Chereads / Konsekuensi / Chapter 61 - Calon Adik Ipar

Chapter 61 - Calon Adik Ipar

Isa dan yang lainnya langsung berjalan menuju taman, sementara Mona dan Salma dengan cepat bangkit untuk menghindari pertanyaan yang aneh-aneh.

"Kalian tidak apa-apa? Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Isa pada Salma dan Mona.

"Ponsel siapa ini?" tanya Shirina sambil mengutip beberapa bagian ponsel Salma yang hancur.

"Itu ..." Salma terlihat bingung harus menjawab apa.

"Hei, Mo, maksudku, kak Mona. Lehermu kenapa? Kenapa lehermu merah dan ada bekas cakaran?" tanya Shirina, lagi.

'Dia peduli, baguslah, setidaknya kepura-puraan mereka bisa jadi nyata nanti,' batin Isa.

"Baiklah, baiklah. Aku akan menjelaskan segalanya, tapi tolong jangan memotongku," ucap Mona. Salma lalu melirik Mona, seakan tidak yakin kalau Mona bisa memberikan jawaban yang tepat, tapi Mona membalas lirikannya dengan tatapan yakin.

"Paman Ismail dan Zhani tahu kalau aku tadi sedang memberikan beberapa kucing makan. Salah satu kucing mencakarku dan lari begitu saja. Aku mengejarnya, namun tanpa sengaja aku menabrak kak Salma hingga membuat ponselnya jatuh dan aku menginjaknya. Semuanya hanya kecelakaan. Merah di leherku ini diakibatkan oleh beberapa semut yang menggigitku sesaat sebelum aku dicakar," jelas Mona.

"Kau ini ... Ceroboh sekali," ujar Isa.

"Kau tidak apa-apa, kak Salma?" sambung Isa.

"Tidak apa, terima kasih," jawab Salma.

"Ini ponselmu, kak? Jelek sekali, modelnya juga sudah tua. Ponsel seperti ini kenapa masih di produksi?" tanya Shirina.

"Hei," tegur Fina.

"Benar, kan?"

"Sudah, sudah. Kalian pergi sana. Paman Ismail, bawa kucing-kucing ini kembali ke kandangnya," suruh Isa.

"Baik, tuan," sahut Ismail.

Anak-anak kemudian pergi dari taman, disusul oleh Ismail dan kucing-kucingnya. Salma yang akhirnya selesai mengutip serpihan-serpihan ponselnya pun bangkit dan juga berniat pergi, namun Isa menahannya.

"Tunggu sebentar, kak."

"Ya? Ada apa?"

"Apa kakak memiliki kegiatan lagi?"

"Jam tiga sore nanti aku ada les bahasa Inggris. Arvin mendaftarkanku ke sebuah kursus dengan paksa, tapi, yasudahlah. Memangnya ada apa?"

"Masih ada beberapa jam sebelum pukul tiga sore. Maukah kau ikut denganku?"

"Kemana?"

"Aku akan membawamu ke suatu tempat, tapi masih rahasia untukmu."

"Jangan aneh-aneh."

"Tidak, ini tidak akan aneh."

"Hmm. Baiklah. Tapi kita harus meminta izin pada bibi Zemira dulu."

"Tenang saja. Sini, berikan serpihan itu padaku."

"Untuk apa padamu?"

"Berikan saja," Isa merebut serpihan ponsel itu dengan paksa, lalu mencari sebuah sekop. Setelah menemukan sekopnya, ia mengorek tanah di taman itu dan mengubur serpihan ponsel Salma.

"Eh! Apa yang kau lakukan?!" tanya Salma.

"Sayang jika dibuang, kan? Jadi lebih baik dikubur saja," jawab Isa.

"Ayo," ajaknya.

"Kau ini, ada-ada saja," ujar Salma.

Isa lantas berjalan menuju garasi dan mengambil mobilnya.

"Paman Ismail! Jika ibu bertanya tentang keberadaanku atau kak Salma, katakan pada ibu kalau aku mengajak kak Salma pergi sebentar!" teriak Isa.

"Baik, tuan!" sahut Ismail.

"Ayo naik," suruh Isa pada Salma.

"Yah, itu memang cara berpamitan yang terbaik," canda Salma.

"Hehehe."

"Bagaimana dengan Dina? Kau akan terlambat menjemputnya."

"Tidak apa, aku sudah mengatakan padanya kalau aku akan mengajakmu pergi sebentar, dan dia setuju."

"Dia tahu kemana kau akan membawaku pergi?"

