"Tak usah repot-repot, kakek bisa kok sendiri." ujar si pria tua.
"Tak merepotkan kakek ayo!" ajak Wenda. Dia lalu mencari sebuah taksi untuk mereka berdua tumpangi.
"Kakek namanya siapa?" tanya Wenda sopan.
"Adam, kalau nama anda siapa Nona?"
"Wenda." Si kakek hanya mengangguk perlahan mengerti.
"Dari tadi saya melihat Nona keluar dari DeMonte Corporation, memangnya anda sedang apa di sana?" tanya si kakek lagi.
"Saya sebenarnya ada pekerjaan untuk mengundang Fredikson DeMonte atas perintah Atasan saya, tapi nama saya tak terdaftar di daftar tamu. Walaupun saya mengatakan bahwa saya adalah utusan dari Atasan saya, tetap saja mereka tak percaya. Saya berusaha menghubungi Ketua, tapi teleponnya tak bisa dihubungi." tutur Wenda.
"Oh kasihan sekali. Yang sabar ya nak Wenda." Wenda hanya menjawab dengan anggukan pelan. Mobil taksi berhenti, Wenda dan si kakek keluar menemukan sebuah rumah megah di depan mereka.
"Kakek, benar ini rumah kakek?" tanya Wenda memastikan.
"Iya nak." jawab si kakek singkat. Mereka berdua masuk setelah Wenda membayar si supir taksi. Begitu keduanya masuk, Wenda disuguhkan pemandangan halaman depan yang indah. Wenda kembali terkagum-kagum sama seperti saat dia masuk ke dalam rumah Axton pertama kalinya.
Seorang pelayan yang melihat kakek Adam dan Wenda segera menghampiri mereka berdua. "Tuan Besar, kenapa Tuan Besar pergi sendirian? Tuan Muda sampai marah besar kami karena kami tak menjaga anda dengan benar." ujar pelayan itu.
"Kalau begitu biar aku yang bicara dengannya, bilang pada Leonardo, aku sudah sampai." Pelayan itu membungkuk hormat dan mengambil semua barang bawaan Adam berlalu pergi meninggalkan keduanya.
"Ayo nak Wenda jangan malu-malu, silakan masuk." Wenda melangkah masuk di dalam rumah tersebut. Matanya tak berhenti menatap sekitaran.
"Dari mana saja kakek hah?!" suara galak seorang pria menjadi pusat perhatian Wenda. Seorang pria datang menghampiri keduanya, pandangan matanya yang tajam dipertegas dengan alisnya yang hitam pekat.
Umurnya Wenda perkirakan tak jauh beda dengan Axton. Wajahnya juga rupawan, tapi jika didengar dari sapaan dan gayanya, Wenda tahu kalau pria yang dihadapannya adalah pria yang angkuh berbeda jauh dengan Axton yang ramah.
"Jangan berbicara seperti itu pada kakekmu!? Dia lebih tua darimu tahu!?" balas Wenda menegur si pria.
Si pria yang awalnya memandang Kakek Adam memandang pada Wenda yang menunjukan tampang galak. "Siapa dia? Kenapa Kakek mengajak orang asing masuk ke rumah?" tanya pria itu dengan tatapan mengintimidasi.
"Orang ini tak berbahaya Leonardo, dia adalah gadis yang baik. Dia membantu kakek dari tadi." jawab Kakek Adam lembut.
"Baik? orang ini baik?! Dia sudah masuk ke rumahku dan menegurku tak sopan dan Kakek bilang dia baik!?" sahut Leonardo dengan ucapan penuh penekanan.
"Sikapmu yang buat aku menegurmu! jadi jangan salahkan kakekmu!?"
"Siapa bilang aku menyalahkan kakekku hah!?" Adam melihat Wenda dan Leo-cucunya, saling menatap benci satu sama lain.
"Nak Wenda di sini dulu Kakek mau ambil sesuatu di kamar kakek." Wenda yang awalnya menatap bengis pada Leo, tersenyum simpul pada kakek Adam.
Leo berdecih kesal dan mengambil dompetnya begitu kakeknya pergi. "Berapa uang yang kau butuhkan?" tanya Leo tiba-tiba.
Wenda mengkerutkan dahinya mendengar pertanyaan Leo. "Apa? Maksudmu apa?"
Leo membuangkan napas pendek dan memandang Wenda. "Untuk saja membayarmu bodoh! Kau sengaja 'kan mengantar kakekku karena tahu dia orang kaya dan meminta uang padanya. Itu trik kuno tapi kau berhasil membuatku membuka dompetku! Jadi berapa uang yang kau butuhkan?"
Plak!