Dua hari kemudian...
.
.
.
Derap langkah penuh keraguan telah Jesika sadari. Jesika duduk dengan menyilangkan kaki kanannya ke kaki kirinya di tempat duduk belajarnya. Tangannya menyilang begitu derap langkah terhenti di hadapannya.
Perempuan berambut panjang seperti ombak dengan kacamata merah yang melekat di depan kedua matanya—Rania menundukkan kepala di hadapan Jesika. Badan Rania yang mungil dan ceking itu terlihat bergetar. Untung, baru ada Jesika di kelas itu.
Jesika yang sudah menyadari keberadaan Rania langsung membuang wajahnya. Ia tidak kuasa melihat Rania, semua itu membuatnya kembali membayangkan wajah pria bule—pria yang pertama kali menamparnya di hadapan banyak orang.
"Maafkan kelakukan Jaerk kemarin, Ran. Dia merasa bersalah. Kami memang hanya berteman, Jes."
Jesika membuka mulutnya dan memberi tatapan dingin. "Apa peduli gue? Puas kan gue gak menyebarkan berita itu?"
Rania tersenyum. "Terima kasih, Jes."
Jesika mengangguk lalu mengusirnya dengan mengayunkan semua jarinya ke arah Rania. "Ya sudah, pergi sana. Nanti dilihat temen gue malah dijadiin bahan gosip lagi."
"Tapi tolong, kamu maafin tindakan Jaerk yang kasar kemarin. Dia memang gak sengaja. Dia gak suka aja kamu ngomong kaya gitu sama dia."
Jesika mengernyit, lalu melirik Rania. "Memangnya kenapa penting banget maaf dari gue?"
Deg! Rania langsung mengerjapkan matanya berkali-kali. Rania langsung menghentikan bicaranya dan segera berlalu dari hadapan Jesika. Jesika menghela napas dan semakin mengernyitkan dahinya. Ada yang aneh...
Tiba-tiba, Cindy pun menghampiri Jesika dan duduk di sebelahnya. "Tadi ada apa? Rania bicara apa, Jes?"
Jesika menggeleng. "Mengklarifikasi hubungan dia dengan Jaerk. Dia dan Jaerk tidak ada hubungan apapun."
Cindy semakin mencondongkan badannya mendekati Jesika. "Lalu gimana? Apa kita akan tetap membuatnya di papan pengumuman?"
"Tidak, Cin."
Cindy membulatkan matanya. "Jes, lu kesambet apa sampe berubah gini? Perasaan kasus Thea yang hoax aja lu tetap mau buat. Tapi kenapa sekarang lu jadi..."
"Enggak, Cin. Gak perlu lagi," sela Jesika dengan meninggikan nada bicaranya, lalu segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar kelas meninggalkan Cindy.
Cindy tidak berusaha mencegahnya, namun kebingungan menyelimutinya. "Kenapa Jesika jadi dingin dan berubah gitu ya?" gumamnya kepada dirinya sendiri.
.
.
***
.
.
.
Jesika menutup matanya perlahan, menikmati hembusan angin pagi yang menerpa wajahnya begitu lembut. Mumpung ia datang lebih pagi dari biasanya dan membutuhkan waktu satu jam lagi untuk menunggu bel masuk pelajaran berbunyi, lebih baik ia menyendiri di taman belakang sekolah yang sungguh menenangkan jiwanya.
Sejak kemarin, Jesika memikirkan kata-kata Janno. Kata-kata yang membuatnya hendak mengubah hidupnya. Kata-kata yang terus mendorongnya agar kembali menjadi Jesika yang sebenarnya. Jesika yang acuh tak acuh terhadap apapun selain...
Janno Chaesar Wijaya.
Teman yang sudah bersamanya sejak sekolah menengah pertama, namun menjauh ketika masuk ke jenjang SMA karena Jesika sudah lebih dahulu memiliki banyak teman. Janno pun mengerti dan berusaha menemukan teman baru, menjaga jarak dengan Jesika.
Baru seminggu Janno kembali ke dalam hidup Jesika. Kembali menemani Jesika dalam kesepiannya. Jiwanya seperti merasa ada yang hilang... namun setelah Janno kembali semuanya berbeda.
Jesika meneteskan air mata. Jantungnya selalu berdebar kencang ketika mengingat Janno. Ia sudah begitu banyak merepotkan pria itu, apakah pantas untuk kembali melakukannya dengan memiliki perasaan kepada Janno.
Lagi pula, Jesika dan Janno hanya bersahabat. Sejak dua tahun yang lalu, mereka berjanji tidak akan pernah mengubah status persahabatan mereka, entah apapun yang mereka alami. Selamanya.
"Jes!"
Jesika pun menoleh ke sumber suara. Ia sangat mengenal suara itu. Ia ingin selalu mendengar suara itu di sepanjang hidupnya. Ia ingin mengambil alih suara tersebut, agar suara itu hanya untuknya. Bukan untuk orang lain.
