"Sama-sama. Aku tidak melakukan sesuatu yang besar. Tentu. Seharusnya aku yang berterima kasih, Uesugi-san. Sampai jumpa."
Reiko menutup telepon. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia berdiri di sudut pintu ganda kaca transparan yang terbuka separuh, tangan disilangkan. Dres kuning selututnya berkibar tertiup angin dari balkon lantai enam rumah sakit. Matanya menyapu seluruh ruangan.
"Dasar brengs*k. Ke mana dia?"
Kakinya melangkah menuju sisi ranjang pasien, wajah kakak sang playboy itu tampak cemas. Meskipun panasnya sudah turun, perempuan bermata empat itu masih belum sadar juga setelah tiga hari empat malam berlalu semenjak ia dibawa ke rumah sakit. Ini membuatnya tak nyaman.
"Pagi sekali mengunjungi calon adik ipar, Reiko?"
Shiori melangkah masuk bersama seorang perawat, hari ini headband-nya berwarna merah muda polos. Tersenyum ramah sembari meraih sebuket keranjang bunga mawar ungu dari perawat di belakangnya.
"Dari Uesugi Ishikawa, katanya."
Reiko terkejut, kemudian mendengus pelan. "Oh, gerak cepat juga dia!"
"Kau kenal?"
"Hanya rekan bisnis. Kebetulan Misaki sempat menjadi pasangan dansanya di acara lelang reuni Wataru."
"Begitu. Bunganya sangat cantik, pasti dipilih secara hati-hati," sang dokter menaruh bunga tadi ke atas meja kecil samping sofa malas, lalu matanya mencari-cari sosok sang adik, "Wataru?"
"Ah... Si brengs*k itu hilang entah kemana. Tau begini, aku yang jaga Misaki sejak awal. Pertemuan dengan klien di luar kota harusnya aku batalkan saja dulu walau penting dan mendesak. Kasihan Misaki sendirian di ruangan seluas ini. Ia bagai burung kenari yang terluka dalam sangkar emas."
"Wataru tak menelantarkannya, kok! Meski aku jarang bertemu dia setiap jam periksa, perawat jaga bilang si bandel itu terus-terusan memencet bel pasien dan menelepon setiap malam. Bukankah artinya dia tidak tidur dan berada di sini sepanjang waktu?"
Shiori memeriksa kondisi Misaki, mencatatnya di papan periksa kemudian memberikannya pada perawat di sampingnya.
"Dia semalaman di sini? Sepanjang waktu? Kalau begitu, di mana dia?"
Shiori mengangkat bahu.
"Saat ini kondisinya sudah mulai stabil. Tapi masih perlu dipantau lagi." Ia menarik kursi untuk duduk. "Perempuan ini pasti sangat kelelahan. Kasihan sekali..."
"Ini sudah lewat tiga hari sejak di bawa kemari dan dia belum juga siuman. Kau yakin tak ada yang bermasalah dengannya?"
"Ya. Dia baik-baik saja, tak ada yang serius, hanya kelelahan dan kurang nutrisi. Tapi, menurutku, aku curiga ini mungkin psikosomatis*. Keadaan yang dipicu oleh depresi atau trauma."
"Psikosomatis?"
"Punya bekas luka tembak pastinya meninggalkan trauma pada siapa pun, jika trauma si penderita terpicu, pikirannya bisa kacau dan menuntun pada stres sampai depresi. Apalagi dengan posisi peluru seperti itu, aku yakin dia pernah berjuang melawan maut. Jika benar, itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan begitu saja. Kecuali...."
"Kecuali?"
"Sang korban hilang ingatan karena trauma hebat."
"Amnesia?"
Shiori mengangguk.
"Tapi, semisal dia amnesia, bagaimana bisa ia masih memiliki trauma?"
"Trauma itu seperti alarm kebakaran, amnesia atau tidak, ia akan berbunyi jika terpicu. Apa Wataru tak mengatakan apapun padamu mengenai perempuan ini?"
"Ah... Tidak. Tidak ada."
