"Kenapa aku mesti kasihan? Dia hewan liar. Jadi mesti dilatih dan dikendalikan. Sekali mainan, ya, mainan. Apa kau tak paham konsep mainan?" jawabnya santai, berusaha menyembunyikan kebingungan yang melandanya.
Reiko menggertakkan gigi.
"Wataru. Hidup perempuan itu sudah susah dan berat. Jangan tambah bebannya dengan kau yang masuk ke dalam hidupnya. Jika kau hanya ingin main-main, cari saja perempuan lain. Jangan Misaki! Kenapa mesti dia, coba?! Misaki bukan tipe-mu!"
"Itu terserah aku. Lagi pula, aku sudah memeriksa latar belakangnya. Tak ada yang aneh atau mencurigakan, meski ayahnya ternyata telah tiada," ia kembali menyeruput kopinya, duduk dengan santainya di sofa putih, mengamati Misaki yang terbaring di ranjang di depannya.
"Telah tiada?" Reiko terkejut mendengarnya.
"Ya. Kecelakaan."
"Kupikir...."
"Aku juga berpikir seperti apa yang kau pikirkan."
Wajah Reiko mengkerut mengingat makan malam mereka beberapa saat lalu di hotel suaminya.
"Semua ini gara-gara telepon dari Kazuki! Aku kehilangan kesempatan menggali lebih dalam mengenai Misaki waktu itu! Sial...."
"Jangan memasang tampang begitu, dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi."
"Kau ini benar-benar tak punya perasaan, ya?"
"Ngomong-ngomong, kurasa dokter di sini kurang kompeten. Riwayat medis dan catatan kepolisiannya bersih. Dia rakyat jelata yang taat hukum dan rajin membayar pajak tepat waktu. Aku jadi ragu dengan kemampuan dan kualitas rumah sakit ini. Tak ada insiden menakutkan apapun dalam riwayatnya, selain pindah sekolah dua kali pada tahun ketiga SMA dan berhenti kuliah karena tak ada biaya mencukupi. Yah, sekolah pertamanya kebakaran, sih, tapi itu hal umum yang bisa menimpa siapa saja. Tak ada yang spesial."
"Eh? Tunggu... Wataru... kau memeriksa latar belakangnya secepat ini? Tak kusangka... Bahkan sejauh itu!" ujarnya kaget. Baru sadar sepenuhnya dengan perkataan sang adik.
"Haaaaah?! Jangan pikir macam-macam! Aku hanya ingin memastikan bahwa budak mainanku itu tak akan membawa masalah buatku. Ini hal wajar dalam kerjasama."
"Kerjasama kepalamu? Kau itu pemerasan dan perbudakan!" geram Reiko.
"Terserah mauku apa. Sebaiknya kau segera keluar. Aku mau istirahat." Ia berjalan kembali ke dapur setelah mendengar bunyi bip microwave.
"Aku bisa menyiapkan makanan untukmu kalau kau mau."
Raut wajah Wataru berubah suram, tangannya memegang makanan dengan hati-hati menuju meja kecil. "Tolong jangan memasak makanan apapun. Kau itu hanya mengkonversi makanan manusia menjadi makanan alien."
Matanya tetiba melirik bunga di dalam vas, kenapa ia baru sadar ada bunga asing di ruangan ini?
"Oh! Itu kiriman Uesugi Ishikawa." Ujar Reiko tanpa perlu ditanya, tersenyum kecil dengan perasaan bangga.
"Apa?"
"Kebetulan proyekku kali ini bekerja sama dengan hotel miliknya. Dan ia berpapasan denganku kemarin. Lelaki itu sepertinya benar-benar sangat tertarik pada Misaki, bahkan sampai mencari informasi tentang Akabane Merry secara pribadi, tapi tak menemukan apa-apa. Jadinya ia nekat bertanya padaku."
Wataru diam tak bereaksi. Matanya terpaut kuat pada bunga tersebut. Sejurus kemudian, handuk disampirkan pada lengan kursi, tangan kanannya membuka kacamata anti radiasinya dengan kasar lalu meraih vas bunga itu dan memasukkannya ke tempat sampah terdekat.
"Wataru? Kau gila, ya?"
"Dia itu mengganggu sekali! Apa yang sudah kau beritahukan padanya? Berhenti ikut campur pada semua urusanku, Reiko!" Nada suaranya melengking pada kalimat terakhir, Misaki yang terbaring sampai memberikan reaksi dengan ujung tangan yang berkedut sekali gara-gara suara lelaki itu.
"Kenapa? Cemburu?" sebelah keningnya naik.
"Apa kau tak punya kerjaan lain selain mencampuri urusan orang lain, hah?" ia berdiri tegap penuh aura menindas pada sang kakak.
Reiko terlihat santai, menatap sang adik begitu cuek.
