Chereads / String of Heart [REVISI] / Chapter 3 - MERELAKAN

Chapter 3 - MERELAKAN

Satu bulan kemudian...

Janno semakin menjauh dariku seperti tertelan oleh bumi. Aku hanya bersama dengan kesendirianku. Hanya bercengkerama sebentar dengan Cindy, Gracia, dan Rini lalu mereka pergi meninggalkanku. Apakah hanya karena gosip kalian ingin mendekatiku?

Ingin rasanya kudamprat wajah mereka dengan kata-kata tajamku.

Ingin rasanya aku menghujam mereka dengan sejuta rasa kecewa. Jadi beginilah rasanya jika memiliki banyak teman yang hanya menginginkan kelebihan kita saja?

Apakah gosip adalah sebuah kelebihan? Hahaha! Rasanya aku ingin tertawa. Ini begitu lucu.

Tep!

Aku langsung menoleh ke samping. Tampak wajah ceria Chessa menyapa pagiku. Memudarkan rasa kesepian yang ada.

"Cindy dan kawan-kawan kemana, Jes?"

"Kenapa nanya gue? Lu pikir gue emak mereka?"

Chessa terkekeh. "Ya ampun gak usah sensi begitu kali, Jes. Udah yuk, mending ke kelasku aja daripada sendirian begini kaya jomblo ngenes."

Aku memukul lengannya pelan dan mendecakkan lidah. "Emang jomblo, Chess!" Chessa pun hanya membalasnya dengan tertawa dan menggiringku ke kelasnya.

Chessa adalah teman satu kelas Janno dan Reva. Inilah yang terkadang membuatku enggan untuk datang ke kelasnya. Tetapi sekarang, aku sudah harus bisa menerima. Aku harus kuat. Jesika bisa melakukannya!

Saat aku masuk ke kelasnya, suasana hatiku menjadi berbeda. Ia berdesir, menyerukan kesesakkan. Aku menghentikan langkahku saat Janno menggapaiku di dalam tatapannya.

"Jesika?" panggilnya pelan. Aku langsung menarik lengan Chessa untuk melangkah....

"Oh, jadi kamu juga dekat dengan Chessa?" tanya Janno dengan senyum lebar. Reva mengernyit ketika memandangku, lalu ikut berdiri di sebelah Janno.

"Kamu... Jesika?"

Aku mengangguk. Chessa pun menggait lenganku. "Udah ya, aku dan Jesika mau berbicara sesuatu. Maaf mengganggu waktu kalian." Chessa menundukkan kepala dan segera menarikku pergi keluar kelas. Chessa adalah orang yang sangat tahu bagaimana keadaan hatiku saat ini.

Janno tidak memanggilku lagi. Ia tidak bisa merasakan rasa sakit yang terpancar dari wajahku. Aku rasa, mereka sudah lebih dari sekadar teman sekarang. Karena itu, aku seharusnya senang.

Chessa menarikku ke kantin dan membuatku duduk di bangku panjang bersebelahan dengan jendela besar. Tempat yang biasa diduduki oleh aku, Cindy, Gracia, dan juga Rini. Tetapi sekarang mereka entah pergi kemana. Bangku tersebut kosong.

Aku mengedarkan pandanganku ke jendela besar itu. Sekeliling sekolah Jaya Bangsa ini memanglah semak belukar serta pohon-pohon besar. Chessa adalah anak yang memiliki indera lebih. Chessa mengatakan bahwa banyak penghuni yang berdiam di atas pohon tersebut, memohon pertolongan kepada Chessa agar segera membebaskannya. Namun, jantung Chessa yang lemah menjadi faktor penghambat bagi dirinya untuk menolong semua penghuni tersebut. Daripada timbul perasaan iri diantara makhluk halus itu, lebih baik ia tidak menolong semuanya.

