Chereads / Konsekuensi / Chapter 59 - Singa & Ular

Chapter 59 - Singa & Ular

Bibinya Salma dan suaminya pergi ke dapur untuk mengecek makanan yang ada disana, karena mereka merasa lapar sekarang. Namun ketika wanita itu membuka tudung saji yang ada, ekspektasinya tidak sesuai dengan realita yang ada. Tidak ada satu pun makanan di dapur. Pasangan itu pun lalu saling melirik.

"Gabriela, bagaimana ini?" bisik sang suami.

"Kenapa kau memanggilku dengan nama itu?" tanya Gabriela yang tampak tidak senang.

"Ini rumah ibu, kita harus mengikuti apa yang menjadi kebiasaannya."

"Tapi aku tidak pernah menyukai nama buatannya itu. Namaku Gucci, dan aku lebih menyukai nama asliku yang terdengar mewah itu. Orangtuaku memang pandai memberikanku sebuah nama."

"Tapi, Gabriela-"

"Sudah, Mulyono. Jangan memanggilku dengan nama itu. Kau tidak pernah memanggilku dengan nama itu selama ibu dan Salma pindah kesini. Jika kau membicarakan tentang kebiasaan ibumu, maka kenapa ada kebiasannya yang berubah? Ibu tidak pernah membiarkan tamunya kelaparan. Kita memang anaknya, tapi posisi kita yang jauh-jauh datang dari kampung sekarang adalah tamu."

"Kau tidak ingat? Di hadapan ibu, kau harus memanggilku dengan nama Mark."

"Sshhttt. Sudah cukup membahas namanya. Ayo kita ke ruang tv dan menemui ibu. Ada yang aneh disini."

"Apa?"

"Dimana Salma?"

"Ah, iya, kau benar. Ayo."

Mark dan Gabriela lantas pergi ke ruang tv, menghampiri nenek Marimar yang sedang asyik dengan FTVnya.

"Biar aku saja yang bicara," bisik Gabriela alias Gucci. Ia kemudian masuk ke ruang tv dan membiarkan Mark menunggunya di depan pintu.

"Ehm. Ibu, maaf jika aku mengganggu," ucap Gabriela dengan malu-malu.

"Ya, kau memang menggangguku," ketus nenek Marimar.

"Ehehehe. Maaf, ibu, tapi, kenapa di dapur tidak ada makanan apa-apa?"

"Kau lapar?"

"Ya, aku dan Mul, maksudku, Mark sedang kelaparan sekarang. Biasanya kan, kalau kami datang ke rumah ibu, makanan selalu tersedia di dapur."

"Kalau kalian lapar, masak saja sendiri."

"Tapi, di dapur tidak ada apa-apa ibu."

"Lalu? Kalian mau apa?"

"Tentu saja mau makan." Gabriela malu-malu bolot.

"Kalau mau makan, makan saja."

"Apa yang harus kami makan? Kan tidak ada bahan atau pun makanan di dapur."

"Beli. Apa susahnya?"

Gabriela sontak menoleh kearah suaminya, seolah ia bertanya harus berkata apa lagi. Mark tampaknya mengerti, namun ia justru mengangkat kedua bahunya.

"Ah! Ahahah iya tentu saja kami harus beli," ujar Gabriela.

"Yasudah sana."

"Padahal dia sudah menopause, tapi dia masih saja bertingkah seperti seorang gadis," bisik Gabriela pada Mark. Mereka berdua lalu pergi ke kamar yang mereka tempati.

Di rumah makan Populer, pelanggan kebetulan lagi sepi, jadi kesempatan Khansa untuk terus menyandar pada Arvin semakin besar. Ya, seakan ada lem diantara mereka berdua, membuat mereka tidak bisa lepas. Arvin yang duduk di samping Yahya pun tidak bisa tenang dan terus memberontak.

"Bantu aku," ucap Arvin pada Yahya. Namun Yahya memilih cuek.

"Kenapa kau terus memberontak? Kita terlihat mesra jika seperti ini terus," ujar Khansa.

"Kau bukan kekasihku! Jadi menyingkirlah! Aku kira ibu sudah berhenti menyuruhmu untuk mendekatiku, tapi ternyata tidak. Aku tidak menyangka."

Khansa lalu melepaskannya.

"Kau tidak mengerti."

"Ini sudah jelas bagiku."

"Tidak. Bibi Zemira tidak memintaku untuk mendekatimu. Hanya saja hatiku tergerak sendiri."

Wanda dan Yahya yang tadinya terlihat tidak peduli, sebenarnya menguping percakapan mereka berdua. Dan kini mereka melihat Arvin dan Khansa.

"Maksudmu, jiwa merebutmu bergejolak?" ejek Arvin.

