Chereads / Konsekuensi / Chapter 63 - Suamiku

Chapter 63 - Suamiku

[15 Hari Menuju Pernikahan Isa & Dina]

Nenek Marimar terbangun dari tidurnya karena sebuah aroma sedap yang berasal dari meja makan. Ia pun mengikuti aroma itu dan sampailah wajahnya pada sebuah Brownies kukus yang terlihat sangat enak.

Tanpa pikir panjang, wanita tua itu langsung memotong dan memakan Brownies tersebut.

"Mmmm, ini sangat enak. Salma, kau memang pantas untuk menjadi menantu keluarga kaya. Mereka pasti akan ketagihan dengan Brownies buatanmu ini," ucap nenek Marimar.

"Nenek, itu bukan buatanku, tapi buatan bibi," ujar Salma yang sedang mencuci piring. Gucci pun tersipu malu saat Salma menyebut namanya.

"Ini buatanmu, Gabriela?" tanya nenek Marimar.

"Iya, ibu," jawab Gucci.

"Wah, kau memiliki bakat untuk menjadi seorang mastersep, Gabriela," puji nenek Marimar.

"Ahahaha," Gucci tertawa malu.

"Ibu bisa saja," kata Gucci sembari mencubit mertuanya itu.

"Ish!" nenek Marimar yang kesakitan karena dicubit oleh Gucci kemudian menampar tangan menantunya itu.

"Kau ini! Cubitanmu itu sakit!" sambungnya.

Salma hanya terkekeh melihat itu. Ia senang bisa melihat bibi dan neneknya menjadi akrab lagi karena sebuah Brownies.

"Meskipun aku tahu kalau Brownies ini adalah caramu untuk mendapatkan maaf dariku, tapi aku tidak peduli. Aku akan memaafkanmu," ucap nenek Marimar.

"Ah! Terima kasih ibu!" Gucci berseru seraya memeluk nenek Marimar.

"Hanya agar aku bisa merasakan Brownies seenak ini lagi, sebab terakhir aku merasakan Brownies buatanmu ini, ketika aku masih di kampung," sambung nenek Marimar.

"Tidak apa, aku lega sekali karena Brownies ini bisa membuat ibu memaafkanku. Karena pada awalnya aku kira ibu anemia," ucap Gucci.

"Hahaha, aku baik-baik saja. Aku tidak kekurangan darah," nenek Marimar terkekeh.

Salma dan Gucci mengernyitkan dahi mereka ketika mendengar nenek Marimar menyebut dirinya tak kekurangan darah.

"Ibu, anemia, bukan kekurangan darah," Gucci mencoba meralat ucapan mertuanya itu.

"Iya, aku tidak kekurangan darah. Aku sehat, aku tidak anemia, tanya saja pada Salma," ujar nenek Marimar.

"Ehm, ibu, anemia itu artinya lupa ingatan, bukan kekurangan darah."

Kini giliran nenek Marimar yang mengernyitkan dahinya.

"Sejak kapan amnesia berubah nama jadi anemia?" kata nenek Marimar.

"Amnesia?" tanya Gucci.

"Iya. Di sinetron-sinetron, biasanya salah satu perannya akan mengalami amnesia karena sebuah kecelakaan, dan itu sudah sering menjadi bahan konflik di sinetron-sinetron itu."

"Apa maksud ibu?"

"Lupa ingatan itu sama dengan amnesia," jawab nenek Marimar.

"Siapa yang mengubah namanya?" sambung nenek Marimar.

"Tapi, Salma bilang, lupa ingatan itu namanya anemia," ujar Gucci.

Nenek Marimar lantas melirik Salma.

"Astaga. Salma, sepertinya kau harus mulai menonton banyak sinetron sekarang," ucap nenek Marimar. Salma hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Sementara itu, di mansion Dhananjaya, semua aktivitas mulai berjalan, sebab ini sudah pukul 7:00. Rumah besar itu tidak pernah sunyi sebab para pekerja yang masih mendekorasi halaman belakang, meskipun sebenarnya mansion itu bisa dikatakan ramai apa bila anggota keluarga Dhananjaya lengkap berada disana.

Jhana pun menjalankan aktivitasnya seperti biasa, ia mencuci baju di lantai 3. Aktivitasnya pun sedang padat di lantai itu, sebab Tantri sibuk membersihkan ruangan-ruangan yang berada di lantai 1.

Saat berniat untuk turun dan mengambil pakaian kotor lain dengan sebuah keranjang kosong, Jhana melewati kamar Bunga dan Kevlar yang letaknya memang tak terlalu jauh dari tangga. Ia berhenti disana dan memikirkan sesuatu.

'Jika aku memiliki bukti tentang pencurian yang Kevlar lakukan malam itu di ruang kerja ibu, mungkin semuanya bisa berakhir meskipun Raya masih aman. Tapi setidaknya, dengan pembuktian yang kulakukan, ancaman disini bisa berkurang satu. Lagi pula itu akan menguntungkanku dari tuduhan ibu, walaupun aku tidak tahu apakah aku akan tetap aman setelah berhasil membuktikan kejahatan Kevlar,' batin Jhana.

