Sementara Reiko bertanya-tanya ke mana gerangan adiknya, kacamata anti radiasi sang playboy berkilau tertimpa cahaya matahari dari arah balkon apartemennya.
Ia duduk di ranjang membaca beberapa lembar kertas di tangan.
"Fujihara Misaki. Keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua adik perempuan kembar. Pindah SMA di tahun ketiga sebanyak dua kali pada awal semester pertama dan kedua. Sungguh tidak biasa." Gumamnya, lalu ia melanjutkan, "putus di bangku kuliah karena biaya tak mencukupi. Ayahnya meninggal saat ia masih SMA? Kenapa ia tak bilang? Kupikir ayahnya masih hidup. Kelahiran Aomori? Dasar pembohong, katanya dari Prefektur Osaka*. Jauh sekali bohongnya! Kenapa dia berkata seperti itu, sih? Bikin jengkel saja!"
Ia teringat kembali pengakuan sang tunangan palsu yang berkata bahwa ia ke kampungnya dengan alasan ibunya sakit. Kampung mana yang ia maksud? Permainan apa yang dimainkan Sadako itu? Hatinya mendadak panas dengan kebenaran yang diketahuinya. Misaki menipunya?
Mata Wataru menatap kertas di tangannya, kemudian memeriksa beberapa lembar lagi dengan metode skimming. Mau berapa kali pun ia membaca data pribadi Misaki, informasi tentang perempuan itu sangat normal. Benar-benar sangat normal. Tak ada yang aneh atau mencurigakan, selain kebohongan mengenai asal kotanya.
Lantas, bagaimana ia mendapat bekas luka tembak yang dikatakan oleh Shiori?
Apa mungkin Shiori salah? Dia belum sempat memeriksanya sendiri, jadi tak begitu yakin dengan ucapan sang kakak. Sekali lihat, harusnya ia tahu apakah itu bekas luka tembak atau tidak.
Pikiran memeriksa dan menyentuh kulit punggung Misaki, membuat wajahnya merona bagaikan udang rebus, jantungnya berdegup kencang tak karuan. Ia menelan ludah gugup.
"Perasaan apa ini?" keluhnya seraya menyipitkan mata.
Tubuhnya direbahkan di kasur, kacamata dilepas. Laptop yang menyala di samping bantal menampilkan Uesugi Ishikawa di sebuah artikel berita tentang betapa dermawannya lelaki itu.
Di bawah kakinya, terdapat tablet yang menampilkan pergerakan saham terbaru.
"Apa ini saja informasi mengenai perempuan jelek itu?"
Ia kembali membaca cepat profil Misaki, memastikan tak ada yang terlewat. Foto perempuan itu sama muramnya dengan dirinya yang sehari-hari. Lelaki itu nyaris terbahak keras dibuatnya. Benar-benar cewek type Sadako.
Tangannya meraba-raba atas meja, meraih ponsel dan menghubungi sebuah nomor.
"Halo. Futaba-san. Kau yakin tak ada yang aneh dengan perempuan itu? Kecelakaan atau kejadian tak biasa?"
"Kau yakin dia tak punya satu pun media sosial?"
Wataru teringat saat memasang LIME* di ponsel Misaki gara-gara isi ponselnya begitu polos layaknya sebuah ponsel baru. Aplikasi di dalamnya juga sangat sedikit, seperti sengaja dihapus sebagian. Apakah itu satu-satunya media sosial Misaki? Tiba-tiba, ada rasa bangga mencuat dari dadanya sebagai orang pertama yang terhubung dengan Misaki di media sosial. Bukankah itu cukup istimewa? Sadar ia memikirkan apa, buru-buru kepalanya digelengkan. Muka berubah gelap, ada apa dengannya, sih?
Lelaki di telepon tertawa sejenak, lalu melanjutkan perkataannya dengan sedikit serius.
"Aku sudah tahu bagian itu, ada di laporan. Yang membuatku penasaran, apa penyebab kebakarannya? Tak disebutkan di sini."
"Apa tak ada info tentang Prefektur Osaka pada hasil penyeledikanmu, Futaba-san? Keluarga jauhnya, sepupu, atau sekedar tinggal sementara di sana? Sesuatu yang berkaitan antara dia dan Osaka?"
"Tidak. Tidak apa-apa. Oh, ya! Mengenai informasi universitasnya, apa itu benar?"
"Begitu. Maaf sudah merepotkanmu, Futaba-san."
Berbeda? Ia termenung sesaat.