Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 43 - Chapter 43 "Perasaan yang Lembut"

Chapter 43 - Chapter 43 "Perasaan yang Lembut"

Apa aku ... akan jadi pembunuh?

Aku terduduk lemas di hadapan tubuh Elvian remaja yang tergeletak tak berdaya. Tanda kehidupan di depan matanya semakin menghilang, napasnya kian melemah. Hanya menunggu waktu saja sampai ia kehilangan nyawanya.

Tapi apa ini sudah benar?

Apa membunuh seseorang merupakan tindakan yang tepat untuk saat ini?

Awalnya aku hanya berniat melumpuhkannya saja. Aku tak pernah menyangka anak panah yang kulepaskan akan membuatnya sekarat. Bagaimana ini? Aku tidak ingin melihat seseorang mati di depan mata karena ulahku sendiri. Membayangkan duka yang harus dialami oleh keluarga Elvian ini seketika membuat dadaku sakit.

Aku tahu, aku tidak boleh naif. Di dalam perjalanan panjang ini pasti ada waktunya bagiku untuk menghilangkan nyawa orang lain. Tapi tidak secepat ini. Untuk saat ini aku belum siap untuk menanggung tanggung jawab dan rasa bersalah ketika membunuh orang.

Jauh dalam hati, aku ingin Elvian remaja ini tetap hidup. Seandainya saja bisa—.

"... –ggi. Anggi!!!" Mendadak suara teriakan Dimas menggema di telingaku. Seolah-olah suara itu muncul begitu saja dari kesunyian.

"Eh, a-apa?" balasku terbata-bata, mencoba memperhatikan ekspresi Dimas.

"Menyingkirlah agar Shella bisa memberi pertolongan padanya!"

Saat aku melihat ke depan, Shella sudah ada di sana. Gadis itu duduk di seberangku dan menopang kepala Elvian remaja dengan tangannya. Ia mencoba meminumkan sesuatu yang tidak kutahu pada Elvian. Aku mencoba memahami situasinya, tapi tidak mengerti. Padahal sebelumnya Shella bersembunyi di balik akar pohon untuk menghindari pertarungan, tapi kini ia sudah duduk di samping Elvian itu.

Seketika itu juga sebuah kekuatan besar menarik lenganku dengan paksa, membuatku mau tidak mau harus berdiri guna mengikuti arah tarikannya. Mataku menatap Dimas lamat-lamat, pria itu menampakkan ekspresi gusarnya secara terang-terangan di depanku.

"Aku sudah meneriakimu berkali-kali tadi, tapi kau tidak mendengar," seru Dimas, mencoba memberi penjelasan yang ingin kutahu. "Tadinya aku ingin membawamu pergi. Tapi kamu tampak sangat terguncang, makanya kupikir kamu tidak ingin orang ini mati. Jadinya aku memanggil Shella untuk memberi pertolongan padanya. Semoga saja ia tak menghunuskan tombaknya ke arah kita, setelah kita memberinya kesempatan hidup sekali lagi!" dengusnya sebal.

Mendengar penjelasan Dimas, dadaku langsung lega. Kecemasanku sirna seketika setelah mendapati nyawa Elvian itu dapat diselamatkan. Mungkin aku merasa lega karena bisa terbebas dari tanggung jawab membunuh seseorang. Jika aku membiarkannya mati, rasa bersalah mungkin akan menghantuiku seumur hidup. Tatapan sayu dan wajah pucat pasti Elvian itu akan selalu hadir dalam tidurku.

Selalu dibayangi oleh korban pertama yang kau bunuh bukanlah hidup yang mudah. Jika ada pilihan lain, tentu akan kuambil untuk menghindarinya.

Aku melemparkan pandanganku ke arah Shella yang tengah memberi pertolongan. Dengan lihai ia membubuhkan semacam tumbukan daun herbal di sekitar luka di dada Elvian. Mungkin itu adalah obat pengurang rasa sakit. Kemudian gadis itu mengambil pisau bedah dari tas besarnya, lalu bersiap memberi sayatan lebih besar guna mengeluarkan anak panahku yang menancap.

Seketika itu aku langsung memalingkan muka ke arah lain, membalikkan badanku kemudian berjalan ke depan. Lalu duduk sembari menekuk lutut di balik akar pohon yang tinggi, jadi aku tidak perlu melihat proses yang membuatku pilu. Dimas mengikutiku, pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya duduk di samping dan menemaniku.

"Hei, apa aku salah menyelamatkan musuh?" tanyaku pelan mencoba memecah kesunyian di antara kami.

"Entahlah, aku tidak tahu," balasnya datar sembari menatap jauh ke atas langit-langit. "Sepertinya, tidak ada yang benar dan salah di dunia ini. Lakukan apa yang kau mau saja."

