Chereads / Live With my CEO / Chapter 27 - Makan enak

Chapter 27 - Makan enak

Gadis itu menyiapkan dirinya untuk tidak emosi ketika bertemu dengan Dika. Setelah siap, Mira pun melangkahkan kakinya memasuki Restoran dan mencari di mana pria tersebut berada. Di satu sudut, ia menemukan pria itu sedang duduk sambil melihat pemandangan luar.

Mira pun melangkahkan kakinya menghampiri pria itu. Dika yang asyik menatap pemandangan, tatapannya pun teralihkan oleh gadis itu. Mira sudah sampai ternyata.

"Ada apa Pak Adnan mau ketemu saya di sini?" tanya Mira di hadapan Dika.

"Duduk," ucap pria itu mempersilakan gadis itu untuk duduk terlebih dahulu.

Sesuai apa yang dikatakan oleh pria itu Mira pun duduk di hadapannya dan Dika mulai bicara.

"Saya tahu kamu pasti sudah tahu berita ini, tentang … pertunangan kita," kata Dika pada Mira. Gadis itu pun mengangguk mengiyakan apa yang diucapkan oleh pria tersebut.

"Oke, saya tahu kamu tidak akan menerima pertunangan ini dan kamu tahu? Saya pun begitu, saya juga belum ada keinginan untuk menikah sekarang ini. Jadi saya harap kamu bisa bekerja sama dnegan saya untuk menemukan solusi dari masalah ini," kata Dika mencoba bersikap tenang.

"Tapi mana ada solusinya, Pak? Pak Dika tahu sendiri kan, kalau kita menolak ataupun membatalkannya keluarga kita bisa bermasalah Pak!" panic Mira yang sama sekali tidak bisa tenang, gadis itu terlalu memikirkan hal tersebut karena bukan ini yang ia mau. Dirinya masih muda untuk melakukan sebuah pernikahan. Gue gak mau terima lamaran itu,tapi gue juga gak mau kalau pasangannya dia!

"Tenang dulu, kalau kamu tidak tenang nantinya masalah ini akan tambah besar," ucap Dika menyuruh Mira untuk tenang. Dirinya sendiri pun sebenarnya bingung dengan apa yang harus ia lakukan, tapi satu-satunya jalan adalah dengan keduanya harus menerima pertunangan tersebut, namun hal itu hanyalah kepura-puraan untuk mengelabuhi keluarga mereka. Dika tidak tahu ini akan berhasil, tapi tidak ada cara lain selain itu.

Terlebih dirinya tidak yakin Mira mau melakukannya, karena rencana ini pernah ia katakan sebelumnya tadi sore dan gadis itu langsung menolaknya mentah-mentah. Jika pria itu mengatakannya lagi, ia takut Mira akan menolaknya untuk kedua kali dan Dika tidak mau seperti itu. Namun, jika tidak dicoba ia tidak akan tahu hasilnya. Bisa saja disaat genting seperti ini Mira merasa terpojokkan dan memilih untuk menerima tawaran tersebut daripada tidak ada jalan lain yang harus mereka pilih.

Baiklah, gue bakalan menawarkan tawaran ini lagi ke dia, ucap Dika dalam hati. Pria itu menghela napas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan, perlu melakukan persiapan diri untuk mengatakannya kembali. Setelah siap, pria itu pun mulai mengatakan rencananya pada gadis yang ada di hadapannya ini.

"Mira, saya tahu kamu pasti tidak akan suka dengan apa yang saya katakan, tapi ini satu-satunya cara agar kita bisa lakukan untuk keluar dari jalan buntu ini."

Mira berpikir, sepertinya benar apa yang dikatakan oleh pria ini.

Dirinya tidak memiliki pilihan lain selain menerima  tawaran tersebut.

a"Saya janji tidak akan menyentuh kamu dan kita akan hidup di jalan kita masing-masing."

"Yang penting kita harus mendapatkan kepercayaan orang tua kita dulu, baru kedepannya kamu bisa katakan ke saya apa yang kamu mau."

Bagaiman?" tanya Dika pada gadis itu lagi. Sepertinya Mira masih memikirkan tawaran tersebut. Pria itu berharap Mira menyetujuinya karena gadis ini adalah kuncinya untuk terbebas dari kencan buta yang direncanakan oleh Ibunya. Ibunya sangat ingin dirinya memiliki seorang kekasih, apalagi saat beliau memaksa dirinya untuk menemui Mira saat itu.

"Besok, kamu harus menemui calon istrimu di tempat ini," kata Gina memberikan Dika secarik kertas bertuliskan tempat pria itu akan bertemu dengan calon istrinya. Seperti yang selalu dilakukan wanita itu Dika selalu menjodoh-jodohkannya pada beberapa gadis pilihannya. Ini lah yang tidak di sukai oleh Dika. Ketika wanita itu datang ke kantornya, itu artinya wanita tersebut akan menjadi calon istrinya.

Dengan malas Dika mengambil kertas tersebut dan membaca alamat yang ada di sana. Tempat itu cukup jauh dari kantornya. "Bu, bisa gak sih Ibu gak ikut campur masalah pribadi saya?" tanya Dika yang sebenarnya malas membahas hal ini. Dirinya yang enjoy dengan kesendiriannya mendadak harus menjalani hidup berdua dengan sang pasangan. Itu sangat mengganggu untuk pria itu.

"Dikaaa, kamu kan sudah janji hanya akan melewati masa-masa sendirimu itu sampai umue 25 tahun. Tapi di umur 27 tahun kamu belum juga memperkenalkan calon istrimu pada saya, kamu tuh sudah di masa krisis untuk laki-laki yaang belum menikah. Umur kamu sudah hampir berkepala 3. Kamu harus segera mencari pendamping hidup kamu agar kamu tidak kesepian di masa tua nanti."

Dika menghela napas panjang, masih tiga tahun lagi sebelum ia berusia kepala tiga. setiap kali ia memberontak tentang tuntutan tersebut, Ibunya selalu berkata seperti itu.

"Tapi, Bu. Aku senang sendiri seperti ini," kata Dika.

"Sampai kapan? Sampai akhir hidup kamu?" tanya Gina.

Dika terdiam, ia tidak bisa mengatakan apa pun lagi.

"Dika, saya hanya ingin melihat anak saya bahagia dengan pasangannya. Menikah, memiliki anak, hidup dengan damai bersama keluarga kecilnya, Ibu mau melihat anak Ibu seperti itu." Gina bangkit dari tempat duduknya, kemudian melihat ke arah jendela, pemandangan di luar sana sangat indah.

"Bukan anak laki-laki yang terus memikirkan tentang pekerjaannya saja dan lupa bahwa ada yang namanya 'cinta' di dunia ini," cibir wanita itu.

"Tapi, Bu, kalau kebahagiaan anak Ibu ini adalah kesendirian bagaimana?"

"Ibu tidak peduli. Pokoknya tahun ini juga kamu harus menikah!"