"Ya, dan aku minta maaf," kata Khansa.

"Aku melakukan ini karena aku terpaksa," sambungnya.

"Terpaksa tidak berhenti?" ejek Arvin, lagi.

"Aku akan menceritakannya padamu. Beberapa minggu yang lalu, aku sudah mempersiapkan pernikahanku dengan mantan tunanganku. Namun tiba-tiba seorang wanita yang tidak kukenal muncul di kehidupanku dan mengatakan kalau dia sedang mengandung anak mantan tunanganku. Awalnya aku tidak percaya dan menganggap hal itu hanyalah sebuah lelucon, tapi mantan tunanganku memilih diam, jadi aku memaksanya untuk melakukan tes DNA. Dan hasilnya positif. Seketika itu juga aku memutuskannya dan hal itu membuatku sangat hancur. Aku sempat mengurung diri selama beberapa hari. Sampai akhirnya bibi Zemira datang lagi di kehidupanku. Aku menerima permintaannya demi melupakan segala yang sudah terjadi tentang kisah asmaraku sebelumnya. Namun tiba-tiba dia memintaku untuk berhenti. Tapi aku tidak bisa berhenti begitu saja, sebab ingatan itu akan kembali muncul, dan rasa sakit itu seperti sudah menjadi sebagian dari diriku jika aku tidak cepat-cepat move on. Dan hanya kau yang bisa membuatku melupakan hal itu. Mungkin sulit bagimu untuk menerimaku, terlebih lagi ada Salma. Jadi aku minta maaf jika selama ini aku sudah mengganggumu. Kau tahu alasannya sekarang dan aku tidak butuh rasa kasihanmu. Yang aku butuhkan hanya sebuah pengertian."

Arvin kemudian terdiam.

"Aku tidak memintamu untuk menjadi milikku, kau bisa tetap bersama Salma, tapi tolong bantu aku untuk melupakan hal itu," sambung Khansa.

"Baiklah, akan kucoba," ucap Arvin.

"Terima kasih." Khansa tersenyum.

"Kita mulai dari mana?

"Kau sedang bekerja, kan? Mungkin besok atau ketika jam istirahatmu saja."

"Baiklah, aku setuju. Kita akan membantumu move on sebagai teman."

"Sepakat," kata Khansa sembari tersenyum.

"Lalu, apa sekarang?"

"Aku akan pulang dan tidak akan mengganggumu bekerja."

"Baiklah."

Khansa lantas bangkit dari duduknya. "Sampai jumpa."

Arvin hanya mengangguk dan tersenyum.

'Gadis pembohong. Triknya lebih bagus dariku. Aku harus memastikan kebohongannya,' batin Wanda.

Khansa lalu berjalan menuju area parkir.

"Astaga! Aku baru ingat. Tadi ada anak-anak kurang ajar yang membuang sampah sembarangan di area parkir. Aku akan membersihkannya, takutnya hal itu akan mengganggu pelanggan," ucap Wanda ketika Khansa sudah pergi.

"Tumben sekali kau tanggap," sindir Yahya.

"Aku tidak tahu kenapa sejak tadi kau sangat berisik," ujar Wanda yang langsung pergi ke area parkir, menyusul Khansa.

"Jadi ... Apa status hubunganmu dengan gadis itu? Aku mendengar percakapan kalian dan sepertinya hubungan kalian tidak seperti yang aku pikirkan," tanya Yahya pada Arvin.

"Well, Khansa adalah anak paman Ephraim, mantan rekan kerja ayahku. Sudah lama ayahku tidak berhubungan dengan paman Eph, tapi ibuku ternyata masih berhubungan dengan bibi Bahira, ibunya Khansa. Awalnya ibuku meminta bantuan Khansa untuk memisahkanku dari Salma-"

"Ibumu melakukan itu?! Ah! Tentu saja, orang kaya itu selalu memandang derajat orang lain. Jangan tersinggung," sela Yahya.

"Tidak apa, hal seperti itu memang biasa diucapkan oleh orang miskin. Jangan tersinggung," balas Arvin.

"Hahahaha." Mereka berdua kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Ya, awalnya ibuku memang selalu memandang derajat orang lain, termasuk pada Salma. Tapi, setelah kami berbicara, akhirnya ibuku berubah dan menerima Salma. Tapi dia tidak langsung menerima Salma begitu saja. Salma harus melewati beberapa ujian dari ibuku. Dia memutuskan untuk berhenti meminta bantuan dari Khansa, dan selanjutnya adalah hari ini. Kau tahu sendiri," papar Arvin.

"Keputusan ibumu sangat tepat. Salma terlalu baik untuk disia-siakan, kau pria yang beruntung. Dia juga cantik, lebih cantik dari istriku."

