Sudah 2 minggu aku bekerja di penginapan Mizutani dan sudah 2 minggu juga aku kabur dari Tokyo.
Sekarang kehidupan ku lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan ku di Tokyo.
Membersihkan pemandian, mengepel lantai, belajar memasak, menjamu tamu, dan mempersiapkan kamar tamu merupakan kegiatan ku sehari-hari sekarang ini.
Sekarang bulan November dan suhu sudah sangat dingin dibandingkan dengan bulan Oktober kemarin. Di desa Shirakawa salju turun lebih cepat di bulan Oktober tapi tidak terlalu sering turun nya.
"Kaname ayo pergi ke gunung!".
"Gak ah, dingin banget diluar."
"Hehh, padahal pemandangan di gunung sekarang sedang bagus-bagusnya."
Sekarang di penginapan tidak ada tamu jadi bisa dibilang aku dan yang lain sedang menganggur tidak ada yang bisa dikerjakan.
Karena suhu terlalu dingin, aku mengambil kotatsu yang ada di gudang penyimpanan. Aku memasang nya di kamarku lalu aku bersantai di kotatsu sambil menikmati kehangatan yang tiada tara.
Madoka juga ikut masuk ke kotatsu sambil memakan jeruk.
"Katanya mau ke gunung."
"Kalau Kaname tidak mau saya juga tidak mau."
2 minggu tinggal disini, aku sudah sangat akrab dengan Madoka. Sekali lagi kutegaskan kalau dia sudah seperti adikku sendiri, karena dari itu mungkin mustahil kami berdua akan menjalin hubungan percintaan.
"Kaname… tipe perempuan idaman yang kamu suka bagaimana?".
Kalau ditanya seperti ini jadi ingat dia "Hmm tipe ku ya. Pokonya rambutnya panjang, tinggi nya setara denganku, dan dia harus menerima aku apa adanya."
Karena tipe cewek ku adalah seorang pembohong, jadi ku ubah juga tipe cewek yang kusuka.
"Begitu ya..."
Entah kenapa setelah aku memberitahu tipe cewek idamanku kepada Madoka, dia sedikit murung.
"Kalau Madoka gimana? Tipe laki-laki idamanmu."
"Hmm bagaimana ya" Madoka mengangkat tangannya yang sedang memegang jeruk. "Pokonya laki-laki yang dimataku baik seperti Kaname!".
Langsung di tembak dong aku. Aku tersanjung, tapi maaf Madoka kau sudah ku anggap sebagai adikku sendiri. Lagian alasan utamanya karena aku ingin sendiri dulu.
Wajah Madoka memerah lalu dia menutup wajahnya "Jadi bagaimana Kaname… apa kau menyukaiku?".
"Iya aku menyukaimu."
Madoka langsung bangun dan mendekatiku "Kalau begitu—".
"Aku menyukaimu tapi belum saatnya."
"Heh?".
"Aku masih ingin sendiri, karena itu maaf ya Madoka."
Madoka terdiam lalu dia memelukku dari belakang "Sudah kuduga jawaban Kaname pasti seperti itu."
"Kamu tidak marah?".
"Marah? Tidaklah. Kan Kaname pasti punya alasan tersendiri."
Madoka, lama-lama aku jatuh cinta denganmu. Dari awal sudah ku anggap dia seperti adikku sendiri, tapi aku tidak tahu kedepannya bagaimana.
"Ayo menjauh dariku, berat tau!".
"Hehe, maaf."
———
Setelah puas bermalas-malasan di bawah kotatsu yang sangat nikmat, aku dan Madoka pun kembali bekerja melayani tamu yang tiba-tiba datang.
Karena hari ini hari Minggu jadi Madoka dapat membantu ku mengerjakan beberapa pekerjaan yang lumayan membuatku kesusahan.
Tamu kali ini dari Sapporo dan semuanya adalah pekerja kantoran.
"Kaname kamu sudah membersihkan pemandian kan?".
"Tentu saja sudah paman!".
"Kalau begitu bawakan makanan ini dan setelah itu ikut aku sebentar."
"Hmm? Baiklah!".
Lalu aku mengantarkan makanan kepada para tamu sekaligus menyajikan sake untuk mereka.
Setelah itu paman menyuruh ku ganti baju dan ternyata dia mengajakku berbelanja bahan makanan dapur yang sudah habis.
Aku dan paman pergi ke pasar terdekat lalu mulai dari membeli daging, sayur, ikan, bumbu-bumbu makanan, dan beras. Hampir semua barang bawaan dibawa olehku karena kata paman aku harus kuat kalau jadi laki-laki. Mendengar perkataannya itu mengingatkan ku kepada kakek Hirata.
