"Apa maksudnya?"
"Sekali lagi, maaf, Futaba-san. Dia... dia hanya asisten baru yang sedikit merepotkan."
Ledek lelaki itu di seberang telepon dengan nada menggoda.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak!"
Lelaki bernama Futaba itu tertawa dan berkata dengan serius.
Wataru tampak berpikir sejenak, agak tertarik, namun ia berubah pikiran. "Tidak usah. Tidak perlu sejauh itu. Ini sudah cukup. Aku hanya ingin tahu tentang dia seorang."
"Ah, Futaba-san, kau terlalu serius menjalani pekerjaanmu. Perempuan itu bukan orang jahat."
"Sudah kubilang dia hanya asisten baru, Futaba-san!"
Lelaki itu tergelak.
"Terima kasih."
"Itu terlalu berlebihan."
Futaba terdengar bangga.
"Semuanya hanyalah masa lalu. Jangan diungkit lagi, Futaba-san."
"Sampai jumpa!"
Setelah menutup telepon, ia kembali mengecek file Misaki untuk kesekian kalinya.
Tak ada yang aneh.
Insiden kebakaran adalah hal yang bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Entah kenapa, ia sedikit merasa lega dengan pemikiran itu. Lalu, pindah sekolah dua kali pada tahun ketiga? Apa alasan di balik itu? Apa karena kecelakaan ayahnya yang bertepatan pada tahun yang sama? Pasti saat itu, Misaki mengalami kesulitan menyesuaikan diri pada tahun-tahun terakhir SMA-nya.
Tanpa disadarinya, sebuah benih-benih kekaguman dan simpati muncul pada perempuan itu, apalagi mengingat ia masuk universitas K dengan fakultas yang membutuhkan kualifikasi tinggi.
"Tidak heran perempuan itu sangat kutu buku. Tak kusangka ia sepintar itu. Apa aku terlalu meremehkannya?" ia mendengus geli, terlihat sedikit lega dan senang di saat bersamaan. "Mungkin itu bukan bekas luka tembak. Dokter juga manusia. Bisa salah, kan? Dasar Shiori, imajinasinya terlalu tinggi...."
Tangannya meremas tepian kertas, ekspresinya kaku.
***
Malam harinya, di ruang rawat Misaki.
"Dari mana saja kau seharian ini? Kupikir kau tak akan kembali kemari!"
Reiko melotot pada sang playboy yang sibuk mengetik sesuatu. Kacamata anti radiasinya memantulkan layar laptop yang ada di pangkuannya.
Lelaki itu baru saja selesai mandi, handuk menutupi kepalanya. Ia memakai kaos hitam lengan panjang dan celana training abu-abu, duduk menyilangkan kaki di atas sofa putih.
"Bukan urusanmu."
"Dingin sekali," Reiko menyipitkan mata, "kondisi Misaki sudah mulai membaik. Shiori bilang berhenti memencet bel dan meneror para perawat melalui telepon. Kau mengganggu, tahu?!"
"Ya."
Sang kakak tak senang dengan jawaban masa bodoh dan singkat itu, ia mendekati sang adik, penasaran sedang mengerjakan apa.
Menyadari ini, Wataru menutup cepat laptopnya dan menaruhnya di meja.
"Kenapa? Memang ada rahasia? Siapa lagi yang ingin kau hancurkan? Kau itu, ya, sudah terkenal dengan reputasi buruk sebagai playboy, masih ditambah dengan gelar tangan dingin penghancur perusahaan orang lain. Kau tak takut ada yang balas dendam padamu suatu hari nanti?"
"Bicara apa kau? Bisnis, ya, bisnis. Sudah seharusnya begitu risikonya. Jangan sangkut pautkan dengan urusan pribadi," ia berdiri, berjalan pelan menuju dapur hendak menyeduh kopi.
"Kau mau minum kopi? Ini sudah malam! Kau tak akan bisa tidur kalau minum sebanyak itu, Wataru!" matanya terbelalak melihat sang adik memasukkan tiga bungkus kopi sekaligus ke dalam sebuah gelas.
"Kau ini cerewet sekali!" kali ini, ia memasukkan makanan ke dalam microwave dengan kasar.
"Hah! Katanya hanya mainan, tapi kau menjaganya seperti suami siap siaga. Aku lihat semua barangmu nyaris pindah ke tempat ini." Ia duduk bersandar ke sofa putih, menyilangkan kaki dan tangan, menunggu sang adik keluar dari arah dapur.
"Jangan bicara sembarangan! Tingkahnya kurang ajar sekali, jadi aku mesti mengawasinya. Tak akan aku ampuni kalau dia kabur dariku. Lagi pula aku sedang bosan, tak ada kerjaan. Apa salahnya? Dan berhenti menyentuh barang-barang yang ada di sini!" Wataru memberi tekanan khusus pada kalimat terakhirnya.
"Baiklah. Maaf. Aku hanya sedikit penasaran dengan ruang ini," gumamnya pelan, kemudian kepalanya mendongak ke arah dapur, "kalau begitu, coba jelaskan padaku, harga kamar VIP ini, kan, dua ratus ribu yen* per malam. Buat apa kau memperlakukan budak layaknya ratu begini? Perempuan itu tak sakit serius mengancam jiwa, kenapa mesti memilih ruang VIP segala? Paling lengkap dan paling mahal pula di antara semua ruang VIP yang ada!"
Sesaat, lidah lelaki itu kelu. Kekesalan terpancar di kedua bola matanya, perasaan seperti maling yang tertangkap basah oleh polisi tiba-tiba merembes masuk ke dadanya.
"Tsk! Kau tahu kalau aku benci rumah sakit, kan? Desain ruangan ini seperti apartemen, jadi aku jelas memilihnya. Bukan karena perempuan itu!"
"Aku tahu, tapi ini rasanya konyol sekali," bisik Reiko, wajahnya berubah suram, "perasaan dulu tak separah ini, deh. Alasan saja kau itu!"
"Kau bilang apa?" teriaknya, tak jelas mendengarnya.
"Lupakanlah!"
Wataru kembali ke ruang tamu dengan segelas kopi di tangan, satu tangan sibuk menggosok-gosokkan handuk di rambutnya.
"Wataru, aku mohon agar kau berhenti mengganggu Misaki. Apa menariknya menaruh perempuan yang bukan tipemu berada di sisimu terus? Kau ngapain, sih, sebenarnya? Apa salah Misaki? Apa kau tak kasihan padanya?"
Kopi yang hendak diminumnya berhenti di udara, ia terdiam mematung.
Sang playboy melirik hati-hati ke arah Misaki, pikirannya seketika tak fokus.
Benar. Apa yang sebenarnya ia lakukan?
Lelaki itu juga bingung sendiri, tak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.
Reiko bisa menertawakannya jika sampai tahu hal ini!