"Hmmm.... Seberapa dalam kalian mengenalnya? Bukan bermaksud menuduh, tapi mengundang masuk orang yang tak dikenal dalam kehidupan kita, bisa jadi hal yang berbahaya. Aku tak tahu Fujihara-san itu seperti apa, hanya saja, jika dia benar menderita amnesia, entah apa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Siapa yang tahu, bukan? Bagaimana kalau dia itu kriminal yang tengah bersembunyi? Dari penjelasan Wataru, hidupnya sangat terisolasi. Saranku, sebaiknya kalian memeriksa latar belakangnya. Ini bukan demam biasa walau tak mengancam jiwa, selama aku memantaunya, ia sesekali bergumam tak jelas. Yah, pada akhirnya aku hanya dokter yang hanya bisa menduga dengan hipotesis, juga seorang manusia yang menggunakan insting bertahan hidup."
"Sejak kapan kau beralih profesi jadi detektif, sih?" Reiko menyipitkan mata.
Shiori terkekeh pelan. "Katakan pada Wataru jika bertemu dengannya nanti, berhenti memencet bel pasien dan meneror perawat jaga. Aku sudah berkali-kali memperingatinya lewat telepon dan pesan, tapi tak didengarkan." Ia menghela napas. "Aku jadi malu pada rekan-rekan kerjaku di sini, menjadi pusat perhatian seluruh bangsal dan dicecoki pertanyaan yang tak bisa kujawab. Perawat yang diajaknya ribut juga jadi agak sentimen padaku, padahal aku sudah bersikap ekstra baik padanya."
"Anak itu! Hatinya benar-benar nggak jujur!" Reiko mendecakkan lidah. "Khawatir seperti orang paranoid dan mengganti ruang rawat ke VIP seperti ini sungguh berlebihan, kalau bukan karena ia menganggapnya istimewa, buat apa dia berbuat sejauh ini? Dasar tsundere*!"
"Sungguh di luar dugaan, bukan? Aku benar-benar kerepotan karenanya. Tak bisa kubayangkan bagaimana kau mengatasi kelakuan Wataru selama ini." Shiori meringis. "Oh, ya! Kurasa, sangat tidak adil jika aku hanya menilai Fujihara-san di saat kondisinya seperti ini. Kalau ia sudah pulih total, mungkin ada baiknya jika aku mengenalnya lebih jauh. Sabtu ini aku ada liburan di kapal wisata, jika sempat, aku ingin mengajak mereka berdua. Aku sedang kencan, sih, tapi bukan masalah besar menambah anggota. Pasti seru!"
"Oh, kedengarannya bakal menyenangkan! Aku pastikan mereka berdua ikut! Kalau Misaki sudah sadar tentu saja..." bibirnya tertekuk cemberut.
"Mari doakan ia sadar secepat mungkin." Ia tersenyum. "Baiklah. Aku keluar dulu. Masih perlu memeriksa pasien lain. Sora, ayo, pasien selanjutnya itu cerewet sekali jika kita terlambat memeriksanya."
"Baik."
Reiko menghentikan langkah Shiori.
"Apa?"
Mata Reiko melirik Sora. "Apa dia bisa dipercaya?"
"Oh, Sora? Dia bisa dipercaya, kok. Jangan khawatir, tak akan ada yang bocor dari ruangan ini."
"Bagaimana dengan tim dokter itu?"
Shiori tersenyum. "Mereka mau lisensi medis-nya* dicabut?"
"Ah, benar juga! Terkadang kau cukup licik, ya, Shiori! Sangat khas Miyamoto!"
"Hey! Aku hanya melakukan hal seperti itu jika terpaksa!"
"Baiklah! Baiklah! Tak usah marah begitu, dong!" ujarnya setengah tertawa.
"Menyebalkan...." desisnya frustasi, lalu ia teringat sesuatu. "Hampir lupa! Mungkin ada baiknya jika setelah dia bangun, kau meminta rekam medis* perempuan itu dan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Hanya ingin memastikan dia baik-baik saja seutuhnya."
"Oh, baiklah. Terima kasih."
Reiko memandang kepergian Shiori dan perawat itu dengan pikiran penuh. Pertanyaan besar yang masih mengganggunya adalah: kemana Wataru?