"Tentu. Dina itu sangat rinci kalau bertanya."

"Baiklah, baiklah." Salma lalu masuk kedalam mobil Isa.

Di lain tempat, Wanda akhirnya kembali ke rumah makan Populer setelah cukup lama berada di parkiran.

"Hei, ratu, habis keliling dunia, ya?" sambut Yahya.

"Berisik," ujar Wanda.

"Kau melewati keramaian disini, Wanda. Aku sampai turun tangan untuk membantu Arvin dan Andra melayani pelanggan, dan kau malah bersantai-santai di parkiran."

"Aku kan sudah bilang, aku membersihkan sampah!"

"Berapa banyak anak yang sudah datang kesini sejak kita buka tadi pagi? Seratus? Seribu?"

"Kau pria terberisik yang pernah kukenal. Lagi pula ramainya sebentar saja, kan? Buktinya kau sudah duduk di kursinya lagi."

"Ya, ramainya sebentar saja, namun kau pergi selama hampir setengah jam."

"Bersyukurlah karena aku memiliki inisiatif untuk membersihkan sampah-sampah itu." Wanda lantas pergi menuju kamar mandi.

"Seharusnya Jhana ada disini untuk melihat betapa lucunya kau," ucap Yahya.

"Apa maksudmu?" tanya Wanda yang berhenti di depan pintu.

"Kau tidak mengerti? Hahaha, astaga. Tidak ingat kah kau? Dulu kau pernah memarahinya karena dia mengurus anak-anaknya diluar jam istirahatnya selama dua setengah jam. Saat itu dia mendapatkan panggilan dari sekolahnya Fina. Tercipta pertengkaran diantara kalian berdua yang berujung pengunduran diri Jhana. Dan sekarang kau melakukan hal itu. Saat itu kau begitu merasa paling benar dan sangat suci, tapi kau justru melakukan hal yang menurutmu salah besar itu sekarang. Entah apa yang kau urus di parkiran dan membuat kau kembali begitu lama."

"Aku berbeda dengan Jhana saat itu. Pertama, aku hanya pergi selama hampir setengah jam, sedangkan dia pergi selama dua jam lebih. Kedua, aku pergi untuk membersihkan area parkir dan memberikan rasa nyaman pada para pelanggan, sedangkan dia pergi untuk urusan pribadi. Dan yang ketiga, dia dipecat, bukan mengundurkan diri," kata Wanda.

"Jadi kau merasa kalau dirimu lebih baik?"

"Jauh lebih baik."

"Lalu, apa yang akan kukatakan pada pak Toni tentang hal ini? Dan kira-kira apa yang akan dia lakukan? Dia tahu kalau sampah di area parkir sebenarnya sedikit. Akankah kau menyebut dirimu dipecat?"

Wanda tersenyum sadis. "Kau membutuhkan saksi, Yahya. Tidak semudah itu membuat orang lain dipecat."

"Aku punya mantan kekasihmu jika Arvin tidak bersedia memberikan kesaksiannya."

"Benarkah? Kalau begitu, selamat mencoba," pungkas Wanda yang kemudian langsung masuk.

'Kenapa dia tidak takut? Apa dia memang ingin mengundurkan diri?' batin Yahya.

"Aku seperti pernah mendengar nama Jhana disini," ujar Arvin.

"Memangnya kau pernah mendengar nama itu di tempat lain?" tanya Yahya.

"Aku tidak ingin melebarkan topik. Aku hanya merasa pernah mendengar nama itu disini. Masalah aku pernah mendengar namanya ditempat lain atau tidak, itu bukan urusanmu."

"Wow, selamat datang, Arvin yang lama," ejek Yahya.

"Argh, terserah kau saja."

"Hahaha. Ketika kau pertama kali datang kesini, Jhana sedang menjadi topik hangat."

"Oh."

Yahya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mendengar jawaban Arvin yang singkat, padat, cepat dan akurat.

Kembali ke Isa dan Salma. Mereka kini sampai disebuah Mall, ya, Isa membawa Salma ke sebuah Mall ternama di Yogyakarta, namun masih belum jelas tujuannya apa.

"Apa yang ingin kau lakukan di Mall pada pagi hari seperti ini?" tanya Salma saat mereka berdua sedang turun ke lantai dasar.

"Ikut saja," ucap Isa.

"Iya, tapi, kau selalu mengatakan itu saat aku bertanya."

"Ok, kita sampai."

Mereka akhirnya berhenti di sebuah toko yang menjual sebuah merk ponsel ternama di dunia.