"Aku masih belum siap menanggung beban yang harus kuterima saat membunuh orang."

"Aku mengerti, aku paham perasaanmu," jawab Dimas dengan nada yang menghangatkan. "Memang selembut itulah dirimu."

Aku tidak membalas ucapannya. Hanya terdiam dan menjatuhkan pandangan ke atas tanah. Kesunyian tercipta di antara kami, tidak ada pertukaran sepatah kata pun. Mataku mengerling ke samping, memperhatikan Dimas yang tak memasang ekspresi apa pun. Entah apa yang dipikirkannya tentang hal ini. Penasaran dengan isi kepalanya, aku memulai percakapan.

"Saat melawan Elvian itu, bagaimana perasaanmu?"

"Aku tidak merasakan apa pun," jawabnya singkat tanpa melempar pandangan padaku, sementara aku masih menatapnya. Penasaran dengan ekspresi yang akan ia buat.

"Tidakkah kau takut akan membunuh lawanmu?"

"Yang paling kutakutkan adalah salah satu di antara kita bertiga terluka atau mati."

"Apa kau sudah pernah membunuh seseorang sebelumnya, Dimas?"

"Tentu saja belum," ucapnya sembari memberi senyum kecut. "Maaf saja, aku ini sedikit jahat. Dari pada kau atau Shella, aku lebih memilih orang lain yang mati. Sesederhana itu alasanku bertarung."

Begitu, ya?

Aku jadi sedikit memahami bagaimana perasaan Dimas. Ketika di pertarungan, secara logika orang pasti akan memilih untuk membunuh lawan dari pada harus mati. Hal itu adalah alasan dasar pertahanan diri.

Namun entah mengapa bagiku itu sulit diwujudkan. Aku tidak sanggup membunuh Elvian remaja itu. Usianya jika dihitung dengan umur manusia mungkin dua atau tiga tahun lebih muda dariku. Pikiran terliarku tidak bisa membayangkan diriku menghilangkan nyawa orang yang nyaris seumuran denganku.

Lagipula jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Elvian itu mungkin menyerang kami karena menganggap kami adalah sebuah ancaman terhadap kota yang ia tinggali. Aku, Dimas, dan Shella yang merupakan manusia, telah jauh melewati perbatasan wilayah antara manusia dan Elvian. Wajar jika Elvian remaja itu merasa terancam dengan kehadiran kami bertiga. Mungkin aku juga akan berbuat demikian jika ada di posisinya. Lalu—.

Seketika itu aku tersentak, kemudian menundukkan kepala lalu tersenyum pahit. Yang kukatakan barusan benar-benar omong kosong. Aku tidak yakin dapat berbuat hal yang sama dengan Elvian itu. Jujur saja, sebenarnya aku sudah tahu alasanku tak sanggup membunuh seseorang. Namun aku terus menyangkalnya.

Aku ... tidak ingin melihat orang lain terluka.

Aku tak tahan melihat orang menderita, apalagi karena perbuatanku. Mungkin benar kata Dimas, aku terlalu lembut. Aku tidak bisa menjadi orang dengan tekad kuat seperti dirinya yang akan melakukan apa saja demi keselamatanku dan Shella.

Hal itu membuatku sedikit cemas. Karena jika aku terus membawa sifat seperti ini, hanya akan menyulitkanku di perjalanan ini. Ada kalanya nanti aku harus menghadapi orang-orang yang akan menghalangi jalanku. Pastinya mereka bukanlah orang-orang yang akan menyerah saat kuminta.

Perjalanan ini bukanlah film petualangan anak-anak yang penuh keceriaan dan kemudahan. Ini adalah kenyataan. Akan selalu ada hal yang harus dikorbankan demi mencapai tujuan. Dan demi tujuan itu, aku haruslah memiliki tekad kuat dan membuang sifat lemahku. Aku menunduk menyesali kenyataan bahwa aku masih lemah.

Kuharap ... aku bisa mengeluarkan keberanian itu di waktu yang tepat.

Merasa lelah dengan semua yang baru saja terjadi, membuat kantuk dan lemas menyerang tubuhku. Kusandarkan kepalaku pada akar pohon raksasa dan mencoba memejamkan kedua mata untuk sejenak. Berharap rasa tidak enak ini menghilang seiring berjalannya waktu.

Di kali berikutnya aku membuka mata, aku mendapati gugusan bintang terhampar luas pada langit malam. Rubiel bersinar dengan terang. Ditemani oleh debu luar angkasa berwarna-warni, menjadikan langit ini begitu menakjubkan untuk dipandang.

Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah merasa bosan memandangi langit malam di dunia ini.

Aku mengejapkan mataku, mencoba menjernihkan mata dan melihat ke sekeliling. Saat itulah aku tersadar, bila aku tengah tertidur di pangkuan Dimas. Seketika aku langsung bangkit. Merasa beban di pangkuannya menghilang, Dimas turut terbangun.

