"A-apa maksudnya ini? Apa kalian sudah menikah? Kapan? Kenapa tidak bilang-bilang padaku?" tanya Yahya.
"Mengaku saja! Kalian pasti menikah secara siri!" ucap Wanda.
"Salma, je-jelaskan apa maksudmu. Jangan membuat orang lain bingung," suruh Arvin.
"Ehehehe. Tenang, ga is, maksudku, guys, hehe, maklumlah, aku baru sehari mengikuti kursus bahasa Inggris. Jadi aku itu belum menikah dengan Arvin-"
"Jadi apa maksudmu?!" Wanda menyela Salma dengan nada tinggi.
"Hei, santai. Jika kau tidak memiliki niat buruk, tenang saja, tidak perlu menekan gas," ujar Yahya. Wanda lantas hanya bisa mendengus.
"Ok, ok. Aku akan menceritakannya dari awal. Pertama, bibiku datang dari kampung kami dan akan tinggal bersama aku dan nenekku dalam waktu yang lama. Dia mengatakan padaku kalau ucapan itu adalah doa, dan dia bilang, jika aku ingin Arvin menjadi suamiku, maka aku harus terus mengatakan kalau Arvin itu adalah suamiku, maka hal itu akan jadi kenyataan," jelas Salma.
"Oh, astaga. Bibi dan keponakan sama saja," keluh Wanda.
"Yah, bibiku sebenarnya tidak langsung menyuruhku untuk terus memanggil Arvin sebagai suamiku memang, awalnya dia hanya salah sebut dengan mengatakan kalau Arvin itu suamiku, lalu aku memperbaikinya dan barulah dia mengatakan kalau aku sebenarnya tidak perlu memperbaiki ucapannya, karena ucapannya itu sebenarnya sebuah doa. Dan aku berpikir, jika ucapan adalah doa, maka aku akan terus berucap bahwa Arvin adalah suamiku," sambung Salma.
"Bibimu tidak bermaksud seperti itu,"ujar Arvin sembari menepuk jidatnya.
"Hahahaha, itu adalah pemikiran terjenius yang pernah kutahu. Salma, kau pantas mendapatkan sebuah penghargaan," Yahya terkekeh. Arvin pun langsung menatapnya dengan tatapan membunuh, Yahya sontak berhenti tertawa.
"Oh iya! Aku punya oleh-oleh untuk para pekerja disini. Tunggu sebentar, aku akan ke dapur," kata Salma.
"Bersiaplah untuk kejutan kedua," ucap Yahya.
"Diamlah, atau aku akan mengatakan pada istrimu kalau kau menyebut Salma lebih cantik darinya," ancam Arvin.
"Hoho, kau memang penyebab utama pertengkaran di rumah tanggaku."
"Hello, ga is! Ai hep brownies tu yo-u," ujar Salma, kebetulan sedang tidak ada pelanggan, jadi tidak ada yang perlu merasa malu atas bahasa Inggris Salma yang masih agak aneh di dengar.
"Kau bilang apa tadi?" tanya Wanda.
"Hehe, yang kubilang tadi itu artinya 'aku punya sebuah brownies untuk kalian'," jawab Salma.
"Aku kira kau baru saja mempelajari bahasa alien," ejek Wanda yang kemudian mengambil sepotong Brownies dari piring yang dibawa Salma.
"Lebih baik berantakan daripada tidak bisa sama sekali," ucap Yahya yang ikut mengambil sepotong Brownies dari atas piring yang dipegang Salma, Andra dan Arvin menyusul.
"Hei, aku bisa berbahasa Inggris walaupun sedikit," kata Wanda.
"Oh ya? Katakan selain yes, no, happy birthday, dan thank you."
"You're welcome."
Ekspresi wajah Yahya seketika berubah menjadi ekspresi kesal.
"Kau memang pandai menjawab," ucap Yahya.
"Ini enak, brownies buatan siapa ini?" tanya Arvin.
"Buatan bibiku. Dia membawakanku satu loyang untuk dibagikan kepada seluruh pekerja disini," jawab Salma.
"Katakan pada bibimu kalau browniesnya ini pantas untuk dijual di mall," ujar Yahya.
"Yah, nenekku bilang bibiku itu seorang mastersep."
Arvin yang mendengar hal itu lalu tersedak dan terbatuk-batuk.
Baru saja akan berkomentar tentang 'mastersep', Wanda langsung dihalangi oleh Arvin dengan sebuah 'ssshhhttt'.
