Akhirnya gue bisa kembali dekat dengan Faras yang ada perubahan dari sikapnya yang dulu acuh tak acuh menjadi cukup pemarah, jika aku mencoba melucu tapi ditanggapi dengan galak.
Tapi aku akan tertawa melihat wajahnya, sebab ketika aku menggoda berniat bercanda wajahnya akan memerah sampai telinga.
Gue juga jadi sering mengunjungi Faras ketika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis, gue masih terlalu pengecut untuk bertemu keduanya setelah apa yang gue lakuin pada anak perempuannya. Gue malu.
Seringnya Faras mendengus dengan kedatangan gue seakan menolak dan membuat orang yang baru mengenalnya mungkin saja merasa tidak nyaman, beruntung gue sudah tau siasatnya.
Walau mulutnya menolak, sikap acuh bersama antipatinya telah melebur. Tiap kali gue bertandang, mulut Faras akan mengusir namun tetap membuka pintu rumahnya untuk gue masuki, dia hanya menggertak tidak mengusir sungguh-sungguh.
Malah terbalik dengan sikapnya yang banyak bicara ketika gue menemani dia membaca, mengamati tiap ekspresi dia saat bercerita tentang novel yang dia baca. Gue yang pernah punya hubungan dengan Faras baru tau, kalau dia suka baca novel dan punya perpustakaan mini yang isi lima puluh persennya adalah novel.
Gue jadi pendengar yang baik untuk Faras, karena gue tau gimana dia sangat butuh itu. Di adalah orang yang suka bercerita banyak hal jika bertemu orang yang mau mendengarkan dan percaya padanya, seperti sekarang.
Gue jadi menyesal mengingat masa lalu dimana gue hanya menyuruh dan melimpahkan segala yang gue suka dan apa yang disukai kekasih gue tanpa bertanya lagi, maupun mendengarkan pendapatnya.
Pasangan yang burukkan gue?.
.
.
Gue melihat bagaimana seriusnya Faras memilih buku disalah satu jajaran rak panjang dihadapannya, wajahnya lebih rilekss dan tidak sepenat ketika Farrel dan Salma membatalkan lagi untuk berkunjung.
Kemarin ketika mereka berjanji akan datang setelah dari firma hukum, namun nyatanya tidak. Faras jadi murung dan diam, mulutnya tidak lagi bercerita tentang novel yang ia baca. Faras pergi kedaput untuk mencari makanan yang gue beli, duduk di dapur dan makan dalam diam.
Tapi dari kedua matanya gue melihat air mata yang jatuh dengan mulutnya yang terus mengunyah, kedua pasang mata indahnya menatap meja makan tanpa bisa dibaca. Hanya karena sahabat yang biasa ada disetiap dia jatuh tidak datang dan terus membatalkan kedatangan mereka, Faras sampai begini.
Apa kabar ketika gue membatalkan pertunangan kita waktu itu?. Ah, sialan!.
Jadi gue nggak tau bagaimana hanya harus diam dengan tetap menemani.
Karena ada saat dimana lu gak perlu banyak bersuara untuk kesedihan teman lu, untuk memberi dukungan. Cukup duduk dan temano, tunggu sampai dia selesai berpikir dan buka suara.
Itu lebih baik ketimbang memberi harapan palsu dengan mengatakan jika semua baik-baik saja.
"Gibran. Ini beneran dibayarin kan?,"
Suara Faras menyadarkan gue kembali kedunia nyata yang gue pijak. Menatap kearahnya dan tersenyum.
"Iya,"
"Kalau gitu, gue mau beli banyak-banyak."
Gue tertawa mendengar suara senangnya, tapi gue yakin itu hanya untuk menutupi perasaan sedih yang masih menyelimuti hatinya.
Sampai akhirnya gue memegang dua tas berisi buku dan entah apa yang dibeli Faras ditoko buku, dia juga membeli cat. Kemudian kami masuk ke restoran untuk makan, dimana ada bubur disana. Walau Faras menolak dan marah karena tidak memberikan dia ijin memesan selain bubur dan makanan lembut lainnya.
Walau sudah dua bulan, gue hanya takut. Tenggorokan Faras sakit. Namun ada masalah baru dimana dua orang lawan jenis masuk kedalam restoran sambil mengobrol, duduk disalah satu kursi yang lumayan jauh.
Keduanya tidak memperhatikan sekitarnya dan terus berbincang tanpa tau, kalau mata Faras mengikuti setiap gerak gerik mereka.
'Farrel sialan!. Dia bilang sedang mengurus berkas untuk S2 diluar negeri, kenapa sekarang dia ada disini saam si Salam?!'
Terlau cepat dan gue terlalu dungu untuk berpikir sekarang, ketika Faras berjalan menuju meja keduanya yang mana langsung menarik perhatian Farrel dan Salma. Keduanya berjengit terkejut sama seperti gue lakukan tadi, kedua bola mata mereka melebar tidak percaya.
