"Mereka adalah adik kelasku. Lebih tepatnya adik kelasku di klub drama."
"Oh gitu... kalau begitu jangan sampai kamu dikenali oleh mereka ya Kaname," ucap Shinobu.
…
Sial, keren abis alasan ku barusan. Aku sangat bersyukur punya otak yang cerdas.
Setelah itu pesanan yang dipesan Shinobu datang dan kami semua makan sampai habis. Lalu saat aku minta bon nya betapa terkejutnya aku melihat bon nya.
10.000¥... Untung saja uangku banyak di dompet berkat gajih ku di penginapan. Tapi disisi lain aku merasa senang karena ini pertama kalinya aku mentraktir teman dengan uang hasil kerja kerasku.
Setelah makan, kami berempat berjalan-jalan ke tempat wisata yang ada di Takayama. Aku dan Madoka memutuskan untuk pergi berdua dulu ke Takayama Jinya sedangkan Shinobu dan Takeya pergi ke kuil Hida Kokubunjin.
"Disini tempat kita bertemu pertama kali ya Kaname!".
"Benar. Waktu itu aku sempat kebingungan 'Ada apa dengan perempuan ini' gitu. Tiba-tiba menawarkan pekerjaan kepada orang yang tidak dikenal."
"Hehe. Tapi aku tidak salah kan menawarkan mu pekerjaan ini."
"Benar, aku sangat bersyukur waktu itu kau menawarkan ku pekerjaan ini."
"Kaname, boleh aku jujur?".
"Jujur apa?".
Madoka menarik tanganku dan mengajak ku duduk dikursi terdekat.
"Sebenarnya Indra keenam ini adalah sebuah kemampuan turunan keluarga Yumikara. Dan jika salah satu keluarga yang masih belum menikah bertemu dengan seseorang yang dimata nya terlihat sangat baik, maka orang itu adalah jodoh untuknya."
Seperti cerita bohongan tapi terlalu nyata untuk jadi kebohongan.
"Jadi bisa dibilang kamu jatuh cinta pandangan pertama kepadaku?".
"Iya. Karena itu aku sangat dekat denganmu karena aku sudah menyukaimu saat pertama kali aku melihatmu Kaname."
Aku tersenyum dan senang mendengarnya. Tapi... Hatiku masih belum bisa terbuka sekarang ini. Walaupun aku membuang jati diriku sebagai Kigahara Kazuto, tapi tetap saja semua perasaan Kigahara Kazuto belum hilang.
"Kaname, aku ingin sekali bersamamu. Tapi aku belum bisa bersamamu jika kau masih menyimpan sesuatu dariku."
Madoka menyenderkan kepalanya ke bahuku dan dia menggenggam tanganku dengan sangat erat. Aku melihat wajahnya yang sangat cantik membuat jantungku berdetak kencang.
"Kaname, karena aku sudah jujur sekarang giliran mu untuk jujur kepadaku."
Aku menatap langit dan hatiku mengatakan tidak kepada Madoka. Sisi hatiku yang lain berkata untuk menceritakan alasanku kabur dari Tokyo.
Tapi… aku ingat sekali perkataan Madoka yang membuatku ingin menangis mengingat nya.
'Jika ada masalah jangan kabur. Kamu sudah cukup berjuang, tidak usah kabur. Itu hanya akan memperburuk keadaan'
Itu yang dia katakan saat hari pertama aku berada di desa Shirakawa. Dia mengatakan hal itu saat belanja di toko baju dan mendengar berita tentang diriku.
Kata-kata nya saat itu membuat beban di punggungku sedikit berkurang.
Tapi waktu itu, setelah kami sampai di penginapan dia berkata kalau kata-kata nya itu juga berlaku kepadaku.
…
"Baiklah akan kuceritakan alasan sebenarnya aku kabur dari Tokyo. Tapi setelah aku menceritakan nya aku ingin kamu menerima aku apa adanya ya Madoka."
Madoka tersenyum kepadaku "Aku akan selalu menerima Kaname apapun keadaannya."
Baiklah. Hatiku telah tetap. Aku akan menceritakan nya.
"Namaku bukanlah Hashida Kaname. Nama itu hanyalah nama palsu. Namaku Kigahara Kazuto, umur 17 tahun dan aku adalah penerus keluarga Kigahara."
Madoka sangat terkejut mendengar identitas asliku. Aku hanya tersenyum pasrah jika dia kecewa dengan aku yang sebenarnya.
"Me-Mengejutkan… aku menyukai penerus keluarga Kigahara yang kaya raya."
"WOY! KUKIRA KAMU KAGET KARENA AKU ADALAH ORANG SAMPAH KIGAHARA KAZUTO!!".
Madoka langsung menamparku dengan sangat keras "Jangan sekali-kali kamu bilang dirimu itu sampah Kaname… maksudnya Kazuto, eh maksudnya Kaname, eh—".
Aku terkejut dia menamparku karena aku bilang diriku ini sampah. Dan aku jadi kasian sama dia karena sudah kebingungan manggil aku apa.
"Panggil aja sesukamu Madoka. Bagiku Kaname adalah persona ku yang lain."
"Tapi Kaname dan Kazuto orang yang sama kan?".
"Iya. Aku tetap Kaname dan tetap juga Kazuto. Gak ada bedanya."
