malam itu desy anak perempuan berparas biasa dengan rambut pendek keriting dan berbadan mungil terisak memohon izin kepada orang tuanya untuk bisa melanjutkan studinya di kota. berbekal rapor dengan nilai yang terbaik setiap tahunnya, desy memiliki keberanian atau bisa dibilang kenekatan luar biasa untuk berani memilih memasuki sekolah elit favorit di kotanya. rapor bukan satu satunya cara untuk dia bisa dengan mudah lolos seleksi penerimaan. tak ada satupun yang dia kenal berani mengikuti ujian masuk ketika didapatinya hampir satu ruang selain dirinya berani mencontek satu sama lain. yah...betul...desy terlalu polos dan lugu hanya untuk tidak mencontek seperti yang lain. toh mau mencontek ke siapa, tak ada seorangpun yang bisa membantunya. pagi itu mungkin desy terlalu percaya diri dia bisa menjawab semua soal yang membacapun dia tak paham jawaban apa yang diinginkan si soal.
keluar dari ruang tersebut desy bahkan hampir tak bisa mengingat apakah dia sudah menjawab semua soal dengan benar. hanya langkah yg lesu dan tak berharap banyak, seolah tak ada harapan baginya. toh kalau tak diterima desy berpikir dia masih ada sekolah rayon(1) yang kemungkinan masih bisa menerima dirinya.
setelah hari itu dia menyadari bahwa kepintarannya selama ini yang diakui disekolah lamanya bukanlah apa apa jika dibandingkan dengan soal soal kemarin. aaahhh...gak ada harapan katanya. atau kemungkinan terburuk saat itu desy terbuang ke sekolah swasta jelek di kota.
entah karena masih terlalu pagi dan masih mengantuk saat itu ketika didapati nama desy tertera di papan penerimaan siswa baru. karena masih tak percaya desy mengusap usap matanya, apakah betul itu tertera namanya yaitu desy putriana. dia tertawa bahagia walaupun rangking penerimaannya tergolong 50 orang dengan skor terbawah. disisi lain dia menemukan sebuah nama rosyta bian dengan peringkat 30an diatasnya. ibunya berkata bahwa memang beliau mendengar dari ibunya rosyta bahwa rosyta juga mendaftar dan dititipkan ke salah satu guru kenalan ibu rosyta. tentunya itu pun tak ada yang gratis. yah...setidaknya desy bangga, dia bahkan tak perlu mengenal siapapun dan membayar mahal hanya untuk bisa bersekolah disitu. begitulah syukur yang desy rasakan. tentunya kabar itu disambut bahagia oleh keluarga desy, bahkan orang tuanya yang sempat menentang keinginan melanjutkan study di sekolah kota favorit hanya karena "masih kecil" dan ketidakpercayaan atas kemampuan yang desy miliki.
keberuntungan desy mungkin tidak selalu muncul dan berpihak padanya. tantangan jadwal sekolah dan transportasi yang sulit ditemui menuju desanya menjadi alasan besar desy memutuskan untuk hidup terpisah dengan keluarganya.