Wandy berjalan dengan cepat ketika memasuki rumahnya, sikap yang dia perlihatkan ketika sedang berjalan menunjukkan bahwa dia sedang kesal.
"Maron. Sini!"
Wandy memanggil maron dan berbisik kepadanya.
Neka dan Riyad yang berjalan di belakang Wandy berhenti ketika melihat Wandy yang sedang berbisik dengan Maron.
"Baik tuan, akan saya lakukan."
Wandy yang sudah selesai berbisik dengan Maron kemudian berbalik menghampiri Neka dan Riyad.
"Kalian ingin melihat kamarku sebelum kalian menuju ke kamar kalian?"
"Boleh-boleh saja kalau nanti terjadi sesuatu kami bisa langsung menghampirimu."
Riyad dan Wandy mengalihkan pandangan mereka ke arah Neka secara bersamaan.
"Terserah kalian."
"Baiklah ikuti aku. Maron kamu bisa pergi dan Mina kamu ikut dengan kami."
"Siap tuan."
Merekapun berjalan menuju ke kamar Wandy.
Ketika mereka sampai di depan sebuah pintu yang lumayan besar merekapun berhenti.
"Ini kamar ku, ayo masuk akan ku tunjukkan isinya."
"Saat berjalan tadi aku sadar kalau rumah ini memang sangat besar." kata Riyad sambil menengok ke arah kiri dan kanan.
"Ya... Memang rumah ini sangat besar."
Kata Wandy dengan bangganya.
Wandypun kemudian membuka pintu kamarnya dan masuk kedalam.
Melihat Wandy yang memasuki kamarnya Riyad dan yang lainnya pun juga ikut masuk.
"Waaaaaah. Apa-apaan ini."
Riyad terlihat bingung ketika melihat isi kamar Wandy yang di penuhi dengan figure.
Note: Action Figure dapat diartikan sebagai mainan miniatur tiruan dari suatu objek nyata yang ada.
Kamar tersebut sangat luas, terdapat enam lemari kaca yang berisikan figure, empat di antaranya berukuran sangat besar dan di isi banyak figure.
Salah satunya adalah lemari kaca yang berukuran sedang. Lemari itu kurang lebih berisikan sepuluh buah figure.
Dan ada satu lemari kaca yang berisi satu figure saja, Riyad yang penasaran menghampiri lemar kaca itu.
"Wah... Patung mainan ini sangat bagus, boleh ku pegang?"
Riyad terlihat sangat penasaran hingga dia menempelkan mukanya di kaca.
"Jangan! Nanti rusak, dan juga itu bukan patung mainan, itu namanya figure."
"Bukan kah sama saja?"
"Jelas beda lah, ini semua semua koleksiku."
"Jadi kamu tidak memainkannya?"
"Tentu saja tidak bod*h"
"Ayo lah... Jika ku sentuh sedikit tidak apa-apa bukan."
Riyad mulai membuka lemari kaca itu dan ingin mengambil figure yang ada di dalamnya.
"Yah... Aku sendiri tidak masalah, tapi kalau nanti rusak kau harus menggantinya."
"Ini hanyalah patung mainan, aku yakin harganya pasti sangat murah, jadi aku tidak percaya kalau kamu yang kaya akan memintaku untuk menggantinya, hahaha."
"Itu harganya delapanpuluh juta loh."
Wandy menunjuk ke arah figur yang ingin di sentuh oleh Riyad.
"Eh... Delapan... Puluh... Juta...."
"Jika kamu bisa menggantinya maka kamu boleh memegangnya tapi, kalau rusak kamu harus menggantinya dengan figure yang sama."
Mendengar kata-kata Wandy. Riyadpun mengurungkan niatnya dan menutup kembali lemari kaca itu.
'Bagaimana bisa harganya jadi delapanpuluh juta, sangat tidak masuk akal, kalau aku menghancurkannya, bisa-bisa aku berkerja rodi di rumah ini tanpa bayaran sepeserpun.
Di dalam kamar itu juga terlihat sebuah televisi yang besar, dan sebuah komputer lengkap dengan beberapa perangkat keras lainnya.
