya, benar…"
"…"
Shiraishi-san tidak lagi menjawab dan memalingkan pandangannya kembali ke arah bukunya. Sekilas saat memalingkan padangannya ke buku, dia seperti tersenyum. Apa imajinasiku saja?
Aku pun kembali ke buku yang sedang kubaca. Jumlah halaman yang belum dibaca hanya tinggal sedikit lagi. Hari ini pasti akan kuselesaikan membaca buku ini.
Mengenai hasil pertandingan pertama tim bola voli putri, mungkin nanti Nazuka-san atau Shimizu-san atau Taniguchi-san yang akan mengabariku. Sekarang aku hanya bisa berdoda dan menunggu.
Waktu terus berjalan. Detik menjadi menit, menit menjadi jam. Buku ini pun akhirnya selesai kubaca. Kulihat jam di ponselku, ternyata sudah menunjukkan pukul 17:35. Masih ada waktu sebelum perpustakaan dan sekolah ditutup.
"Sepertinya hari ini tidak ada yang datang. Mari kita cukupkan kegiatan kita untuk hari ini."
"Ah, um, kamu benar."
Di saat aku ingin pamit pulang duluan, Shiraishi-san mengakhiri kegiatan klub untuk hari ini. Timing yang sangat pas. Aku membantu dirinya merapikan tempat ini dan menutup kembali jendela yang ternyata terbuka. Setelah itu, kami keluar dan Shiraishi-san mengunci pintu ruangan ini.
"Sampai jumpa, Shiraishi-san."
"Selamat tinggal."
Setelah mengatakan selamat tinggal di depan ruang klub, aku bergegas menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku. Setelah melewati koridor penghubung antar gedung, aku tiba di perpustakaan. Syukurlah masih dibuka. Baiklah, ayo masuk.
Di perpustakaan pada jam sore hari memang terlihat banyak orang yang membaca dan belajar. Banyak di antara mereka semua merupakan murid kelas tiga. Aku langsung menuju ke konter pustakawan untuk mengembalikan buku ini. Di balik konter ada seorang yang kukenal. Dia adalah Namikawa-san. Ternyata dia sudah melihat ke arahku saat aku masuk tadi.
"Halo, Amamiya-kun. Ada apa?"
"Ah, ini, aku mau kembalikan buku ini." Kukeluarkan buku dari dalam tasku.
"Um… makasih." Namikawa-san telah menerimanya.
"Iya, sama-sama. Kalau gitu, aku pulang dulu."
"Ano, Amamiya-kun…"
"Ya?"
"Mau pulang bareng?"
"Ah, um, boleh. Kalau gitu, aku liat-liat buku dulu."
"Ya." Namikawa-san tersenyum gembira.
Secara otomatis aku pun ikut tersenyum saat melihat senyuman yang indah di wajahnya itu.
Masih ada waktu sekitar 10 menit sebelum perpustakaan dan sekolah ditutup. Aku melihat-lihat buku di rak tapi tidak dapat suatu buku yang menarik perhatianku. 10 menit terlalu sedikit untuk melihat-lihat buku.
Saat aku sedang kebingungan, Namikawa-san menghampiri diriku.
"Amamiya-kun?"
"Ah, Namikawa-san. Pulang sekarang?"
"Iya."
"Yuk."
Akhirnya aku meninggalkan perpustakaan bersama Namikawa-san. Kami pun meninggalkan sekolah untuk pulang.
Di perjalanan, kami tidak terlalu banyak berbicara. Aku tidak tahu harus berbicara tentang apa, begitu juga Namikawa-san. Di saat seperti inilah harus ada sesuatu yang bisa membuat sesuana menjadi hidup.
Di perjalanan sepulang sekolah bersama seorang gadis. Situasi seperti ini sebelumnya juga pernah. Ini merupakan kali kedua bagi kami pulang bersama.
Mengingat kembali saat pertama kali bertemu Namikawa-san di kafe yang ada di kawasan belanja setelah pulang sekolah di hari pertamaku di sekolah ini, rasanya sudah banyak hal yang terjadi. Hubunganku dengan Namikawa-san sudah seperti seorang teman. Tapi, ada satu hal yang belum kumiliki dari dirinya.
"Ano, Namikawa-san."
"Iya?"
"Mau tukaran nomor ponsel dan ID chat?"
Namikawa-san menghentikan langkahnya dan terdiam. Eh, apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?
"Namikawa-san?"
"Ah, um, boleh, kok. Lagian aku juga mau nanyain itu."
"Wah, kebetulan, ya…"
"Iya…" Namikawa-san tersenyum.
Kami pun menukar nomor ponsel dan ID chat milik kami masing-masing. Akhirnya, satu kontak baru terdaftar di ponselku ini dengan nama Namikawa Sakura-san.
"Makasih ya, Namikawa-san."
"Iya, sama-sama."
Kami melanjutkan perjalanan kami. Setelah melewati taman, kami mengatakan selamat tinggal, lalu berpisah karena arah pulang kami yang berbeda.
Tadaima.
Sesampai di apartemen, aku menghidupkan lampu kamar dan langsung tiduran di tempat tidur. Pikiranku penuh dengan rasa penasaran tentang hasil pertandingan tim bola voli putri. Memikirkannya pun tidak ada gunanya. Saatnya siap-siap untuk memasak makan malam.
Saat melihat isi kulkas, ada beberapa bahan makanan yang sudah habis. Karena beberapa hari kemarin sempat tidak fit, aku tidak berbelanja. Untuk makan malam hari ini buat apa saja yang bisa kubuat. Lagian besok hari Sabtu, sekolah libur. Saatnya belanja besok malam saat waktu diskon.
Setelah masak, makan, dan membersihkan dapur, saatnya mandi. Tetap saja pikiranku masih terisi dengan tim bola voli putri. Bahkan sampai terpikirkan saat mandi.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian, aku keluar ke beranda untuk melihat suasana lingkungan tempat tinggalku sambil menghirup udara malam dengan ponsel di tanganku, menantikan kabar dari Nazuka-san atau Shimizu-san ataupun Taniguchi-san.
Waktu terus mengalir secara perlahan tapi pasti. Malam semakin larut dan mataku mulai terasa berat dan semakin berat. Angin malam yang berhembus semakin dingin. Pada akhirnya aku kembali masuk kamar, lalu mengunci pintu ke beranda. Sepertinya kabar dari mereka bertiga tidak akan tiba. Lagi pula, mereka pasti kelelahan sehingga tidak ada waktu untuk mengirimi diriku pesan. Semoga saja tidak ada yang cedera.
Kumatikan lampu sehingga hanya ada kegelapan di kamar ini. Kutarik selimut dan kupejamkan mataku.
Oyasumi…