Janno.
Pria yang tidak sadar ternyata telah membuat Jesika terjatuh selama ini.
Pria yang membuat Jesika tidak sanggup memegang janjinya...
Tidak! Jesika akan menepati janjinya. Ia tidak akan memberitahu siapapun.
"Janno?" Jesika mengusap air mata yang telah mengering di pipinya dan tersenyum tipis. Janno segera duduk di samping Jesika. "Kenapa lagi, Jes? Soal kemarin lusa?"
Jesika menggeleng. Ia tidak menatap Janno. Tidak bisa.
"Terus kenapa, Jes?"
Jesika menggeleng dan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Janno." Jesika berusaha untuk tetap memandang wajah Janno. "Ngapain kamu disini?"
Janno menghela napas. "Sebenarnya tadi aku ingin mencari inspirasi."
"Inspirasi apa?"
"Caranya mendapatkan perhatian seorang perempuan."
Deg!
Jantung Jesika berdegup sangat kencang. Matanya mulai berbinar. Senyumnya tersungging tipis. "Kamu sedang menyukai seseorang, Janno?"
Janno menelan ludah. Ia menggarukkan kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum kikuk. "I-ini tidak seperti yang kamu kira, Jes."
Jesika tersenyum menggoda. "Kalau tidak, lalu kenapa butuh inspirasi? Siapa tahu, aku disini bisa membantu kamu mendapatkan jawabannya."
"Ya, Jesika. Kamu selalu menjadi jawabannya."
Deg!
Deg!
Jantung Jesika semakin berdegup kencang. Pipinya memerah. Janno mengernyitkan dahinya. "Pipi kamu memerah, Jes? Ada apa? Aku salah bicara?"
Jesika menggeleng. "Enggak, Janno. Mungkin kamu bisa mempraktikannya kepada perempuan yang kamu ingin dapatkan perhatiannya."
Janno tersenyum lebar. "Seperti tadi?"
"Iya. Coba saja kamu praktikan. Pipinya pasti akan memerah sama seperti diriku."
"Baiklah, aku akan mencoba kepadanya nanti. Terima kasih, Jesika, sudah menjadi jawaban atas segala pertanyaanku selama kita bersahabat."
Deg! Jantungnya seperti terkena serangan fajar. Rasanya sakit. Nyeri. Kepadanya? Siapa "nya" yang ia maksud? Padahal, Jesika tadi sedang memancing apakah Janno memiliki perasaan yang sama sepertinya atau bukan.
Jawabannya adalah tidak.
Jesika menyunggingkan senyum terpaksanya. "Sama-sama, Janno. Kamu harus mengatakan siapa perempuan itu kepadaku ya!"
Janno mengangguk cepat. "Nanti akan kuberitahu kepadamu setelah aku bisa mendapatkannya ya, Jes."
Jesika tersenyum menahan segala rasa perih di hatinya. "Ya sudah, Janno. Aku pergi dulu. Baru ingat ternyata ada tugas yang belum beres." Jesika segera beranjak lalu melambaikan tangan ke arah Janno dan berlari pergi.
Membawa pergi segala rasa sakit dan sesaknya.
Janno, aku tidak akan menganggumu... lagi, ucap Jesika dalam hatinya sambil mengeluarkan air matanya dengan hati-hati.
Sementara Janno tersenyum tipis sambil melihat punggung Jesika hingga menghilang. "Memang hanya Jesika yang bisa selalu membuatku kembali semangat."
.
.
.
***
.
.
.
Jesika menopangkan dagunya di atas telapak tangan sambil memainkan nasi menggunakan sendoknya. Memisahkan satu per satu bulir nasi dari teman-temannya. Napsu makannya telah ditelan kesedihan.
Chessa—teman sebangku tahun lalu Jesika, menepuk pundaknya. Jesika pun menyadarinya dan menyunggingkan senyum tipis.
"Mana temen-temen kamu, Jes? Tumben sendirian?"
Jesika mengangkat bahunya. "Makan di kantin palingan, Ches. Kenapa kamu kesini?"
Chessa merangkul Jesika. "Aku punya perasaan kamu lagi bersedih. Ya kan?"
Jesika menggeleng cepat. "Gak, Ches. Perasaan kamu salah."
Chessa semakin mengeratkan rangkulannya. "Orang seperti aku gak mungkin salah mengira, Jes. Jangan salah, aku ini lebih jago dari kamu soal menerka-nerka, lho!"
Jesika menghela napas. "Iya deh, Ches. Emang dasar kamu selalu tahu kelemahan aku!"
"Iya, Jes. Makanya jangan sedih terus, nanti tiba-tiba ada sesuatu terjadi sama kamu gimana?"
