Chereads / Mengambil kembali cintanya / Chapter 27 - Membutuhkan: Faras

Chapter 27 - Membutuhkan: Faras

[NIKMATIN DULU YA GUYS]

___

Abiandra: Maaf ya. Hari ini schedule gue padat, mungkin bisa main kerumah nanti malam kalau berkas kantor sudah selesai gue pelajari atau minggu minggu depan ya.

Faras: Jahat!

Abiandra: Sorry... gue salah karena udah menjanjikan untuk datang tapi gak bisa menepati. Nanti-nanti gue gak akan deh janji sama lu, tapi akan gue buktiin dengan tindakan gue.

Faras: NYEBELIN! MENDING GAK USAH DATENG SEKALIAN! GAK USAH DATANG SAMA SEKALI, GUE GAK BUTUH LO ADA DISINI!!!.

Setelah membalas pesan itu dengan huruf kapital dan tanda seru. Aku membuang ponsel kesamping, masa bodo jika sampai ponsel itu jatuh kebawah ranjang.

Aku sebal sekaligus ingin menangis karena semua orang jadi ingkar janji padaku, mereka juga jadi jarang ada disiku. Aku jadi kesepian dan merasa kosong, hal yang biasa aku dapatkan dari ketiga temanku sekarang sama sekali tidak aku rasakan.

Sejak aku sakit, semuanya berubah dan aku sangat sakit akan itu. Jadi ketika sepi menyapa didalam kamarku, aku mulai menangis. Aku terisak karena hal begini.

Aku juga mengabaikan bunyi panggilan masuk maupun pop up notifikasi yang menyala. Aku nggak peduli, sekarang aku hanya ingin menangis untuk melegakan sesak didada. Dalam keadaan telentang aku menutup mataku dengan kedua lengan namun urung menyembunyikan suara isak tangisku.

Mengingat hari ini, lagi-lagi orang tuaku malah memilih pergi ketika kuminta untuk menemaniku berlibur. Aku berhong berkata begitu hanya untuk menaham mereka yang baru seminggu ada dirumah sudah akan pergi lagi.

Aku tidak paham dengan pekerjaan orang tuaku yang terlihat lebih sibuk dari seorang presiden yang memimpin satu negara. Ayahku hanya pemimpin jabatan tertinggi diperusahaan, yang mana hanya ada ribuan karyawan.

"Apa nggak bisa ditunda dulu, yah?. Temani aku jalan-jalan dong, udah lama gak jalan-jalan bertiga, aku ditinggalin terus disini. Mau ikut juga gak diijinin kan..."

Sambil menyuapkan nasi kedalam mulut, Aku meliht bagaimana ayah menatapku dengan pandangan tidak tertarik. Sedang mama diam saja tidak membantu.

"Nggak bisa, ka. Kalau ayah gak datang nanti kerja sama kita bisa gagal, nanti jajan kamu dari mana? gimana masa depan kamu kalau ayah bangkrut?."

"Padahal cuma minta waktu sebentar, tapi kok susah banget kaya ngirim cv buat kerja."

Setelah itu ayah dan mama benar-benar pergi setelah mengetuk pintu kamar gue untuk pamit tapi tidak aku bukakan. Aku malah mendengar ayah berucap pada mamah yang malah membuat aku sangat-sangat bodoh berharap ada perubahan.

"Biarkan saja, dia jadi manja. Sudah besar tapi tidak dewasa. Kita perlu ke bandara sekarang, Mah."

Hah. Kadang aku selalu bertanya-tanya pada semesta. Kenapa aku dilahirkan dikeluarga ini, aku jadi sering membandingkan kedua orang tuaku dengan orang tua teman-temanku.

Tidak baik sebenarnya, aku jadi tidak bersyukur. Aku tidak bisa berpikir seperti terus menerus, yang ada pada akhirnya aku merasa tidak adil dan terus bersedih dengan membandingkan semuanyaa dengan orang lain.

Padahal apa yang kupunya sekarang sangat diinginkan oleh orang lain. Namun, seharusnya orang tuaku paham. Aku hanya ingin kasih sayang mereka, aku ingin tumbuh dan mengingat ada tangan orang tuaku yang membuat aku sampai sebesar sekarang.

Orang tuaku malah memberikan lingkungan yang sangat berbanding terbalik dari yang kuinginkan. Jika kalian mengira aku dekat orang tuaku, kalian salah.