"Ini? Apa ini? Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Salma.

"Pilih yang kau mau, aku akan membelikannya untukmu," suruh Isa.

"Hah?"

"Ponselmu hancur, kan? Aku akan membelikanmu yang baru dan lebih canggih."

"Isa, jangan."

"Kenapa?"

"Ponselku memang hancur, tapi aku masih bisa membeli yang baru meskipun tidak secanggih yang ada disini."

"Kapan? Tahun depan? Dua tahun lagi? Kau memiliki seorang nenek yang harus kau awasi melalui sambungan telepon. Pikirkan itu. Kau mungkin akan mendapatkan panggilan dari ibuku jika dia membutuhkan sesuatu darimu. Saat kau dalam bahaya, kau membutuhkan kak Arvin yang jauh darimu, jadi kau harus menghubunginya."

Salma lalu terdiam.

"Ini bukan tentangmu, kak. Ini tentang orang-orang yang menyayangimu," sambung Isa.

"Tapi kau tidak ada hubungannya dengan ini. Maksudku, yang seharusnya bertanggung jawab bukan kau. Lagi pula aku sudah ikhlas, Mona tidak sengaja, semua hanya kecelakaan."

"Jika kau mempermasalahkan yang seharusnya bertanggung jawab, maka aku lah orang yang harus bertanggung jawab atas hal itu."

"Apa maksudmu?"

"Aku yang membawa Mona ke mansion, jadi aku harus bertanggung jawab atas dirinya."

"Tapi-"

"Sudah, turuti saja aku. Aku ini calon adik iparmu, biarkan aku berbuat baik padamu. Lagi pula mungkin ini adalah kesempatan satu-satunya bagiku untuk membelikanmu sebuah barang yang akan sangat berguna bagimu dan bagi banyak orang, sebelum aku menikah."

Salma hanya bisa diam, kemudian tersenyum. "Baiklah, kau menang."

Sore hari akhirnya tiba, di rumah kontrakan nenek Marimar dan Salma, Mark bersiap untuk pergi, pulang ke kampung dan berpamitan pada ibunya.

"Kau akan pulang tapi kau belum sempat bertemu dengan Salma, apa lagi dengan keluarga pacarnya. Mengetahui keberadaannya saja tidak, bagaimana kita bisa bertemu dengannya," ucap Gucci.

"Sudahlah, aku akan berpamitan dengan ibu," ujar Mark.

"Apa kau berpikir kalau ibu akan mendengarmu? Dia sudah tua, tapi aku tahu dia tidak tuli. Entah apa yang terjadi padanya sehingga satu harian ini dia mengabaikan kita."

"Apa kau merasa kita melakukan kesalahan padanya?" tanya Mark.

"Tidak, tetapi pikirannya yang salah."

"Huh. Yasudah, jika seperti ini terus, mungkin kau harus berjuang menghadapi ibu."

"Rasanya aku ingin tinggal di rumah mewah pacarnya Salma. Rumahnya pasti sangat besar."

"Berkhayalnya nanti saja, aku akan berpamitan dulu pada ibu," ucap Mark sambil membawa kopernya. Ia dan Gucci kemudian pergi ke ruang tv.

"Ibu," panggil Mark.

"Hm?" sahut nenek Marimar dengan nada cuek.

"Aku pamit, ya."

"Mau kemana, kau?"

"Pulang."

Nenek Marimar lalu mengernyitkan dahinya.

"Kenapa cepat sekali?" tanya nenek Marimar.

"Karena kami tidak mendapatkan pelayanan yang bagus disini," timpal Gucci. Mark kemudian menyenggolnya.

"Maksudku, Mark memang hanya mengantarkanku kesini. Rencana awal kami adalah, kami akan ikut Salma ke rumah calon keluarga barunya, dan Mark akan pulang pada jam segini. Tapi entah dimana Salma sekarang," sambung Gucci.

"Hm. Kau tidak ikut pulang, Gabriela?" tanya nenek Marimar.

"Ibu mengusirku?" bisik Gucci pada Mark.

"Tidak ibu, hanya aku saja. Yasudah, aku pergi, ya," ujar Mark yang hendak mencium tangan ibunya, tapi nenek Marimar cuek dan pura-pura tidak tahu, membuat Gucci dan Mark semakin bingung dengan sikap wanita tua itu, tanpa tahu bahwa nenek Marimar marah kepada mereka karena mereka tidak mengundangnya di acara pernikahan Matthew dan Barbara.