"Jangan suka natap mereka begitu, nanti kamu kesambet, Jes," ucap Chessa pelan, memperingatkanku. Chessa memang bukanlah manusia bawel yang selalu nyerocos seperti Cindy, tetapi berada di dekatnya selalu membuatku merasa didengarkan.

Aku pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Enggak mungkin lah, Ches. ada lu."

"Mereka sudah benci sama aku sejak aku menolak untuk menolong mereka, Jes. Sudahlah, jangan ngomong seperti itu. Mereka nanti tersinggung."

Aku mengangguk dan kembali mengedarkan pandangan ke jendela besar itu lagi. Sangat menenangkan. Melegakan.

Chessa menarik lenganku, membuatku kembali menoleh. "Astaga, Jes! Dibilangin jangan bengong!"

Aku pun menghela napas dan menurutinya. "Maaf ya, Ches."

"Nanti kamu aja yang minta maaf sama dirimu sendiri kalau sampai kejadian. Oh ya, aku tahu perasaanmu ke Janno, Jes."

Aku terkekeh. "Ya harusnya kamu tahu. Kamu kan bisa merasakan."

"Janno sangat menyukai Reva kan, Ches?"

Chessa mengangkat bahunya. "Kalau soal itu aku tidak tahu. Aku hanya bisa merasakan aura teman dekatku."

"Oh, memangnya begitu ya?"

"Setiap orang memiliki "tambahan" yang berbeda porsinya walaupun sama jenisnya. Pastinya, aku sama yang lain akan berbeda."

Aku pun mengangguk mengerti dan tersenyum. Setelah itu, kami pun terdiam. Hanya suara samar-samar setiap orang bercengkerama. Aku hanya menatap ke depan, begitu juga Chessa.

"Aku tahu sebesar apa perasaan kamu ke Janno, Jes," ucap Chessa memecahkan keheningan kami.

Aku menghela napas. "Memangnya dengan rasa yang besar itu aku bisa mendapatkannya? Aku sadar, bahwa aku bukanlah jodoh Janno. Aku harus melupakannya, Chess."

Chessa pun menatapku dalam. Tatapannya itu membuat hatiku berdesir. Ingin rasanya air mata menetes, tetapi aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan satu orang pun.

"Siapa yang tahu soal jodoh, Jes? Kamu, aku, dan semua orang tidak ada yang tahu tentang itu. Mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memiliki Janno. Biarkanlah semua berjalan dengan sebaik mungkin. Kamu harus belajar merelakannya, untuk sementara."

Aku menggeleng. "Sementara, Chess? Tidak. Aku akan belajar untuk merelakannya selamanya. Aku sudah menyakiti dia selama ini, mana mungkin aku pantas untuknya. Aku akan melakukan segala hal untuk kebahagiaannya. Yang pastinya bukan bersamaku."

Chessa menghela napas dan membawaku ke dalam pelukannya. Ia menarik napas pelan, seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak. Ia hanya menepuk punggungku.

"Aku akan membantumu, Jes. Jangan khawatir, berita ini tidak akan tersebar kemana pun. Kamu bisa memercayaiku."

Aku tersenyum. Hatiku perlahan merasakan kelegaan.

"Terima kasih, Ches. Doakan aku agar bisa melewati ini dengan baik dan kembali menjadi Jesika yang tidak peduli dengan apapun."

Chessa melepaskan pelukannya dan menggeleng. "Gak. Aku mau Jesika jadi lembut. Jangan kasar-kasar, nanti siapa yang mau jadi pacar kamu kalau gitu?"

"Memangnya ada, Ches?"

"Ya ada lah! Aku yakin pasti ada!"

Aku tertawa kecil. "Baiklah, aku nurut."

Chessa kembali menarikku ke pelukannya. Aku membalas pelukannya. Terima kasih, Chessa, sudah ada untukku padahal aku malah hampir saja melupakan keberadaanmu.

Aku akan belajar mengikhlaskan Janno. Chessa bisa membantuku. Aku harus bisa membuat Janno bahagia, walaupun dengan cara menjauhinya...

.

.

.

***