Jesika terdiam sejenak, lalu mengernyitkan dahinya. Chessa langsung mengurungkan senyumnya dan menggeleng. "Enggak, Jes. Aku cuma bercanda. Mukanya jangan tegang begitu."
Jesika menaikkan sebelah alisnya. "Apa kamu yakin dengan ucapan kamu? Aku sih enggak yakin, Ches."
"Iya. Gak perlu khawatir. Udah sana makan, biar gak sakit. Aku kembali ke kelas dulu ya." Chessa langsung beranjak dari tempatnya, meninggalkan Jesika sendiri lagi.
Jesika menghela napas. Ia memang sangat membutuhkan tempat dimana bisa mencurahkan hatinya. Ia benar-benar tidak mau mengurusi masalah orang lain lagi, sementara dirinya sendiri hancur. Jesika baru menyadari betapa hancurnya ia pada hari ini.
.
.
.
***
.
.
.
Jesika's POV
.
.
Seminggu kemudian,
Janno masih selalu berusaha menemuiku. Bukannya untuk mendengarkan keluhanku, melainkan untuk menceritakan tentang perempuan yang ia sukai itu.
Namanya Reva. Revanindya Thave. Perempuan yang memiliki kaki jenjang, tubuh tinggi 170cm, berkulit sawo matang, berambut agak kecoklatan dan memiliki mata bulat pasti bisa membuat pria mana pun menyukainya. Tetapi, Reva adalah anak yang pendiam. Ia tidak memiliki teman selain... Janno.
Sudah sejak lama Janno menyukai Reva. Sejak kami menjauh, ia mulai mencoba membuka hatinya untuk siapapun selain aku. Padahal sebelumnya, Janno hanya berharap agar bisa terus bersamaku. Tetapi, aku malah mengabaikannya dan menjauhinya dari hidupku. Ya, sebenarnya memang salahku, tetapi aku tetap saja tidak terima...
Tidak, Jes! Kamu harus menerima apapun kenyataannya.
Reva pun mulai terbuka dengan Janno. Ia selalu mendengarkan keluhan Janno, apa lagi tentang rasa kesepiannya tanpa diriku. Ya, dia mengatakan begitu, yang membuatku semakin merasa bersalah karena meninggalkannya.
Bukan hanya berdasarkan ceritanya saja, aku pun menyelidiki Reva dengan selalu mengikuti Reva ketika ia sedang berada di tempat yang sama denganku. Toilet. Kantin. Kelasnya. Semua tidak ada yang mencurigainya.
Aku hanya ingin memastikan apakah ia pantas untuk Janno atau tidak.
Dan jawabannya adalah...
Ya.
Reva adalah perempuan terlembut yang pernah kulihat. Tidak sepertiku yang awur-awuran, ia selalu berusaha tampil cantik di dalam kesederhanaannya. Ia selalu terlihat anggun saat berjalan, berbicara, berinteraksi. Ia juga tampak cerdas.
Apalah diriku ini yang hanya seorang tukang gosip. Tanpa prestasi apapun. Tanpa ada hal yang harus dibanggakan.
Janno pantas bersama seseorang yang lebih baik dariku...
Aku harus membantunya. Aku tidak boleh membuatnya menyerah. Hanya Reva lah yang pantas untuk Janno. Bukan aku.
.
.
.
***
.
.
Aku selalu memberikan tips-tips kepadanya agar bisa lancar mendekati Reva. Melakukan apa yang sangat ingin aku lihat dari Janno. Walaupun bukan untukku.
Tiga puluh hari berlalu begitu cepat. Aku mulai menjauh dari kehidupan gosipku dan menemani Janno untuk bercerita bagaimana perkembangannya bersama Reva. Teman-temanku bahkan hanya mengobrol seadanya lalu mereka kembali bersama dan meninggalkanku. Aku tahu, kebahagiaan akan berakhir bila aku mengakhiri semua ini.
Tidak apa. Janno telah kembali menyadarkanku. Tukang gosip bukanlah Jesika. Jesika bukanlah tukang gosip. Jesika adalah teman Janno dan hanya Janno lah yang bisa menjadi teman sejati Jesika. Jesika hanyalah orang biasa yang hanya dikenal teman sekelasnya.
Terkadang, dari kejauhan aku melihat Janno dan Reva sedang bercengkerama, lalu tertawa hingga akhirnya hilang dari pandanganku. Di kantin. Di kelasnya. Di setiap tempat aku melihat mereka.
Aku bisa melihat tatapan Janno yang berbeda ketika melihat Reva. Wajahnya bersinar. Matanya berbinar. Senyumnya selalu tersungging lebar. Rentetan giginya sering keluar. Hal yang tak pernah ia lakukan padaku.
Aku berharap, semua yang kulakukan bisa membantu Janno untuk menyadarkan Reva. Membantu Janno untuk menemukan kebahagiaannya.
Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu, Janno...
Walaupun dengan air mataku yang mengalir setiap malam membayangkannya.
.
.
.
***