'Tapi aku akan mencobanya.' Jhana kemudian masuk kedalam kamar itu bersama keranjang kosongnya. Ia membongkar laci, lemari, ranjang hingga meja rias Bunga, kemudian membereskannya lagi.

"Dia bisa menyembunyikannya dimana saja, tapi pasti di kamar ini. Tapi untuk apa uang itu? Jika untuk narkoba, mungkin saja dia langsung menghabiskan uang itu dan aku tidak bisa memiliki bukti apa-apa. Tidak, Kevlar tidak akan berani menggunakan narkoba, sebab dengan barang-barang seperti itu, dia bisa saja membongkar kedoknya sendiri," gumam Jhana.

"Aku akan terus mencari sebelum berandai-andai," sambungnya.

Wanita itu lalu membongkar ranjang Bunga dan Kevlar. Mulai dari bantal, guling, sprei, ranjang, kasur hingga selimut. Namun ia tidak menemukan apa-apa. Bahkan setelah ia membereskan semuanya, hasilnya tetap nihil.

'Kevlar pasti menyembunyikan sisa uang atau pun barang yang bisa kujadikan sebagai bukti ditempat yang tidak akan kuduga. Apa ada di kamar ini? Jika dia tidak menaruh jejaknya di kamar ini, orang lain pasti akan menemukannya lebih mudah dariku, apa lagi para pekerja halaman belakang. Dia pasti menyembunyikan sesuatu yang penting di kamar ini,' pikir Jhana.

'Aku harus mengingat sesuatu yang penting,' batin Jhana, pikirannya kemudian melayang ke masa lalu. Pertama, ia teringat kejadian yang baru terjadi kemarin, saat dirinya dipergoki oleh Raya sedang berada di kamar Ny. Zemira dan Tn. Farzin dan kemudian Ny. Zemira datang lalu berbicara padanya.

'Dan kau, Karin. Apa yang kau lakukan disini? Ini kedua kalinya aku melihatmu berada di kamarku tanpa izin dariku,' tanya Ny. Zemira pada Jhana.

Yap, pertanyaan itulah yang Jhana ingat dari Ny. Zemira saat ini. Teringat akan pernyataan itu, membuat Jhana juga teringat saat ia pertama kali bekerja di mansion ini. Kania menjelaskan padanya tentang segala peraturan yang ada.

'Tugasmu disini adalah untuk bekerja sama dengan Tantri untuk mencuci pakaian, membersihkan debu di dalam, membersihkan jendela, mengepel dan sebagainya. Merapikan, membereskan, dan membesihkan adalah tugasmu bersama Tantri.'

'Di dalam mansion ada tujuh kamar, satu kamar di lantai satu adalah milik Nyonya Zemira dan Tuan Farzin, lima kamar di lantai dua milik Arka, Shirina, Tuan Isa, Tuan Arvin dan Nyonya Raya, dan satu kamar di lantai tiga milik Nyonya Bunga dan Tuan Kevlar. Ingatlah, kau harus meminta izin dulu jika ingin masuk kedalam kamar Nyonya Raya, kamar Nyonya Bunga dan Tuan Kevlar, juga kamar Nyonya Zemira dan Tuan Farzin, karena mereka akan sangat marah jika kita tidak meminta izin dulu sebelum masuk kedalam kamar mereka,' sambung Kania.

'Baiklah,' ucap Jhana.

"Masing-masing dari mereka pasti memiliki alasan kenapa kamar mereka tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Raya pasti memiliki banyak rahasia di dalam kamar itu, tapi aku tidak heran. Ibu pasti ingin membuat ayah nyaman dengan membatasi pergerakan orang lain di kamarnya. Kevlar dan Bunga, wajar jika mereka melarang para pekerja masuk kedalam kamar mereka tanpa izin, sebab mereka adalah sepasang suami istri, jadi pasti mereka berdua memiliki hal privasi di dalam kamar ini. Selain itu Bunga memiliki banyak perhiasan berlian, jadi pasti dia takut jika sampai ada yang mencurigai berlian-berlian itu. Kevlar pasti sama dengan Raya, dia memiliki rahasia sendiri di kamar ini," ujar Jhana.

"Mengungkapnya akan mengakhiri banyak hal, tapi tentu menemukannya akan lebih susah dari pada menemukan rahasia-rahasia Raya di dalam kamarnya, sebab aku belum mengenal kebiasaan Kevlar."

"Jika kamar ini dibersihkan sendiri oleh Bunga, maka dia pasti tidak akan membersihkannya sampai bagian paling sudut dari kamar ini. Bunga bukan orang yang pembersih, jadi Kevlar pasti memanfaatkan hal ini untuk menyembunyikan rahasianya di tempat yang tidak akan dibersihkan oleh Bunga."

"Sekarang masalahnya adalah, memikirkan segala kemungkinan sudut atau tempat yang tidak akan dibersihkan oleh Bunga."