Sama seperti gue, tidak percaya keduanya dapat membohongi Faras.
"Kalian..."
"Ra...lu udah sehat?," tanya si bodoh Farrel dengan wajah pias sarat akan kekhawatiran.
"Jahat... lu berdua jahat..." Dengan sesegukan, Faras menangis dihadapan keduanya.
Gue bangkit dari ketepakuan dan menarik Faras, namun ditolak dengan kasar.
"Gue udah sehat, sangat sehat..." lirih Faras.
Sedang Salma menggenggam tangan Faras dengan wajah menunduk, kedua pundaknya bergetar menahan tangis. Gue nggak tau gimana menjelaskan situasi sekarang, hanya saja sekarang kita berempat jadi pusat perhatian dan ini sangat tidak bagus.
Apalagi dengan Faras yang masih jadi pion berita, sebagai mantan tunangan Daniel.
"Mending kita keluar dari sini setelah kalian berdua makan, kemudian kita selesaikan." Ujar gue memberi saran.
.
.
Kalian mungkin bingung dan merasa aneh dengan sikap Faras yang berlebihan. Dimana sehari-harinya dia lebih sering ada bersama sahabat terdekat dia, kemudian tiba-tiba ia selayaknya dijauhi, sedang sebelumnya berkata akan datang tapi beralasan ada kegiatan lain.
Tapi lo nemuin jika sahabat lo ternyata ada didalam mall terlihat lenggang tidak seperti orang yang sibuk akan suatu kegiatan. Kecewa dan merasa tekhianatai dan lo langsung mencari-cari kesalahan pada diri lo sendiri atas apa yang dilakuin sahabat lo.
Terdengar terlalu overthingking, tapi memang begitu kenyataannya.
Karena melihat ketiga sahabat itu sudah menyelesaikan kesalah pahaman yang ada, dimana kini Salma malah menangis memeluk Faras sambil meminta maaf karena dia telah melakukan hal yang sangat Faras benci didunia ini.
Contoh paling sederhana misal lu punya teman dekat kemana-mana bareng kemudian tiba-tiba dia bilang begini dengan sindiran.
"Eh... kita punya grup baruloh yang gak ada lu-nya."
Pasti kalian langsung mencari kesalahankan cuma karena itu. Hah.. sudahlah.
Akhirnya gue dan Farrel meninggalkan mereka berdua didalam rumah dan mengajak Farrel ketaman belakang rumah Faras untuk menanyakan sesuatu.
Duduk bersisian sambil menatap menerawang kedepan.
"Salma... dia beneran hamil?," gue bertanya dan menoleh menatap paras Farrel yang tertegun.
Tidak lama dia mengangguk lambat.
"Anak dari si Kim?,"lagi pertanyaan gue dijawab anggukan.
"Dan gue akan menikahi Salma secepatnya. Tapi tolong jangan kasih tau Faras dulu, kami yang akan cerita kedia. Jangan sampai dia tau dari orang lain. Sampai Abi bisa dapat kedudukannya setelah pesta maka Faras bakalan aman."
Kemudian gue mengiyakan dengan anggukan juga. Ini bukan ranah gue bila Abi sudah memberi pesan.
___
Ramai dan penuh intrik, suara saling bersautan. Pakaian-pakaian mahal berjalan penuh keindahan mencolok mata bagi yang tidak terbiasa, dengan dagu meninggi semua orang berjalan penuh percaya diri meminta perhatian.
Gue memegang gelas minuman yang diambil dari pelayan yang lewat, menatap keseluruhan para hadirin yang datang dipesta pengangkatan Abiandra sebagai CEO sekaligus pemegang hampir keseluruhan kekayaan Kakek Lee.
Kemudian mata gue menatap segerombolan para pejabat dan seorang pemilik firma hukum terkenal handal setiap pengacaranya. Gue mendekat untuk menyapa sekaligus mencari kenalan dari para petinggi politik.
"Halo...bapak Tirto, pemilik firma hukum yang terkenal di ibu kota kita. Kekuatan para pengacara yang selalu memenangkan kliennya." gue berucap menyapa pak Tirto, pemilik perusahaan firma hukum terbesar dan paling lama berdiri.
Kemudian menatap tiga orang lainnya dengan sanjungan jumawa yang mereka inginkan secara nyata. Mereka balas menepuk pundak gue, sambil bertanya tentang papa sebagai bentuk basa basi atas pujian gue yang menyenangkan hati mereka.
Begitupun pak Tirto, tersenyum merasa bangga dengan sanjungan yang gue lakukan.
"Tidak juga, masih banyak yang lebih baik dari firma hukum saya. Walau memang pengacara firma hukum saya tidak pernah mengecewakan. Hahahaha--,"jawabnya jumawa disertai tawa gelegar bangga.
