Dika keluar dari kamar mandi dengan pakaian ganti yang baru saja ia pesan pada pelayan hotel ini. Ia menggosok-gosok rambutnya menggunakan handuk agar cepat kering.
"Pak Dika, Bapak bawa baju ganti?" tanya Mira yang baru saja selesai menelpon kedua orang tuanya. Entah bagaiman kedua orang tuanya mengijinkan dirinya untuk menginap berdua dengan pria itu.
"Kamu kan tahu kita menginap di sini karena mendadak. Mana mungkin saya bawa baju ganti?" ucap Dika yang lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Mira. Entah kenapa setiap kali gadis itu bertanya Dika selalu membalas ucapannya, bukan menjawabnya.
"Saya pakai baju ini karena saya pesan pada pelayan hotal untuk membelikan baju ganti untuk saya," kata pria itu lagi.
Mira mengerucutkan bibirnya. "Kalau begit saya juga pessan baju tadi."
"Ngapain kamu pesan baju?" tanya Dika pada gadis itu.
"Ngapain? Masa saya tidur menggunakan dress seperti ini?"
Dika mengambil kotak yang ada di atas meja kemudian mengulurkannya pada gadis yang sedari tadi ngedumel terus itu.
Meskipun tidak mengerti apa yang di maksud oleh laki-laki itu, Mira tetap menuruti perintah Dika untuk mengambil kotak tersebut. Pria itu menyuruhnya untuk mengambil sesuatuu yang ada di dalam sana, ternyata Mira menemukan piama di dalam sana.
"Pak Dika, ini ,,, piama …" Mira tidak bisa berkata-kata melihat piama tersebut.
"Itu untu kamu," kata Dika melengkapi kalimat
"Untuk saya?" tanya memastikan pakai tersebut untuk dirinya atau bukan.
"Kamu pikir saya akan memakai piama perempuan dengan size M seperti itu?" lagi-lagi Pak Dika berbalik tanya padanya.
Namun dari kalimat barusan Mira mendapat jawaban bahwa baju itu untuk dirinya. Gadis itu segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Dika memakai telpon hotel untuk menelpon ke nomor ponselnya.
Dering ponsel miliknya berbunyi, itu artinya handphonenya masih aktif. Tak lama panggilan tersebut terjawab, seseorang mengangkat ponselnya.
"Halo, Ibu … ini saya, Dika," ucap Dika setelah sambungan terhubung.
"Dika? Dika siapa ya? Saya tidak mengenal orang yang namanya Dika," jawab Ibunya.
Dika menghela napas, Ibunya pasti sedang berakting tidak mengenal dirinya.
"Bu, saya tidak sedang bercanda. Saya Dika, anak Ibu," kata Dika ingin mengakhiri permainan ini.
"Hey, kamu pikir saya sedang bercanda?" Gina malah mengomelinya, dari nada bicaranya wanita itu benar-benar sedang berakting dan Dika tahu itu. "Siapa kamu menelpon ke nomor anak saya dan mengaku-ngaku anak saya? Stress ya kamu?"
"Ibuuu … ini saya Dika! Mobil saya mogok di perjalanan mengantar Mira pulang dan saya tidak bisa menelpon bengkel untuk membenarkannya. Saya tidak bisa pulang dan terpaksa harus menginap di Hotel yang jaraknya tidak jauh dari lokasi saya berdiri," jelas Dika menceritakan semuanya yang terjadi padanya. Memang benar dirinya sedang stress saat ini.
"Lalu, bagaimana dengan Mira?" tanya Gina menanyakan keadaan Mira.
Dika heran kenapa wanita itu malah menanyakan keadaan gadis itu?
"Dia bersama saya," kata Dika memberitahu keadaan Anne.
"Kalian satu kamar? Atau pisah?"
"Tadi sewaktu mau pesan reseptionistnya bilang kalau kamar yang tersisa tinggal satu, jadi---" Dika menjaugkan ponselnya dari telinga. Belum selesai ia bicara Gina berteriak kencang.
"Aaaaak!!! Ibu tahu, apa yang ingin kamu katakan Dika. Pasti kamu dan Mira satu kamar bukan?" tebak Gina dan Dika membenarkannya. Wanita itu histeris mendenfar konfirmasi tersebut. Akhirnya Dika benar-benar akan memiliki pasangan.
"Tapi ini juga karena terpaksa, saya tidak bisa meninggalkan gadis itu karena Ibu mengistimewakannya," ucap Dika beralasan.
"Iya, iya terserah kamu menyebutnya apa." Gina tertawa kecil. Ini pasti akan sangat seru.
"Bu, sekarang juga Ibu ke hotel dan berikan ponsel itu ke saya," ucap Dika meminta.
"Eh? Kenapa Ibu harus datang ke sana? Ibu tidak mau mengganggu waktu kalian berdua."
Dika berdecak sebal. "Ibuuu … ini bukan waktunya untuk berpikir seperti itu."
"Besok saya ada jadwal untuk interview karyawan baru dan saya harus segera membaca proposal yang Maria kirimkan."
"Duuuh, Dika. Kamu gak lihat ini jam berapa? Hampir tengah malam," ucap Gina beralasan. "Kamu tega menyuruh wanita tua seperti ini keluar rumah tengah malam begini? Tega banget kamu, Dika."
"Ibu … saya bukanya menyuruh Ibu, tapi saya butuh proposan it —"
"Udah ya, Ibu mau tidur. Selamat malaaam."
Tuuut … tuttt … tuuuttt ….
Panggilan terputus.
Yang bisa dilakukan Dika saat ini adalah menghela napas panjang sedalam-dalamnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Hari ini benar-benar menjadi hari yang tidak beruntung untuk pria itu, besok banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan apalagi besok banyak sekali pelamar kerja yang harus ia wawancarai. Siangnya ia harus meeting dengan pihak sponsor yang sempat tertunda.