Saking jauhnya aku dengan orang tua. Terlalu sungkan bagiku bercerita tentang hal sepele selain bagaimana nilai kuliah.

"Pantas saja. Aku cari tidak ada, ternyata sedang nangis dikamar."

Aku menghentikan tangisdan mengintip dari balik lenganku, siapa ynag berani masuk kemarku. Ketika tau itu siapa, aku kembali melanjutkan tangisku dan berhenti memikirkan apa yang kubayangkan tadi.

Brengseknya lagi, setelah pertemuanku dengan Salma dan Farrel di resotran dan pulang kerumahku. Kukira kami akan membahas kejadian yang menimpanya dan alasan apa yang membuat mereka berbohong padaku.

Tapi yang kulihat adalah penolakan Salma untuk bicara begitu juga Farrel yang mengikuti tingkah Salma. Yang dia lakukan adalah berbisik kepada Farrel dengan wajah tertunduk. Sampai Farrel berpesan jika Salma belum berani untuk cerita langsung, dia butuh waktu lebih dulu karena malu denganku.

Tapi aku tidak menemukan alasan apa yang membuat Salma malu padaku, aku tidak paham dengan pemikiran keduanya dan aku ditinggalkan lagi setelah itu sampai sekarang.

"Apa perlu aku menculik kamu dan membawa pergi jauh dari sini?,"rengkuhan dan suaranya yang berada didekatku membuat aku tertegun dan berhenti menangis.

Hangat. Pelukan Gibran selalu nyaman dan membuatku tenang, jadi dalam keadaan seperti ini aku semakin adiktif dengan Gibran yang selalu ada. Kubalas rengkuhannya dengan erat.

Tanpa pikir panjang aku berucap dalam pikiran kalut yang tidak kupahami, kecemasan itu selalu datang ketika aku merasa ditinggalkan.

"Bawa aku pergi dari sini kalau begitu, tolong bawa aku dari rasa sakit."

.

.

"Ini lebih baik daripada merasa kesepian."Monologku.

Aku memejamkan mata untuk merasakan tiap belaian angin pada kulitku. Rambutku berkibar mengikuti arah angin, aku senang dan merasa tenang. Hutan adalah hal yang selalu kusukai.

Aku tidak tau, Gibran membawaku kehutan apa. Hanya saja disini ada sebuah desa, jadi tidak begitu peloksok sekali.

"Tempat seperti ini selalu jadi hal paling menyenangkan bagi kamu ya."

"Hem."

"Apa sekarang kamu merasa lebih baik,"

"Iya. Hanya saja masih ada sesak, rasanya masih terasa dan aku benci ketika sugestiku mengatakan jika aku akan kehilangan banyak hal."

"Aku bersama kamu, jadi tidak perlu khawatir lagi."

Iya, aku tidak perlu khawatir untuk sekarang.

Aku selalu menangis hanya karena batalnya janji temu kami, aku selalu kesal dan menyesal sekaligus karena selalu percaya kepada mereka. Aku sudah terlalu kenyang rasanya dibohong oleh tindakan dan janji-janji manis.

Yang membuat diriku selalu tidak terima jika sahabatku batal datnag atau tidak ada ketika aku butuh mereka. Aku selalu seperti ini, aku tidak tau kenapa.

"Kalau begitu, kita akan menginap disini dua hari dua malam."

"Aku gak bawa baju ganti,"

"Gampang, disini dekat pasar malam. Kita bisa beli disana."

"Oke,"kujawab tanpa pikir panjang lagi.

Karena yang ku inginkan sekarang adalah menjernihkan pikiranku. Karena rasa sepi itu semakin menyulitkanku. Apalagi skripsiku pun belum selesai, tapi aku tidak tau bagaimana progres Farrel maupun Salma. Berbeda dengan Abi, dia sudah lebih dulu lulus.

Biarkan aku melarikan diri dari masalahku sebentar. Dalam keadaan seperti sekarang, aku hanya dapat memikirkan diriku sendiri tanpa solusi. Aku perlu ketenangan dengan rasa nyaman dan aman seperti sekarang.

Ketika Gibran mengajakku kepasar, melihat hari sudah sore. Tidak baik berada dihutan sampai malam bukan. Jadi kami berjalan menuju desa dengan Gibran yang mengenggam tangaku.