Chessa's POV
.
.
.
.
Sehari yang lalu,
Koridor tampak lengang. Aku melangkah dengan santai, hingga menemukan sesuatu yang membesarkan mataku. Jaerk dan Rania berada di depan toilet. Rania menangis.
Deg!
Kakiku terhenti melangkah ketika melihat Rania menangis. Bahkan, aku bisa mendengar suara parau Rania yang sedang berbicara kepada Jaerk.
"Maafkan aku, Jae. Aku telah membuatnya membencimu. Maafkan aku," ucap Rania begitu parau dan pelan. Aku memicingkan mata dan segera melangkah mendekati mereka. Aku sungguh penasaran. Siapa "nya" yang dimaksud?
Tangan kekar dan putih Jaerk menyambar kedua pundak Rania. "Tidak apa-apa, Ran. Setidaknya, aku bisa melihatnya dari dekat walaupun aku harus melakukan hal yang kasar padanya. Itu memang salahku karena tidak bisa mendengarkan kata-kata kasar yang diberikan kepadamu padahal ia tidak tahu kebenarannya," jelas Jaerk dengan pelan dan samar-samar. Aku bisa mendengarnya. Dan sepertinya aku tahu siapa yang ia maksud...
"Aku gak mau Jesika salah paham. Apa lagi mengetahui gosip kamu adalah pacarku membuat dirinya tahu. Aku bukannya takut untuk membela, tetapi memang aku sedih mengingatmu yang begitu mengaguminya dalam diam. Aku tidak bisa melawannya waktu itu, Jae.. Aku menyesal."
Deg!
Aku menelan ludahku mendengar pembicaraan itu. Untung saja, Jesika sudah pulang...
"Ches, ngapain disini?"
Deg!
Deg!
Jesika belum pulang! Astaga!!! Aku harus segera membawanya pergi dari sini. Jangan sampai Jaerk dan Rania menyadari suara kencang Jesika.
Aku pun berhasil membawa Jesika pergi. Aku mengatakan kepadanya bahwa tidak ada apapun dan siapapun di depan toilet itu. Jesika tidak boleh mengetahuinya. Ataukah, Jesika memang harus mengetahuinya agar ia bisa melupakan Janno?
.
.
.
***
.
.
Malam adalah waktu yang tepat untuk berpikir dan merenung. Di tengah angin mesin pendinginku yang hampir rusak itu berhembus dingin, perkataan Rania dan Jaerk terus berputar di otakku. Apakah memang benar Jaerk selama ini menyukai Jesika? Apakah selama ini Jaerk mendekati Rania untuk menjadikannya teman curhat?
Jaerk memang pribadi yang dingin. Tetapi, karena keahliannya bermain basket membuatnya banyak digandrungi gadis-gadis. Setelah itu, tidak banyak lagi berita yang beredar tentangnya. Hingga saat ini, dimana Jaerk digosipkan menjadi pacar kedua Rania. Aku tidak percaya, karena aku tahu Jaerk ingin fokus menuntut ilmu. Aku pernah bercengkerama dengannya saat kami berdua menjadi teman sekelompok.
Tetapi, sejak kejadian tadi, hal diluar dugaan semua umat manusia terungkap. Ia menyukai Jesika yang saat ini menyukai Janno!
Lalu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus memberitahu Jesika soal ini agar ia bisa melupakan Janno dan mencoba untuk membuka hatinya untuk Jaerk?
Tetapi...
Apakah Jesika siap mendengarkannya? Apakah ia akan membukakan hatinya untuk seseorang yang telah menamparnya di depan umum?
Tidak, tidak. Hal itu akan semakin membuat Jesika membenci Jaerk. Aku tidak akan memberitahunya.
.
.
.
***
.
.
Hingga malam berikutnya...
Tatapan Janno kepada Jesika. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Aku bisa melihat bahwa Janno...
Tidak! Jangan berkata seperti itu, Chessa.
Sekali pun benar, itu bukanlah hakmu untuk memberitahunya. Kamu hanya perlu menjalani hidup sebagaimana mestinya. Tidak mencampuri masa depan orang lain sekali pun kamu bisa merasakannya, Chessa. Kakek yang mengatakannya. Memberiku jimat untuk menyimpan semua janji-janji itu.
Bukan hanya itu...
Kenyataan bahwa sebentar lagi Jesika akan mengalami peristiwa besar mengusik pikiranku. Sesaat aku melihat Jesika mengatakan tentang jodoh, sekelibat benang merah melambai di hadapanku. Aku tahu bahwa itu hanyalah ilusiku. Tetapi...
Apakah ini tanda bahwa sebentar lagi aku bisa melihat siapa jodoh Jesika?
Atau...
Peristiwa lainnya yang bisa menyakiti Jesika?
Aku harus senantiasa berada di sebelahnya!
.
.
.