Jhana kemudian melirik setiap sudut di kamar itu. Lalu tanpa sengaja ia mengarahkan matanya ke bawah kolong ranjang Bunga dan Kevlar.

"Apa Bunga membersihkan kolong itu?" gumam Jhana.

"Pasti tidak, dia bukan orang yang memiliki keniatan bersih-bersih yang kuat, jadi dia pasti menyepelekan kolong ranjangnya."

Wanita itu lantas mengecek kolong ranjang yang ada di depan matanya dan langsung terbatuk-batuk akibat banyaknya debu yang terdapat disitu. Jhana pun bangkit dan mencari senter agar penglihatannya di kolong ranjang itu bisa lebih jelas.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, dirinya langsung kembali mengecek kolong tersebut dan menemukan sebuah amplop dokumen berwarna coklat. Jhana pun segera meraih amplop dokumen itu dan pikirannya mulai melayang kemana-mana.

'Ini pasti sebuah surat atau dokumen penting milik Kevlar. Bunga tidak memiliki dokumen dan surat penting apa-apa selain tentang perhiasan-perhiasannya, dan tidak mungkin Bunga akan menaruh surat-surat seperti itu di kolong ranjangnya yang berdebu seperti ini. Aku akan membukanya,' batin Jhana sambil duduk di atas kasur super empuk milik Kevlar dan Bunga.

Jhana memutar tali yang mengunci benda tersebut dan berhasil terbuka. Ia pun segera merogoh isi dalamnya dan mendapatkan sebuah surat dari sebuah rumah sakit tentang pembayaran biaya perawatan Joshua Arsalan. Mulai dari pertolongan pertama hingga biaya obat yang jika di total mencapai 8 juta Rupiah.

"Joshua Arsalan? Siapa dia?" gumam Jhana.

Namun tampaknya, pikiran Jhana melayang ke tempat yang tepat. Jhana mengingat saat pertama kali ia bertemu dengan Joshua, keponakan bibi Veyani yang tak lain dan tak bukan adalah orang yang namanya tertulis dalam surat itu. Meski pada dasarnya Jhana tidak tahu bahwa Joshua yang dipikirkannya dan yang ada di surat itu adalah 1 orang, tapi ia tetap teringat akan hari itu.

'Namamu Joshua, kan? Saya tidak mengenal banyak orang yang namanya berawalan huruf J selain diri saya sendiri.'

'Nama Nyonya berawalan huruf J juga?'

'Iya.'

'Berbeda sekali dengan saya. Saya banyak mengenal orang yang namanya berawalan huruf J.'

'Oh ya?'

'Iya. Saya punya lima saudara tiri, nama mereka semua berawalan dengan huruf J.'

'Jadi keluargamu namanya rata-rata berawalan dengan huruf J?'

'Kurang lebih seperti itu, hanya bibi saya saja yang tidak.'

Ya, itulah pembicaraan yang terjadi antara Joshua dan Jhana ketika mereka pertama kali bertemu. Saat itu Jhana membeli Burger dari Joshua dan membungkus 2 Burger untuk Arini juga Yazid.

'Eh? Kenapa aku malah memikirkan anak itu?' batin Jhana.

Jhana kemudian mengorek isi amplop dokumen itu lebih dalam lagi, dan tidak mendapatkan apa-apa lagi.

"Jadi dia menggunakan uang yang dicurinya dari brankas ibu untuk membiayai biaya pengobatan si Joshua ini? Tapi kenapa dia mengambil dua ikat? Bukankah satu ikat itu berisi sepuluh juta? Dan seharusnya masih ada sisa dua belas juta. Astaga, bodoh sekali aku, dia pasti menyimpan kelebihannya," ucap Jhana.

"Tapi, apa Joshua ini saudaranya?" sambung Jhana.

'Akan kucari tahu lebih lanjut tentang hal ini. Kevlar pernah mencuri foto keluargaku dari kamarku demi mendapatkan pengakuan dariku, dan sekarang, aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan mencuri dokumen ini, dan membuatnya mengakui pencurian yang telah dia lakukan malam itu,' batin Jhana. Ia kemudian hanyut dalam lamunan, namun wanita itu terkejut setengah mati ketika seseorang menekan engsel pintu kamar itu dari luar dan tentunya berniat untuk masuk.

Sementara itu, di rumah makan Populer, Salma akhirnya sampai. Meski kontrakannya berada tak jauh dari rumah makan itu, namun tampaknya ia sedikit terlambat hari ini. Salma kemudian melangkah masuk dengan senyuman sembari menatap Arvin.

"Apa?" tanya Arvin.

"Hehehe, tidak ada. Aku hanya ingin memandang wajahmu yang lebih indah dari pemandangan manapun," jawab Salma.

"Sikat!" Yahya memprovokasi.

"Salma, kenapa kau tidak normal pagi ini? Apa yang terjadi?" tanya Arvin.

"Aku hanya sedang berusaha," jawab Salma.

"Berusaha untuk apa?"

"Untuk membiasakan diriku memanggilmu dengan sebutan,

Suamiku."

Bom! Semuanya hanya bisa termangap.