Chereads / Keluarga Denzel / Chapter 62 - Keluarga Axton Datang

Chapter 62 - Keluarga Axton Datang

Dua hari berlalu, aku memeriksa desain undangan sekaligus memastikan semua daftar tamu tercantum atau tidak? Aku jadi ingat beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia menikah tiba-tiba dan tanpa persiapan sama sekali.

Walau begitu pernikahannya lancar, hanya saja tidak banyak dari keluarga kami yang datang. Sekarang, persiapan dilakukan dengan matang dan juga orang banyak akan hadir. Wah, memikirkannya membuat aku gugup setengah mati.

"Sayang," aku menoleh mendapati Axton dengan raut wajah khawatir. "Ada apa? kok kamu berkeringat begitu? Kamu pusing ya," Axton selalu saja cemas dengan keadaanku. Aku menggeleng sembari tersenyum simpul.

"Tak apa-apa kok," jawabku sekenanya. Dia mendekatiku dan memelukku dari belakang. Apa dia tak kesusahan ya, aku 'kan sedang duduk.

"Jangan memaksakan dirimu, aku khawatir tahu." katanya pelan. Aku masih menampilkan senyum simpulku dan mengatakan ya tapi suasana romantis kami dikacaukan oleh orang-orang di sekitar kami.

"Ciee, kak aku tahu kamu dan kakak ipar pasangan yang mesra tapi tolonglah ini tempat umum," ledek Ranti. Ledekan Ranti disambut deraian tawa oleh semua orang yang berada di tempat itu.

Aku mengerucutkan bibirku dan memberikan dia uang 20.000 pada Ranti. "Eh Kakak apa ini? Mau sogok aku ya, percuma kak kalian sudah dilihat banyak orang." Aku berdecak kesal karena candaannya itu.

"Siapa bilang mau sogok kamu Ranti, belikan aku mangga muda di pasar, cepat!" perintahku.

"Loh kok aku kak suruh saja pelayan atau suami kakak, dia sedang tak punya kerjaan, 'kan?" protes Ranti padaku karena melihat Axton sedang bebas.

"Tapi dedek bayinya mau kamu yang membelinya, cepat! Memangnya kamu mau apa keponakanmu jadi tukang iler!" sahutku.

"Tapi kak pasarnya jauh masa jalan kaki." protes Ranti sekali lagi. Aku menghela napas dan melihat bayangan Fano dari jendela. Seketika aku punya ide yang sangat bagus.

"Kamu pergi saja sama Fano, aku yakin dia mau antar kamu." Ranti mendadak gugup mendengar nama Fano kusebutkan, dia menggigit bibirnya gelisah.

"De-dengan Fano.." gagapnya. Aku menyeringai dan mengangguk.

"Kenapa kamu gugup begitu? Takut ya?" Dia melotot padaku.

"Takut? Heh, tidak! Siapa bilang aku takut." jawabnya dengan nada terkesan santai yang dibuat-buat.

"Kalau begitu tunggu apa lagi, ayo cepat pergi!" seruku. Dia mendengus kesal dan pergi keluar meninggalkan aku dan Axton.

"Axton, kau belum memberikanku daftar nama keluarga yang akan datang padaku," kataku pada Axton tanpa memandangnya.

"Tenang saja mereka akan sampai." Sontak aku melihatnya dengan wajah penuh tanda tanya, demikian juga Axton menatapku dengan senyum misterius di mataku.

"Apa yang kau maksud?" Suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. Axton berdiri menuju pintu, tak lupa dia menarikku berdiri agar mengikutinya. Kami berdua ke halaman depan dan menemukan beberapa mobil dengan mesin yang masih menyala.

Mataku melebar saat melihat Zarina keluar dari salah satu mobil. "Kakak ipar!" panggilnya. Zarina mendekati dan memelukku, sama hal dengannya aku membalas pelukan Zarina.