Setelah selesai berbelanja, paman mengajakku minum kopi di kafe kecil didekat penginapan.
"Sudah betah tinggal disini?".
"Betah banget."
"Benarkah? Syukurlah kau betah tinggal di penginapan tua itu."
Kopi pesanan kami berdua telah sampai. Aku memesan kopi cappucino, sedangkan paman memesan kopi hitam.
"Kaname, apa kau berniat tinggal di penginapan selamanya?".
Pertanyaan yang bagus "Sepertinya iya. Di Tokyo aku tidak punya pekerjaan dan hanya menyusahkan orang tuaku."
"Paman sih tidak masalah kalau kau ingin bekerja di penginapan selamanya, tapi bagaimana dengan orang tuamu. Mereka pasti mengkhawatirkan mu."
Benar juga, ayah dan ibu pasti sedang kebingungan mencari aku "Mungkin perkataan paman benar. Tapi aku sudah tidak punya alasan untuk kembali lagi."
"Begitu… katakan kepadaku, alasan sebenarnya kau lari dari rumah."
Sama seperti istri dan anaknya, orang ini suka betul memberiku pertanyaan yang sangat menohok.
"Maaf paman… aku belum bisa memberitahu kepada paman alasan sebenarnya. Karena itu aku ingin paman terus beranggapan kalau aku adalah pengangguran bodoh yang kabur dari rumah, sampai aku terbuka dan menceritakan semuanya."
Paman menyeruput kopi nya "Baiklah, selama kau adalah orang yang baik di mata putriku maka akan kutunggu alasanmu yang sebenarnya" paman mengeluarkan sebuah amplop tebal lalu memberikannya kepadaku. "Itu adalah gajih mu."
"A-Aku tidak bisa menerimanya."
"Kenapa?".
"Aku sudah dipersilahkan tinggal dan diberi makan setiap harinya itu saja cukup. Paman tidak perlu memberiku gajih."
"Kau ini memang orang yang baik ya Kaname. Tapi tetap saja kau harus menerimanya. Berkat kamu, para tamu penginapan merasa puas dengan pelayan yang kamu berikan. Pemandian selalu bersih, lantai selalu mengkilap, dan kamar selalu bersih, dengan keberadaan mu di penginapan Mizutani sudah sangat membantuku. Karena itu kamu harus menerima gajih ini sebagai tanda kau sudah bekerja keras."
Karena sudah dipuji atas kerja kerasku, aku tidak punya pilihan selain menerima gajih ini.
"Terima kasih paman. Aku akan berkerja lebih keras mulai sekarang!".
"Semangat yang bagus! Lama-lama kamu mirip sama Madoka."
Paman benar, akhir-akhir ini aku terlalu bersemangat seperti Madoka. Mungkin ini efek samping karena akrab dengan Madoka.
"Coba saja kamu mau berpacaran dengan Madoka."
"Madoka sudah kuanggap sebagai adikku sendiri."
"Masa sih? Apa kamu yakin akan terus menganggap Madoka sebagai adik mu?".
"Mungkin tidak. Mungkin saja suatu saat nanti aku menyukai Madoka."
"Kenapa tidak sekarang saja kamu suka sama Madoka?".
"Hmm... Aku pernah patah hati dan sampai sekarang aku belum membukakan hatiku kepada siapapun."
Paman melihat ku dengan tatapan sinis "Anak ku itu cantik, manis, baik lagi. Masa kamu gak bisa membuka hatimu untuknya?".
Aku tersenyum "Untuk sekarang belum."
Setelah perbincangan yang cukup panjang di kafe, akhirnya aku dan paman kembali ke penginapan. Di penginapan lantai dua, aku melihat Madoka yang sedang melamun di depan pintu kamarku.
Sepertinya dia sudah melamun sangat dalam hingga tidak sadar dengan keberadaan ku.
Aku mendekatinya lalu menekan pipinya dengan jari telunjuk.
"Woah! Bikin kaget saja!".
Aku tertawa "Makanya jangan melamun."
"Kamu lama banget Kaname. Saya bosan tau!".
Memangnya aku apa? Mainan pengusir rasa bosannya.
"Dari pada bosan, sana bantu bibi masak makan malam."
"Oh iya aku lupa!".
Setelah itu Madoka bergegas turun ke lantai satu untuk membantu bibi memasak makan malam.
Sedangkan aku masuk ke kamar dan mengganti bajuku. Selagi mengganti baju, aku melihat kearah luar jendela dan melihat pemandangan hutan yang ada di belakang penginapan ini.
"Ini adalah rumahku sekarang."