"Kamu suka buku ya! Tapi apa-apaan buku ini?" kata Neka sambil memperlihatkan sebuah buku dengan cover yang menampilkan gambar wanita seksi.
Didepan Neka terdapat rak buku yang besar, rak itu berisi buku yang sangat banyak.
Tidak mengherankan kalau Wandy memiliki banyak buku, karena dia adalah orang yang mendalami hobbynya, tapi Wandy hanya membeli buku-buku tertentu yang menarik perhatiannya.
"Iya... Itu namanya Light Novel, abaikan sampulnya itu hanya pemanis."
"Aku yakin kalau isi buku ini tidak benar."
Neka mencoba membaca isi buku itu, melihat hal itu Wandy dengan cepat menghampiri Neka dan mengambil buku itu.
"Sebaiknya kamu tidak membacanya." Pandangan Neka saat ini menjadi dingin, Wandy yang melihat tatapan Neka menjadi sangat gugup. "Ah... Iya kurasa sudah waktunya kalian melihat kamar kalian, Mina kamu bisa mengantar mereka, 'kan."
"Baik tuan. Para tamu sekalian silahkan ikuti saya."
"Kamu menggunakan cara licik yaaa... Baiklah kami akan pergi kalau memang itu mau mu."
Nekapun berpaling
Riyad yang melihat hal itu mulai mengikuti Neka dan Mina yang keluar dari kamar Wandy.
Sambil tersenyum Wandy melambaikan tangannya.
Setelah Neka tidak terlihat Wandypun mengelus dadanya.
'Huh..... Untung saja!'
Riyad dan Neka mengikuti Mina dari belakang.
Tidak jauh dari kamar Wandy ada dua buah kamar yang bersebelahan.
"Ini kamarnya, yang pertama kamar tuan Riyad." Mina pun membuka pintu kamar itu. "dan yang di sana kamar Nek.... Ka."
Setelah selesai membuka pintu kamar Riyad, Mina berjalan menuju ke pintu kamar yang ada di sampingnya.
"Wah... Jadi ini kamarku, besar!"
Melihat Riyad yang memasuki kamarnya Nekapun menghampiri Mina.
"Silahkan."
Nekapun memasukki kamar itu.
"Terlihat biasa saja." kata Neka sambil melihat isi kamar itu.
"Selamat siang."
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Neka, mendengar hal itu Nekapun berbalik.
Terlihat seorang Wanita yang memasukki kamar Neka, wanita itu adalah ibunya Wandy.
"...."
'Apa yang di inginkan wanita ini.'
"Kedatangan saya disini ingin mengajak Nenek untuk minum teh bersama saya sambil membicarakan beberapa hal."
Neka yang terlihat kesal mengepalkan tangannya.
Tidak ada alasan apapun yang membuat Neka tidak menyukainya tapi, firasat Neka menunjukkan kalau wanita yang sedang berada di hadapannya itu adalah wanita busuk.
"...."
Neka tidak memberikan tanggapan apapun dan hanya berdiam saja.
"Nenek mau 'kan meminum teh besama ku?"
"Aku bukan nenek-nenek jadi jangan memanggilku begitu."
"Hahahaha... Nenek ini bisa saja bercandanya."
"Tidak. Aku serius."
"Yasudah kalau itu maunya Nenek, kalau Nenek setuju dengan ajakan ku tadi silahkan ikuti aku."
'Tapi dia masih saja memanggiku Nenek'
Ibunya Wandy berjalan keluar dari kamar.
Nekapun juga ikut keluar dari kamar itu, saat itu terdengar suara yang terdengar akrab memanggilnya.
"Neka!" Riyad yang memanggil Neka kemudian menghampirinya. "Kamu mau kemana?"
"Kalau berkenan kamu juga bisa ikut dengan kami, kami akan minum teh bersama sambil menunggu waktu pertarungan Wandy dan Sandi di mulai."
Ibu Wandy mengatakannya sambil tersenyum.
"Ofu!~ Baik saya juga akan ikut."
◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆
Sluuuurrrp!
Teh di tuangkan kedalam gelas.
"Ayo di minum tehnya!"
Ibunya Wandy menawarkan teh sambil tersenyum kecil.
"Ah... Iya, terima kasih."
Riyad kemudian langsung meminum teh yang sudah di sediakan oleh pelayan.
Sedangkan Neka dari tadi hanya berdiam diri sejak dia duduk di bangku ini.
"Sebelum itu perkenalkan, nama saya Kirana."
"Nama saya Riyad! Tante."
"Ah... Tidak usah memakai 'Tante' saya jadi agak malu deh, hihihi."
Kirana tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
"Kalau nama Nenek siapa?"
"Aku bukan Nenek-nenek ingat itu, panggil saja aku Neka."
"Baiklah kalau itu yang Ne... Eh... Neka inginkan."
"Asal kamu tahu saja ya, umur ku sebenarnya lebih muda dari kamu.
"Hihihihihihi. Nenek ini lucu sekali ya, saya mendukung Nenek eh Neka untuk menjadi anak muda." Kirana tertawa kecil, setelah selesai tertawa dia mengusap matanya yang sedikit berair karena tertawa. "Ngomong-ngomong sudah berapa lama kalian berteman dengan Wandy?"
Kirana bertanya sambil menatap ke arah Riyad.
Saat ini Riyad merasa sangat canggung ketika Kirana menatapnya.
Wajar saja jika Riyad menjadi canggung, ketika melihat rupa Kirana yang sangat cantik, dia terlihat seperti wanita muda yang seumuran dengan Riyad karna itulah dia menjadi malu.
"B... Baru hari ini kami berdua me... Mengenalnya tante."
"Sudah kubilang tidak usah memanggil aku dengan sebutan 'tante' umur kita tidak beda terlalu jauh, panggil saja aku kak Kirana."
"B... Baik kak Kirana."
"Ngomong-ngomong bagaimana pendapat kalian berdua tentang pertandingan nanti."
"Hmm... Aku tidak terlalu tahu kak tapi, mungkin Wandy yang akan menang nantinya."
"Heh... Wandy! Biar aku beri tahu, Wandy itu tidak menguasai tekhnik bela diri apapun, jadi apa yang membuat kamu berpikir kalau dia akan menang Riyad?"
"Karna aku lebih kenal Wandy dari pada adiknya, jadi aku lebih memilih mendukung Wandy. Kurang lebih begitu."
"Tapi, Sandi itu kuat loh, dia bisa menggunakan 'Aura' kurasa dia yang akan menang. Jadi bagaimana pendapatmu Nek... Neka?"
"Aku yakin kalau Wandy yang akan menang, memang dia tidak menguasai teknik apapun, tapi dia pasti memiliki rencana tertentu."
Keadaan menjadi hening sejenak hingga Neka mengajukan sebuah pertanyaan.
"Kirana. Kamu 'kan yang mengirim pembunuh kepada Wandy?"
Neka sebenarnya hanya melakukan tuduhan yang tidak beralasan, dia hanya ingin tahu apakah benar dugaannya kalau Kirana terlibat dalam hal ini.
"Hah, apa yang kamu maksud Neka?"
"Tidak perlu berlu berbohong, aku sudah tahu semua itu."
Neka sengaja bersikap seolah dia tahu segalanya dia berpikir jika dia bersikap begitu maka Kirana akan mulai mengaku, jika itu memang dia, yang benar-benar sudah mengirim pembunuh kepada Wandy. Maka inilah kesempatan untuk membuktikan kalau Kirana terlibat dengan hal ini atau tidak.
"....?"
Kirana bersikap kebingungan seperti tidak tahu apa yang sedang di bicarakan oleh Neka.