"Bibimu itu membuatku penasaran. Besok, bawa dia ke mansion dan jangan lupa bawakan keluargaku Brownies buatannya itu. Mereka harus memujinya," ucap Arvin.
"Setiap orang harus memujinya karena Browniesnya ini. Apa kalian menjualnya? Aku ingin lagi," ujar Yahya.
"Tidak, bibi hanya membuatnya jika nenek sedang marah padanya," kata Salma.
"Kenapa kalian tidak menjualnya saja?"
"Bagaimana caranya? Aku kan bekerja disini. Bibi dan nenekku sudah cukup tua untuk bekerja, aku tidak akan membiarkan mereka. Lagi pula, bibiku pasti sudah lelah bertani, makanya dia ingin menikmati hidupnya disini."
"Online shop."
"Kau gila? Ponselnya adalah ponsel keluaran tahun dua ribuan awal. Apa yang bisa diharapkan dari ponsel jenis itu?" ucap Wanda.
"Sebenarnya ponselku yang sekarang seperti ini. Sangat bisa untuk membuka toko online, tapi sayangnya aku tidak pandai melakukan hal itu," ujar Salma seraya mengeluarkan ponsel barunya dari sakunya.
"Wow, jadi permainanmu bukan Sudoku lagi?" tanya Arvin.
"Sebenarnya aku kecewa karena ponsel ini tidak memiliki permainan apa pun, apa lagi Sudoku, tapi ya namanya gratis, mau dibilang apa," jawab Salma.
"Kau mencuri?!" tanya Wanda.
"Hei! Isa membelikan ponsel ini untukku!" Salma membela diri.
"Apa yang terjadi? Kenapa Isa membelikanmu sebuah smartphone?" tanya Arvin.
"Merasa buruk karena bukan dirimu yang membelikannya smartphone? Atau kau tidak senang karena uang Isa terkuras demi dia?" tanya Wanda.
"Permisi, nona, anda tidak dibutuhkan di dalam pembicaraan ini," pungkas Arvin, Wanda kemudian hanya bisa terdiam.
"Terjadi kecelakaan kecil yang menyebabkan ponsel lamaku hancur. Mona sedang memberi makan seekor kucing, namun kucing itu lari dan Mona mengejarnya, tapi tanpa sengaja dia menyenggolku dan membuat ponselku terjatuh," papar Salma.
"Sudah kuduga, anak-anak Jhana memang pembuat rusuh, mereka tidak tahu untung, sama seperti ibunya," cibir Wanda.
"Untunglah kau memiliki calon adik ipar sebaik Isa, bukan seperti Wanda," ujar Yahya.
"Kau berisik," Wanda terlihat kesal.
"Apa kau terluka karena disenggol oleh Mona?" tanya Arvin pada Salma. Wanda yang kebetulan sedang berjalan menuju mereka untuk mendekatkan diri, menyenggol panggul Salma dengan panggulnya.
"Ouh, apa kau terluka, sayang?" ejek Wanda.
"Hahahaha," Salma tertawa renyah.
"Salma, jangan tertawa, aku khawatir," kata Arvin.
"Mona hanya menyenggolku, Arvin, sama seperti kak Wanda menyenggolku barusan. Tidak ada yang perlu di khawatirkan," ucap Salma. Arvin lantas memilih diam.
Di mansion Dhananjaya, Bunga kebetulan melintas di depan ruang kerja Ny. Zemira. Dimana di depan pintu ruangan itu, Kania dan Ny. Zemira tampak sedang berbincang. Ny. Zemira kemudian memanggil putri satu-satunya itu.
"Bunga!"
"Ya, ibu?" sahut Bunga.
"Bisakah kau memberikan uang belanja kepada Kania?"
"Untuk apa, ibu?" Bunga bertanya balik sembari mengernyitkan dahinya.
"Stok bahan makanan habis di gudang dan Kania lupa memberitahu ibu dari jauh hari, dia baru teringat sekarang dan meminta uang pada ibu untuk berbelanja segala macam bahan yang harus dibeli. Tapi ibu baru ingat kalau ibu sedang tidak memiliki uang cash selain di brankas. Kau tahu kalau ibu tidak mau mengganggu gugat uang yang ada di brankas, jadi ibu memutuskan untuk memberikannya kartu ATM ibu, tapi ibu tidak menemukan kartu itu disini atau pun di kamar ibu, mungkin ada terselip di suatu tempat, sedangkan Kania dan Indira sudah harus mulai memasak sekarang agar mereka tidak terlambat menyajikan makan siang untuk para pekerja di halaman belakang. Bisa ibu meminjam uangmu dulu?" jelas Ny. Zemira.