"Itu salahmu sendiri kenapa membuat Misaki menjadi orang yang bukan dirinya. Mau tak mau aku terpaksa menjelaskan bahwa kalian itu cuma tunangan palsu. Dia rekan bisnis yang sangat berharga, mustahil aku berbohong padanya, apalagi dia tahu kau adikku. Lagi pula dari nada bicaranya pria itu sudah akrab dengan Misaki. Kau tahu apa reaksi pria itu setelah tahu kebenarannya?"
Mereka saling pandang, begitu tajam dan penuh aura permusuhan.
"Aku tidak peduli. Kau itu benar-benar pembuat masalah, ya?" kepalanya dimiringkan, terlihat angkuh dan kesal.
"Oh, begitu? Baiklah. Aku hanya berkata apa adanya. Mustahil kau menutupi hal ini terus menerus, bukan? Bakal ketahuan juga. Tapi, ketimbang dirimu, sepertinya Misaki yang bakal senang mendengar ini. Mungkin ia bisa memulai kisah asmaranya sendiri setelah kontrak perbudakannya selesai," ia berdiri, menepuk-nepuk roknya, berkacak pinggang penuh percaya diri dengan tangan kanan, "sepertinya mereka berdua punya percik-percik api cinta yang tak terlihat. Foto Instagramb mereka sangat menyentuh hati seperti pasangan dimabuk asmara dalam kisah-kisah negeri dongeng."
"Apa maksudmu?" tubuh lelaki itu berubah waspada.
"Kau tak tahu? Kenapa? Bukankah kau tak peduli?"
"Cepat katakan!" nadanya setengah berteriak.
Sudut bibir Reiko tertarik, matanya berkilat seperti singa siap menerkam mangsanya.
"Kau bisa lihat instagramb Nakagawa Jane. Lagi heboh, tuh, di internet. Memangnya kau tak tahu?
Makanya punya Instagramb, dong. Norak banget, sih," ucapnya seolah-olah dengan berkata begitu ia merasa lebih keren dan hebat, "setelah tahu dia sudah tak punya ayah, harusnya kau mulai memperlakukannya lebih baik di masa depan. Hati-hati, loh, kena karma!" Reiko mendengus angkuh, lalu melenggang melewatinya.
Sebelum mencapai pintu, ia melanjutkan.,"aku akan mengunjungi Misaki besok pagi-pagi sekali. Jaga baik-baik budakmu, jangan sampai direbut orang lain. Sekali direbut, mungkin bakal pergi selamanya, loh! Apa kau tahu arti bunga itu?" ia berbalik sejenak, menyentuh bibir bawahnya, sebelah mata dikedipkan.
Lelaki itu terlihat bingung.
"Selamat malam!" sang kakak melambaikan tangan tanpa berbalik sedikit pun kali ini, lalu menghilang di balik pintu.
"Apa-apaan sikapnya itu?"
Wataru berdiri dengan kening bertaut kesal tak terkira. Ujung matanya melirik laptop di meja.
"Kenapa aku mesti repot-repot mengeceknya?"
Kakinya berputar, menuju kursi sofa malas. Ia mulai menyantap makanannya, tapi perutnya mengejan tak nyaman. Nafsu makannya hilang dalam sekejap.
Matanya mengarah ke tempat sampah berisi bunga mawar ungu. Hatinya panas, naik-turun tidak karuan.
Sudut bibirnya ditekuk dan sorot matanya menjadi gelap, "kenapa aku mesti terpengaruh oleh hal tidak penting semacam itu?"
Wataru mendecak kesal, menghabiskan makanannya secepat mungkin hingga tersedak. Segera, ia berlari meraih air di dalam kulkas di dapur.
"Sial!"
Ia menggertakkan gigi, baju yang baru saja dipakainya kini basah oleh tumpahan air yang diminum tergesa-gesa. Botol air diremas sekuat tenaga, matanya berkilat dipenuhi ledakan amarah yang sedari tadi ditahannya.
Wataru membuka baju seraya melangkah menuju lemari pakaian yang berada tak jauh dari kaki ranjang Misaki. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Bajunya tak jadi dilepas, diam di antara kedua sikunya. Ia menolehkan kepala pada tempat sampah di sudut ruangan, ekspresinya begitu rumit.
Detik berikutnya, ia kembali melangkah, pelan dan pasti seraya pakaiannya dilepas utuh—dijatuhkan begitu saja ke lantai.
Ia duduk di tepian ranjang, tangan kanannya menyentuh pipi Misaki, begitu lembut dan penuh kasih sayang.
Sorot matanya pilu, seperti ada luka yang mendalam muncul dari kedua bola mata lelaki itu.
"Bangun, jelek. Bukankah aku sudah bilang, tak akan ada pangeran berkuda putih yang akan memberimu ciuman cinta sejati kalau kau pingsan?"
Sebelah tangannya yang bebas menggenggam jemari misaki dengan rasa khawatir yang sulit dijelaskan oleh akal sehatnya.
Hatinya bergetar mengamati wajah perempuan itu.
***