"Kamu bilang bukan, kalau Wandy tidak bisa teknik bela diri, jadi harusnya kamu berkata kalau Adiknya bisa menggunakan Teknik bela diri tapi, tadi kamu berkata kalau dia bisa menggunakan 'Aura' bukan kah itu seperti pernyataan kalau kamu tahu jika kami bisa menggunakan 'Aura'. Jika benar berarti kamu lah orang yang mengirim pembunuh kepada Wandy. Karna si pembunuh gagal melaksanakan tugasnya jadi dia harus memberikan laporan kalau orang yang bersama dengan Wandy bisa menggunakan Aura."
"....."
Kirana tidak mengeluarkan tanggapan apapun atas perkataan Neka di lebih memilih menundukkan kepalanya.
"Dan juga kalau kamu tahu kami itu orang biasa maka kamu akan berkata kalau Sandi itu menguasai tekhnik bela diri bukan Aura."
Prok! Prok! Prok! Prok!
"Luar biasa, sepertinya kamu sedikit lengah kirana."
Tiba-tiba suara seseorang terdengar.
Neka terlihat bingung dengan suara yang tadinya dia dengar, karena penasaran Neka mengalihkan pandangannya ke segala arah hingga dia melihat ada pelayan yang membukakan pintu.
Dari balik pintu berdiri seorang pria, pria itu berkumis dengan pakaian yang sangat rapi, di ikuti dengan wajah yang terlihat sangat percaya diri dan di tambah sebuah senyuman, diapun berjalan menghampiri Kirana.
Setelah berada tepat dekat dengan Kirana pria itu pun memandang ke arah Neka, kemudian dia mulai memperkenalkan diri.
"Selamat siang, sebelumnya perkenalkan, aku adalah Juni pamannya Wandy.
"Sayang!"
Ketika kata-kata ini keluar dari mulut Kirana, Riyad yang mendengarnya menjadi sangat terkejut.
"HAH!! SAYANG?!!"
"Tidak perlu bersandiwara lagi Kirana lagi pula setelah Wandy kalah mereka juga akan kita usir dari rumah ini."
"Baiklah sayang."
Kirana berdiri dari kursinya dan menuju kearah Juni, kemudian dia merangkul tanggannya.
Wajah cantik Kiranan tiba-tiba berubah drastis ketika dia mulai merangkul tangan Juni, wajahnya yang penuh senyuman berubah menjadi wajah yang penuh penghinaan.
"Ya! Akulah yang mengirim pembunuh itu, walaupun mereka gagal."
Neka tidak menyangka kalau pikiran buruknya kepada Kirana ternyata benar.
"Kamu.... Dasar Nenek Lampir sudah ku duga wanita murahan sepertimu hanya mengingginkan harta sampai-sampai kamu mau dengan pria itu."
"APA MAKSUDMU NENEK SIHIR! Tidak tahu diri beraninya kamu menghina mas Jun. Tak sadar umur, sudah bau tanah masih saja ingin menjadi seperti anak muda, sadar umur lah."
"Kalian berdua....a.... Tenang lah."
Perkataan Riyad di abaikan begitu saja.
Neka dan Kirana saling mencaci maki tanpa memperdulikan keadaan.
"Hah... Apa katamu wanita murahan."
"Apa! Kamu Nenek yang tidak tahu di umur, Aaaa. Aku takut! Ada Nenek-nenek gi*a."
"Sudahlah Kirana. Kita abaikan saja mereka ayo kita pergi, waktunya sudah tiba."
"Humph... Nikmati saja waktu kalian sebelum kalian di usir dari sini Nenek bod*h."
Kirana dan Junipun pergi dari rungan itu sambil bergandengan tangan.
"Kamu... "
Neka menahan amarahnya dengan cara mengepalkan tangannya sambil menunjukkan ekspresi kesalnya.
"Sebentar lagi tigapuluh menit berlalu, waktunya akan tiba."
Seorang pelayan menghampiri Neka dan mengatakan hal itu.
"Yah.. Yah... Tenanglah Neka. Ayo kita keluar, aku yakin Wandy pasti akan menang."
"Huh!" Neka menghela nafasnya. "Baiklah kita akan ke sana."
"Silahkan ikuti saya."
Neka dan Riyad kemudian berjalan keluar dari ruangan itu, dengan mengikuti petunjuk dari pelayan itu.