Chapter 69 - Pikiran Yang Kusut

Sudah hampir dua jam lamanya mata Wataru tak pernah lepas dari Misaki yang belum juga sadarkan diri.

Cairan infus menetes pelan menghiasi keheningan ruang rawat VIP paling mahal nan mewah di rumah sakit itu, seakan-akan berlomba dengan bunyi detik jam dinding di sana—di sore hari, ia meminta agar ruang rawat Misaki diganti dengan kamar paling lengkap dan paling bagus, awalnya permintaan itu ditolak tegas oleh perawat senior super galak di bagian administrasi, dan baru dituruti setelah Shiori turun tangan.

Kakak kedua sang playboy itu terpaksa membujuk sang perawat dengan jatah liburan tanpa potongan gaji selama seminggu penuh agar menyetujuinya, karena Wataru mulai bergumam sendirian soal pemecatan massal dan penutupan rumah sakit dalam semalam saat memandang galak sang perawat yang tengah sibuk membacakan keras-keras aturan rumah sakit yang ketat.

Ruangan VIP rumah sakit itu memiliki dekorasi layaknya sebuah apartemen elit dengan luas delapan puluh meter persegi.

Isinya sangat lengkap, mulai dari kamar mandi shower, toilet, dapur mini serba lengkap (sangat, sangat lengkap), lemari laci untuk pakaian, meja tulis, meja kerja, meja rias (isinya peralatan standar sehabis mandi), satu set sofa minimalis putih berbentuk L lengkap dengan bantalannya, ruang pertemuan santai, telepon, tv, dan fasilitas internet.

Sebagai hiasan, sebuah pot tanaman tinggi berada di dekat sofa minimalis yang berada tepat tak jauh dari kaki ranjang pasien. Di samping pot itu, juga ada sebuah sofa tunggal, tapi sofa satu ini adalah sofa malas berlapis kulit hijau tua berpasangan dengan meja kaca kecil transparan.

Dekorasi ruangannya sangat elegan dan nyaman, didominasi kuning gading dan coklat tua. Ada tiga jendela besar dan sebuah pintu ganda menghadap ke balkon, semuanya berupa kaca transparan bertirai senada dengan nuansa ruangan itu. Beberapa lampu hias ditaruh pada beberapa sudut kamar meski dua buah lampu bundar besar menghiasi langit-langit.

"Luka tembak? Siapa sebenarnya dirimu, Misaki?" Wataru bertopang dagu pada tepian ranjang pasien, memandangi wajah Misaki yang kini terlihat tenang, napasnya begitu teratur.

Lelaki itu menegakkan punggung, lalu duduk bersandar agak rendah dengan gaya arogan yang dingin (anehnya, sangat seksi dan menggoda jika dilihat oleh siapa pun saat ini), matanya melirik pelan meja tulis di sebelah kirinya.

Apa yang tak bisa dilakukan olehnya, sang dewa bisnis, melalui koneksi ditambah jaringan luas di genggamannya? Dengan mudahnya ia bisa mencari tahu sedetail mungkin tentang wanita itu.

Namun, jika ia melakukannya, apakah tidak berlebihan? Buat apa dia melakukan hal sia-sia begitu demi seseorang yang dibenci dan ingin sekali dihancurkannya? Yang bikin darahnya naik hampir setiap waktu? Yang mengacaukan pikirannya seperti pusaran air?

Lelaki itu menyentuh ujung jari-jemari Misaki yang dingin, gerakannya ringkih dan takut-takut, seolah sentuhannya bisa menghancurkan Misaki bagaikan butiran debu.

Matanya berubah lembut. Entah kenapa, hatinya terasa dipenuhi kebimbangan serta rasa gelisah yang menyiksa.

"Kenapa mesti kau yang kubenci? Kenapa aku ingin sekali menghancurkanmu? Kenapa kau selalu memenuhi isi kepalaku? Kenapa aku begitu tak masuk akal begini? Ada begitu banyak 'kenapa'. Aku tak mengerti. Benar-benar tak mengerti...."

Ia meraih jemari Misaki dalam genggaman penuh, mengecup punggung tangannya begitu hati-hati seraya memejamkan mata. Rasa menusuk di dadanya membuat suasana hatinya menggulung bagai ombak pecah, ia melempar kasar tangan sang wanita. Dalam sekejap, ia berubah dingin.

Tubuhnya ditegakkan dan meraih ponsel, dengan raut wajah penuh konflik ia menghubungi seseorang.

"Ini aku, Miyamoto." suaranya tertahan sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari pria di seberang telepon. "Ya. Aku baik-baik saja, Futaba-san. Aku ingin kau membantuku mencari informasi mengenai seorang perempuan. Akan kukirim detailnya lewat email." Berikutnya, helaan napasnya beratnya, sejurus kemudian suaranya terdengar agak kesal tapi bukan amarah. "Aku tahu! Aku tahu! Aku akan berkunjung ke sana nantinya!"

Telepon ditutup, matanya memicing tajam pada Misaki.

Mencari informasi mengenai seseorang tanpa alasan yang legal dan masuk akal, bisa saja termasuk tindakan kriminal. Ia tak akan sudi mencari tahu jika perempuan itu bukan budaknya.

"Nah, Misaki. Kita lihat siapa dirimu sebenarnya. Jangan-jangan, benar kau adalah anggota yakuza?" ia teringat kembali dengan lelucon kecilnya gara-gara aksen Osaka* Misaki. "Wuah... Mengerikan sekali. Sungguh mengejutkan," ia tertawa pahit, detik berikutnya ia terdiam. "Kejadian apa yang menimpamu hingga tubuh kecilmu ini harus menanggung bekas luka semacam itu, Misaki?"

Dengan langkah pelan dan mantap, ia meninggalkan ruangan VIP.

***