"Hahaha, terima kasih, aku akan mengingat ucapanmu itu dan mengatakannya pada istrimu."

Yahya lantas terdiam.

Sementara itu, di area parkir, Wanda sedang membuntuti Khansa yang berhenti di depan pintu mobilnya. Khansa terlihat sedang berbicara sendiri sekarang, jadi Wanda mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkan fitur perekam suara.

"Rencana ini berhasil. Aku tidak menyangka kalau Arvin akan percaya dengan cerita konyol itu. Dia pria yang bodoh rupanya. Bunga dan Raya harus tahu hal ini. Mereka harus tahu betapa bodohnya adik mereka yang percaya dengan cerita dongeng seperti itu. Haha, ini sangat lucu."

"Ini adalah langkah awalku untuk merebut Arvin dari gadis kotor itu. Meskipun dia bodoh, tapi aku tetap mencintainya. Kenapa saat seperti ini tidak datang dari dulu?"

"Tidak apa lah, yang terpenting, langkah awal sudah kulakukan. Selanjutnya, aku akan mengajaknya makan berdua di kafe, dan membuatnya semakin menempel denganku."

Wanda lalu menaruh ponselnya di dalam saku celananya, namun tidak mematikan fitur perekam suara itu. Ia keluar dari persembunyiannya dengan 3 tepuk tangan yang membuat Khansa terkejut.

"Apa yang kau lakukan disini?!" tanya Khansa.

"Membuntutimu. Kenapa? Kau takut?" jawab Wanda.

"Kau menjijikkan."

"Merasa berbahaya karena rahasiamu sudah terbongkar sekarang?"

"Tidak. Aku tidak akan gentar hanya karena wanita rendahan seperti kau. Lagi pula, rahasia apa yang kau tahu tentangku? Hm?"

"Tentang rencana busukmu untuk menghancurkan hubungan Arvin dan Salma, lalu merebut Arvin dan menyingkirkan Salma. Apa kurang detail? Kau mengarang cerita tentang pertunanganmu itu demi membuat Arvin semakin mendekat padamu. Jelas?"

"Kau, jangan macam-macam kau denganku."

"Apa aku tidak salah dengar? Kau lah yang seharusnya tidak macam-macam denganku."

"Kau bodoh. Kau tidak tahu siapa aku dan bagaimana aku sebenarnya. Kau sedang membahayakan dirimu sendiri, nona."

"Ingin memutar-balikkan fakta? Maaf, tapi kau tidak akan bisa melakukannya, gadis malang."

Khansa terdiam dan menatap Wanda dengan tajam dan dengan rasa geram.

"Siapa namamu? Dan apa maumu?" tanya Khansa. Sebelum menjawab, Wanda memberhentikan perekam suaranya, namun tampaknya Khansa tidak tahu akan rekaman itu.

"Namaku Wanda. Aku menginginkan Arvin, lebih dari yang kau inginkan, Khansa," jawab Wanda.

"Tidak ada yang bisa merebut Arvin dariku. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk membunuh orang yang berusaha merebutnya dariku," kata Khansa.

"Aku? Aku akan memutilasimu jika kau berani menghalangi jalanku untuk mendapatkan Arvin."

"Kau licik. Menyudutkanku seolah kau sangat suci, benar-benar menjijikkan."

"Aku tidak peduli akan apapun yang kau katakan sekarang. Tapi aku akan memperingatimu, jika langkah yang kau ambil salah dimataku, aku pastikan kau akan berakhir saat itu juga." Wanda lalu berbalik badan dan berniat pergi.

"Aku tahu kau takut padaku, wanita sialan," ucap Khansa.

"Seekor ular tidak perlu takut pada seekor kucing yang sok lucu," ujar Wanda.

"Tidak ingatkah kau? Kucing adalah raja hutan, ular hanya kutu baginya."

Keadaan kini berbalik, Wanda tersudut dan ia terlihat sangat kesal. Sambil membalikkan badannya lagi, wanita itu bertanya pada Khansa.

"Apa yang kau mau?!"

"Dengar. Aku tahu kalau kau takut kalah dariku. Kau berpikir kalau rencanaku sangat bagus sehingga bisa mempengaruhi Arvin, dan sepertinya kau sendiri belum melakukan apa-apa, jadi kau mengancamku untuk membuatku mundur. Yang aku mau sekarang adalah, kita membuat sebuah kesepakatan."

"Kesepakatan apapun akan kusetujui, asalkan kesepakatan itu menguntungkan diriku."

"Tenang saja. Kesepakatan ini akan menguntungkan kita berdua."

"Katakan, apa itu?"