Sudah lama sekali aku tak mendapat kabar darinya. "Kakak, selamat ya atas kehamilannya mudah-mudahan selamat sampai persalinan!" Aku mengamini doa Zarina dan berbincang sesaat sebelum akhirnya dia beralih pada Axton.

Tak lama setelahnya dua orang paruh baya menghampiri kami. Zarina mendekati mereka, "Kakak ipar ini Ayah dan Ibuku." katanya memperkenalkan orang tuanya padaku.

Aku tersenyum pada mereka yang juga membalas sapaanku dengan senyuman. Dua pengemudi lain turun dan tersenyum ramah padaku. Mataku membelalak tak percaya saat melihat kedua orang tua Axton datang menghampiriku.

Mereka berdua datang dengan membawa pasangan masing-masing dan juga anak mereka dari hasil pernikahan dengan pasangan mereka. Masih dengan raut wajah tak percaya, aku memandang Axton.

Dia tersenyum penuh arti seakan tahu dia mengatakan sesuatu padaku, "Aku adalah anak mereka. Tidak akan lengkap tanpa mereka."

"Kapan kalian baikan?"

"Saat kau menghilang, mereka sering ke rumah datang untuk memberiku semangat." jawabnya lugas. Bukan hanya mereka yang datang, Dalton, sahabat Axton datang juga sore harinya.

Malamnya, layaknya keluarga besar kami makan malam bersama. Aku juga tak berhenti tersenyum melihat keakraban keluargaku dan keluarganya. Ayah dan Ibu sering berbicara dengan Ayah dan Ibu dari Axton begitu juga Paman dan Bibi.

Ranti kesal karena Dalton mengganggunya, sementara Fani sibuk bermain dengan teman-teman barunya. Sedangkan Zarina, entah apa yang dia pikirkan, malam itu tampak dia tak bersemangat.

Dari matanya aku bisa melihat kesedihan. Dia pun hanya mengaduk-aduk makanannya, tak berselera untuk makan. "Zarina," dia menatapku dengan cepat.

"Kok kamu tak makan, ayolah makan." Dia menyunggingkan senyum palsu dan memakan makanannya di depanku.

Jam menunjukan pukul 22.00, aku masih belum tidur dan memilih untuk duduk di tepi ranjang sambil memeriksa daftar tamu undangan untuk kedua kalianya, takut ada yang kelupaan.

Aku terus larut dalam pekerjaan sampai kedua tangan mengambil daftar nama dari tanganku dan meletakkannya di atas meja. Aku mendongak dan tersenyum pada Axton yang mengambil tempat duduk di sampingku.

"Kenapa kau belum tidur? Kau ini sedang hamil, tak baik untuk janinmu." Axton memang mengomel tapi dia menggunakan nada lembut.

"Aku masih belum mengantuk, oh iya kulihat dari tadi Zarina tampak sedih tak seperti biasanya." kataku heran dengan sikap Zarina tadi saat makan.

"Benarkah? Hm, mungkin moodnya sedang buruk biasa gadis sepertinya punya mood naik turun." jawab Axton sekenanya tapi kenapa aku tak percaya ya?

Aku terkejut saat Axton memelukku, kedua wajah kami berdekatan walau tak sampai berciuman tapi merasakan hangatnya udara di sekitar wajahku dadaku sudah bergejolak luar biasa.

"Kau bilang kau belum mau tidur, 'kan? kalau begitu bagaimana kalau kita bermesraan?" ajaknya dengan bisikan pelan. Wajahku memerah, aku dan Axton memang sudah lama tak berhubungan intim. Terakhir kali saat dia pulang dari luar negeri dan setelah itu aku pergi meninggalkan dia untuk pulang ke rumah orangtuaku.

"Tenang saja aku akan pelan-pelan." Aku belum menegakkan kepalaku tapi aku mengangguk duluan. Dia menyentuh daguku dan mengangkatnya agar aku bisa memandangnya.

Begitu mata kami berdua bertimbung, dia tersenyum dan mengecup keningku lalu mendaratkan ciuman lembut di bibirku.