Lalu aku pun menceritakan kebenaran kenapa aku lari dari Tokyo. Setelah aku selesai bercerita, Madoka langsung memelukku.
"Sampai sekarang… aku masih belum berani menghadapi masalahku."
"Kaname, tidak. Kazuto... Kau sudah cukup berjuang. Terima kasih telah berjuang sampai sekarang Kazuto."
Mendengar ucapannya aku pun langsung menangis sejadi-jadinya dipeluk kan Madoka tanpa memperdulikan lagi orang-orang disekitar.
Aku ingin sekali mendengar ucapan itu dari seseorang. Dan hanya Madoka seorang saja yang mengucapkan kata-kata itu kepadaku.
Berkat Madoka aku dapat hidup lebih lama lagi. Jika aku tidak bertemu dengannya bisa saja aku bunuh diri karena depresi dengan masalahku.
"Madoka, apa kau tetap menerima ku apa adanya setelah mendengar kebenarannya?".
"Bodoh. Tentu saja aku akan menerimamu Kaname. Tapi kamu harus menyelesaikan masalahmu dengan Reina dan kembali membersihkan nama keluarga mu!".
Berkat Madoka aku sudah berani menghadapi masalahku. Mungkin aku akan kuat jika bersamanya.
"Kalau begitu, tahun baru aku akan kembali ke Tokyo. Dan aku ingin kau ikut bersamaku Madoka."
"Tentu—".
"Tidak, bukan itu. Aku ingin kau menemui kedua orang tuaku, dan aku ingin kau menjadi tunangan ku!".
Wajah Madoka langsung memerah hingga dia salah tingkah "K-K-K-Kalau aku ikut bersamamu penginapan bagaimana?!".
"Jika kau mau menikah denganku maka penginapan mu akan bergabung ke cabang penginapan keluarga Kigahara. Dan saat kita menikah aku ingin kita berdua tinggal di penginapan itu sambil mengurusnya."
"I-Ini terlalu cepat! Bahkan kita belum pacaran!".
"Tapi kau menyukaiku kan?!".
"Tapi Kaname kan masih menyukai Reina!".
"Tidak! Hatiku sudah untukmu Madoka!," Teriak ku sangat keras hingga orang yang ada disekitar langsung memperhatikan kami berdua.
Karena sadar kami berdua jadi perhatian orang sekitar, Madoka memukul perutku dengan sangat keras. "Gak usah keras-keras juga ngomongnya!".
"M-Maaf.…"
Aku terdiam sebentar dan menunggu orang-orang mulai menjauhi kami.
"Madoka… bagiamana?".
"Kita masih kelas 2! Terus nanti LDR—".
"Tidak, aku tidak ingin kita LDR. Kau juga harus pindah sekolah!".
"T-Tapi kalau pindah sekolah juga butuh biaya!".
"Jika kau menerimaku sebagai tunanganku maka semua biaya kepindahan sekolahmu akan dijamin keluarga Kigahara!".
"Ka-Kaname… kamu yakin mau dengan aku? Kadang aku menyusahkan mu, terkadang juga aku mesum kepadamu…."
"Aku akan menerimamu apa adanya Madoka. Kekurangan mu adalah kekuranganku juga. Karena itu kita berdua harus menutupi kekurangan kita masing-masing."
Wajah Madoka langsung memerah dan dia langsung memelukku "Biarkan aku seperti ini sebentar. Aku ingin menghilangkan rasa malu ku ini."
"Baiklah."
———
"Madoka! Kaname!".
Aku dan Madoka mendatangi Shinobu dan Takeya yang ada di loket tiket.
"Wah. Wah, wah! Sepertinya ada pasangan baru nih."
"Mu-Mulai hari ini kami berdua sudah bertunangan."
Shinobu dan Takeya terkejut mendengarnya "Lebih dari yang kuduga," ucap Takeya.
"Jadi, bagaimana bisa kalian langsung bertunangan?".
Lalu kami berempat naik ke bus untuk pulang. Di dalam bus aku mengatakan kepada mereka berdua tentang identitas asliku dan alasan ku kabur dari Tokyo.
"Kaname… bolehkah kau ikut aku ke kantor polisi. Aku ingin menyerahkan dirimu kepada polisi dan mengambil hadiah sayembara nya."
Shinobu langsung memukul kepala Takeya dengan sangat keras.
"Maaf ya Takeya, aku tidak bisa. Aku tidak ingin membuat kedua orang tuaku tambah kesusahan," ucapku kepada Takeya.
"Sayang deh," jawab Takeya.
"Tapi, Madoka kau akan ikut bersama Kaname ya ke Tokyo?," Tanya Shinobu ke Madoka.
"Iya… hehe. Maaf ya Shinobu."
"Tidak masalah kok. Aku malah senang melihat teman baikku senang."
Lalu Madoka dan Shinobu berpelukan lalu tertawa bersama. Aku dan Takeya melihat pemandangan itu sangat bahagia karena orang yang kami sayangi sangat bahagia sekarang ini.
1 jam perjalanan akhirnya kami sampai. Aku dan Madoka langsung pergi ke penginapan untuk menghadap paman dan bibi.
"Madoka..."
"Tenang saja. Ibu dan Ayah pasti menerima dirimu apa adanya Kaname."
Aku menggenggam tangan Madoka lalu masuk bersama lewat pintu belakang. Kalau lewat pintu depan takutnya aku bertemu dengan mereka.
*To be continued