"Ya, tentu. Tapi aku juga sedang tidak memegang uang cash."
"Aduh, bagaimana ini?"
"Biar aku saja yang belanja menggunakan uang di kartu ATMku, aku tidak bisa mempercayakan pekerja mana pun untuk memegang kartuku. Jadi bibi Kania tunggu saja disini."
"Kau yakin?" Ny. Zemira memastikan.
"Ya, lagi pula aku sedang tidak ada kerja, jadi, apa salahnya jika aku berbelanja bahan dapur sekali-kali?"
"Baiklah, ibu senang kalau begitu."
"Berikan daftar belanjaannya, bibi," ujar Bunga pada Kania.
"Ini, Nyonya," Kania lalu memberikan daftar belanjaan itu.
Lain halnya dengan Jhana. Wanita itu kini sibuk tak menentu untuk menyembunyikan amplop coklat yang dipegangnya ditempat terbaik. Namun ia justru hanya terpikir tempat ia menemukan benda itu, kolong ranjang. Jadi Jhana pun menyembunyikannya di sana.
Dan ketika pintu terbuka, muncullah sosok Raya yang terkejut dengan keberadaan Jhana, begitu pun sebaliknya. Raya lalu menutup pintunya.
"Apa yang kau lakukan disini?!" tanya Raya.
"S-saya.. saya sedang mencari pakaian kotor Nyonya Bunga dan Tuan Kevlar disini, Nyonya," jawab Jhana. Raya pun tidak bisa menjawab lagi karena ia melihat sebuah keranjang kosong. Tapi sepertinya sebuah hal muncul dipikirannya.
"Bukannya Bunga selalu meletakkan keranjang yang berisi pakaian kotornya dan Kevlar di dekat mesin cuci? Karena dia tidak mau ada pekerja disini yang masuk kedalam kamarnya tanpa izin darinya," kata Raya.
Jhana kemudian menjadi gugup, tak tahu harus menjawab apa lagi.
"Kau berbohong," sambung Raya.
"Lalu apa yang Nyonya lakukan di kamar orang lain?" tanya Jhana.
"Aku majikanmu! Kau tidak berhak bertanya hal pribadiku yang bukan urusanmu!" Raya berseru.
"Tapi Nyonya Bunga tidak hanya memberlakukan larangan itu untuk para pekerja, bukan?"
Kini giliran Raya yang tidak tahu harus menjawab apa.
"Nyonya? Apa yang ingin Nyonya lakukan disini?" Jhana semakin menyudutkan Raya.
"Kau menantangku? Hm? Lalu apa yang kau lakukan disini? Kau pembantu disini dan kau yang paling tidak berhak untuk berada di dalam kamar ini," kata Raya.
"Saya pembantu disini, dan tugas saya adalah untuk memastikan kebersihan seluruh ruangan di mansion ini, termasuk kamar ini meskipun saya tidak mendapatkan izin dari pemiliknya."
"Kau melanggar peraturan disini dan kau sangat berhak untuk dipecat. Nyawamu ada di tanganku sekarang, Karin," ancam Raya.
"Lantas apa yang ingin anda lakukan pada saya? Melaporkan saya? Anda siap menjawab pertanyaan Nyonya Bunga tentang mengapa Anda berniat masuk kedalam kamar ini? Saya tidak masalah jika kehilangan pekerjaan disini, karena saya masih bisa mencari lowongan pekerjaan lain. Pikirkan diri anda sendiri sebelum anda memikirkan orang lain, Nyonya Raya."
"Lagi pula, apa tujuan anda masuk kesini? Mengunjungi perhiasan-perhiasan Nyonya Bunga? Mencuci mata dengan melihat-lihat berlian-berlian itu?" sambung Jhana. Ia kemudian membuka laci meja rias Bunga dan mengambil kotak-kotak perhiasan Bunga, tak lupa Jhana membukanya.
"Indah bukan, Nyonya?" sindir Jhana.
Wajah Raya mulai memerah menahan kegeraman. Ingin sekali Raya membunuh Jhana sekarang juga. Raya tidak habis pikir, bagaimana Jhana tahu kalau Raya berniat untuk mencuri perhiasan-perhiasan itu?.