Gue ikut tertawa, dan lanjut mengobrol kedalaman dimana pak Tirto menceritakan bagaimana dulu dia membangun firma hukum itu. Yang akhirnya beliu mengajak gue untuk makan malam bersama gue, dengan niat terselubung menjodohkan gue dengan anak perempuannya.
Sebab sebenarnya sedari tadi, pak Tirto selalu menyebut anak perempuannya. Dia secara terbuka mempromosikan putri kesayangan sekaligus model terkenal ibu kota, yang sedang naik daun.
Gue hanya terkekeh dan sesekali menanggapi seadanya ketika pak Tirto menawari untuk berkenalan dengan anaknya. Tapi gue bilang saja, mungkin dimakan malam yang akan datang gue bisa bertemu dan berbincang langsung.
Kemudian banyak kenalan papa juga yang datang, mereka welcome dengan gue dan memberikan nasehat-nasehat untun memegang jabatan di umur yang semuda gue.
Walau tidak jarang gue sesekali menjilat mereka, yang dimana mereka tanggapi dengan jumawa atau merendahkan diri maupun hatinya. Ternyata kenalan papa banyak yang old money walau tidak selama kelurga Lee.
Disini banyak kenalan papa yang luar biasa, beberapa dari mereka mulai memberikan dukungan pada gue dan mengatakan untuk menghubunginya jika ada kendala. Gue iyakan dan kami berbincang kembali.
Kemudian acara yang paling ditunggu datang, para tamu diberitahukan untuk duduk dikursi yang sudah disediakan. Lampu ruangan dimatikan dan menyisakan keremangan dari lampu-lampu hias pada dinding.
Kursi tersedia dengan meja bundar didepannya, yang dimana berisikan 5 orang di satu meja bundar besar.
Para tamu mulai berbisik melihat keatas panggung, dimana Abiandra berjalan bersama kakenya menuju podium. Dengan jas dan postur tubuh yang tinggi tegap, seperti pada keturunan kakeknya. Abiandra sukses membuat para wanita disini resah diatas kursi mereka.
Berbanding terbalik dengan keadaan yang ada dimeja, dimana mereka mendengus lirih dimana dari mereka gue menenggakan punggung, terkejut.
"Cih, anak itu sudah dicuci oleh kakeknya sendiri dengan melepaskan adiknya dari lingkup keluarga mereka. Sangat disayangkan sekali, hanya karena harta mereka rela membuang seorang manusia." Itu suara salah satu pejabat politik terkenal. Dia menggunakan jas dan dasi kupu-kupu, Pak Mikel namanya.
"Bahkan membunuhpun dihalalkan oleh mereka, darah saudara tidak lagi berharga bagi mereka. Membuang masih dalam kasus kecil didalam lingkup keluarga mereka,"
"Kenapa kamu terlihat terkejut?. Jangan bilang, nak Gibran belum tau?" Tanyanya dan gue angguki.
Dia terkekeh sambil menepuk pundak gue prihatin.
"Kamu perlu banyak mengetahui tentang mereka, ini sudah jadi rahasia umum dikalangan para orang tua old money dan para elit politik. Memang orang seperti kamu tidak akan tau, beruntung kamu duduk bersama saya dan sekarang tau informasi ini bukan?."
"Kalau boleh tau...apa anak yang dibuang itu masih ada?,"
"Tentu saja. Kalau tidak salah, dia diasuh oleh seseorang yang bekerja dirumah utama keluarga Lee. Mereka diberikan uang dan saham untuk menghidupi anak yang terbuang itu, sebenarnya cukup konyol. Alasannya, karena kakek tua itu tidak mau memiliki dua oewaris yang dapat saling membunuh. Padahal ketika itu cucunya masih balita tapi dia sudah beranggapan jauh kedepan sebelum pikiran kita,"
"Apa bapak kenal anak itu?."
"Sepertinya saya kenal. Sebentar, saya pernah punya potonya kiriman dari seseorang yang mengancam kakek Lee agar mengembalikan perusahaanya yang gulung tikar karena mengorupsi dana perusahaan kakek Lee, sebentar..."
Sambil menunggu pak Mikel mencari poto tersebut, gue kembali menatap kearah dimana sekarang Gibran bericara, berterima kasih dan sangat tersentuh atas kehadiran para tamu. Masih tidak percaya dengan informasi baru ini.
Menatap tepat dimana Abiandra didepan sana.
"Dimana poto itu ya... Saya rasa tidak pernah menghapusnya."
"Ah... ini dia," ucap pak Mikel sambil menyodorkan ponselnya kearah gue.
Detik itu, rasanya napas tertarik keluar dari paru-paru gue bersamaan dengan detak yang berhenti sejenak menatap pada layar ponsel.
.
.
[Jangan lupa tinggalkan jejak ya... aku tunggu komentarnyaaaaaa... kasih tau aku kalau ada kesalahan dalam tulisanku, biar aku bisa perbaiki. huhuhu aku tunggu kalian, sangattttttttttt.]
SELAMAT MEMBACAAAA....