Axton terus menarik tanganku dengan ekspresi yang sama dan selama itu juga kami hanya diam. "Axton," aku membuka suara memulai pembicaraan dengan memanggilnya.
"Apa kau tak marah padaku?" Axton memberhentikan langkahnya secara tiba-tiba, aku yang tak bisa berhenti secara tidak sengaja menghantam punggung Axton. Dia segera membalikkan tubuhnya dan memandangku panik.
"Wenda, kau tak apa-apa, maafkan aku." ucapnya dengan lembut. Aku lagi-lagi bergumam mengucapkan aku tak apa-apa. "Kau belum menjawab pertanyaanku?" tanyaku lagi.
Dia sekilas menatap kedua mataku lalu kedua tanganku yang kini dipegang lembut. "Tidak sama sekali tidak," ada keyakinan dari nada suaranya.
"Lalu kenapa kau mendiamkanku?" tanyaku padanya.
"Aku hanya kesal, maafkan aku kalau kau membuatmu berpikir begitu ya." Aku menghembuskan napas dan menariknya ke dalam pelukan.
"Aku tak akan membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya, dan aku akan tetap mempercayaimu." lanjutnya. Aku hanya mengangguk sebagai balasan dari Axton.
"Mereka tega sekali mengatakan bahwa kau bukan wanita yang baik dan menilai hubungan kita hanyalah untuk mencari sensasi belaka. Tidakkah mereka melihat bahwa kita memang serius menjalani hubungan kita?" Aku cuma diam saja dan mengelus punggungnya.
"Aku tak ingin melihat martabatmu direndahkan karena aku. Kejadian dari tadi membuatku berpikir, mungkin ke depannya mereka akan membuat hal yang lebih buruk padamu." lanjutnya memulai membicarakan isi pikirannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyaku setelah lama diam. Dia melepas pelukanku, dengan kedua mata emerald-nya dia memandang lekat padaku.
"Ayo kita menikah Wenda," aku terpaku sesaat dengan lamaran yang begitu mendadak dari Axton kemudian aku menunduk.
"Buat apa? Kita, 'kan sudah menikah." jawabku bernada hati-hati.
"Wenda aku hanya ingin memperlihatkan bahwa kita berdua memang serius dengan hubungan kita tidak ada salahnya, 'kan?" Aku kembali diam.
"Aku ingin memperbaiki kesalahanku yang menikah denganmu secara diam-diam kali ini aku akan melakukan hal yang benar." lanjutnya. Aku merasakan daguku disentuh olehnya dan mengangkatnya, Axton kembali memandang kedua mataku lekat-lekat.
"Bagaimana kau mau?" kali ini dia bertanya padaku. Aku membentuk sebuah senyuman dari bibirku dan mengangguk. Axton ikut tersenyum, sentuhan dagu tersebut menjadi belaian hangat di pipiku.
Dia mendekati wajahku hendak menciumku, jantungku berdetak kencang melihat wajahnya tampan. Tinggal secenti lagi bibir kami akan bertemu namun semuanya rusak saat..
"Kakak!" aku terperanjat kaget melihat Fani menghampiriku. Buru-buru aku menutup wajah Axton dan membuatnya mundur. Perhatianku lalu tertuju pada adik kecilku yang bertanya polos.
"Kakak sedang apa sih sama Om Axton? Kok kelihatannya Om Axton mau cium Kakak." Pertanyaan Fani membuatku terpaku, aku bisa merasakan wajahku memanas pasti sudah seperti kepiting rebus.
"Kakak kenapa mukanya merah begitu? Kakak sakit?" Aku dengan cepat menggeleng dan memamerkan senyum terbaikku. Baru aku sadar Axton sudah menyamakan tingginya dengan Fani.
"Fani tak tahu ya, memang dari tadi Om mau cium kakak kamu." Aku terkejut mendengar kejujuran Axton yang menjawab pertanyaan Fani.
"Hah? Apa itu berarti Om sayang sama Kakak Wenda, kata Ibu kalau Fani dicium sama Ibu itu berarti Fani disayang sama Ibu." katanya polos dan disahut oleh Axton dengan senyuman penuh arti,
"Tentu saja." Axton yang mengatakan, aku yang tersipu malu duluan. Kenapa Axton selalu jujur di depan orang bahkan anak polos seperti Fani?
"Tak boleh," Aku mengkerutkan keningku begitu juga Axton, terheran dengan perkataan Fani tiba-tiba.
"Kakakku tak boleh disentuh, apalagi dicium sama Om kalau mau nikahin kakakku dulu baru bisa sentuh kakak Wenda." Aku spechless mendengar ucapan Fani sementara Axton menampakkan senyuman puas.
"Fani kamu.."
"Tenang saja, dari tadi Om udah lamar kakakmu dan dia bilang setuju menikah sama Om." Aku mendelik kesal begitu kedua mataku dan Axton bertimbung. Dia hanya terkekeh pelan dan kembali memandang Fani.
"Fani mau kemana? Kok keluyuran jam segini?" tanyaku merubah arah pembicaraan.
"Mau pulang, dari rumah teman." jawabnya singkat.
"Baguslah kalau begitu, ayo kita pulang. Om juga mau bicara sama Ayah dan Ibumu." Fani setuju dan menggandeng tangan kami berdua kemudian berjalan bersama.
Sesampainya, Axton menyampaikan maksud berada di rumah kedua orang tuaku. Tentu saja mereka setuju dan akhirnya kami mulai sibuk menyiapkan pernikahan kami untuk kedua kalinya.