"K-Kenapa aku bisa tidur di pangkuanmu?" tanyaku terbata-bata, yang tak mampu untuk menyembunyikan keterkejutanku.

"Tadi kau tertidur dengan posisi tubuh menekuk. Makanya aku membaringkanmu di atas pangkuanku," ujarnya dengan wajah datar, kemudian ia menguap.

"Kau tidak berbuat yang aneh-aneh saat aku tidur, kan?"

"Ya enggaklah! Seenaknya saja menuduh! Padahal aku sudah berbaik hati tak membiarkan kamu tidur dalam posisi menyakitkan seperti itu!" hardiknya dengan nada tinggi.

"Aku minta maaf. Lupakan saja apa yang baru kukatakan," balasku singkat, kemudian segera membuang muka ke arah lain.

Saat mendapati aku tertidur di pangkuan Dimas, entah mengapa wajahku merasa panas. Aku tidak ingin pria itu mengetahuinya, meskipun penerangan di sini hanya berasal dari cahaya Rubiel yang samar. Jantungku sedikit berdebar. Mencoba meyakinkan diriku bahwa Dimas tidak mampu melihat dengan jelas raut wajahku dalam kegelapan ini.

Di saat itulah aku mendengar suara jerit Shella dari balik akar pohon bonsai raksasa ini. Dimas dengan sigap segera berdiri dan memanjat akar pohon, begitu juga denganku yang mencoba menyusulnya. Pikiranku mendadak kalut. Khawatir Elvian itu telah sadar dan berusaha melukai Shella.

Setelah melompati akar raksasa, kekhawatiranku itu sirna. Elvian remaja itu memang sudah sadar. Tapi kondisinya tak memungkinkan untuk melukai atau menyandera Shella, bahkan ia tampak kesulitan untuk bangkit. Noda darah menempel pada bekas lukanya meski sudah dibalut dengan perban berlapis-lapis.

"Seharusnya kau tidak bangun dulu!" seru Shella dengan nada tinggi. Meskipun begitu dia membantu memapah Elvian remaja yang ingin bangkit, lalu menyandarkannya pada akar pohon.

Elvian itu memicingkan matanya pada Shella, kemudian diarahkan padaku dan Dimas. Raut kebencian masih melekat pada wajahnya biarpun baru saja melewati masa kritis.

"Apa yang kalian lakukan di hutan kami, Manusia?" desisnya tajam dalam bahasa Elvian. Membuat kedua temanku kebingungan dan mengandalkanku untuk berkomunikasi dengannya.

"Maaf kalau kehadiran kami membuatmu tidak senang. Ada sesuatu yang harus kami temukan di kota ini," balasku dengan bahasa Elvian. "Aku juga minta maaf telah memanahmu, aku tak punya pilihan."

Elvian itu mencerna ucapanku dengan baik, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kita impas. Kalian sudah memberiku kesempatan untuk terus hidup. Padahal kukira aku akan mati." Lalu matanya memandangku lekat-lekat dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Untuk sesaat dia terheran ketika melihat bentuk telingaku. "Kau ini sebenarnya apa? Telingamu panjang, tapi kulit dan rambutmu sama sekali tidak mirip dengan Elvian. Anehnya, kau juga bisa berbicara dengan bahasa kami."

"Ceritanya panjang. Yang paling penting bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyaku yang kemudian mendekat dan berlutut di sampingnya.

Sekali lagi dia mendelik kebingungan. "Kau ini aneh sekali, ya? Kau bisa saja membiarkanku mati, kenapa harus repot-repot menyelamatkan nyawa musuhmu?"

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya. Lucunya, hal yang ia tanyakan adalah hal yang aku pikirkan sedari tadi.

"Aku tidak ingin melihat orang lain terluka, apalagi karena perbuatanku," jawabku pelan.

Elvian remaja itu memandangiku dan terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Kau pasti tahu kalau hal itu akan menyusahkanmu di kemudian hari."

"Aku sudah tahu."

Dia melenguh panjang, kemudian melempar pandangan ke sekitar dan mendongak ke atas langit. "Ngomong-ngomong, sudah berapa lama sejak matahari terbenam?"

"Entahlah mungkin sekitar satu jam."

"Gawat! Kita harus segera pergi dari sini!" serunya dalam kepanikan. Tanpa mempedulikan kondisinya, Elvian remaja itu berusaha bangkit sendiri walau kepayahan. Hal itu membuat Shella seketika membantunya berdiri.

"Ada apa memangnya?" tanyaku penasaran.

"Malam ini adalah Rubiel Baru. Semakin larut malam, air akan mulai membanjiri seisi hutan ini!"