Chereads / Pain in Life / Chapter 8 - Takdir

Chapter 8 - Takdir

Menjadi seorang manusia yang hidup nyaman dengan otak cemerlang serta wajah tampan dan harta yang berlimpah adalah hal yang begitu banyak diinginkan oleh banyak orang di dunia.

Sempurna.

Hanya itu kata yang dapat menggambarkan hal tersebut. Tapi kebanyakan dari manusia lupa, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Semua yang kita miliki tidak luput dari takdir yang telah diputuskan oleh-Nya.

Takdir. Bagiku hanya satu dari jutaan kata yang ada di dunia ini, namun merupakan satu-satunya kata dengan makna yang begitu rumit, misterius dan mengesankan.

Sebagian orang di dunia berpendapat bahwa takdir telah diputuskan dan akan berjalan dengan semestinya. Sama hal nya dengan Rey. Ya, menurutnya takdir tidak bisa diubah bagaimana pun caranya. Tapi, kita bisa memilih. Memilih untuk membuat takdir terasa begitu indah atau justru sebaliknya. Entahlah.

Kini Rey tengah berada di salah satu fly over dan sibuk memandangi lampu-lampu kendaraan yang berkilauan di tegah gelapnya malam kota Jakarta. Baginya, saat-saat seperti ini adalah saat yang indah dan penuh kedamaian. Hal yang sangat sederhana seperti ini, kadang bisa menjadi hal yang membahagiakan. Melupakan sejenak segala hal yang membuat kepalanya begitu pusing.

"Aku akan segera membicarakan hal ini kepada Rey, Mas"

"Jangan gila, Anna. Rey masih belum siap untuk hal ini"

Rey yang baru saja pulang dan sedang berjalan santai ke kamarnya pun penasaran dengan apa yang tidak sengaja didengarnya. Kenapa Mama dan Papanya saling bicara dengan nada berbisik sambil menyebut-nyebut namanya?

Ah mungkin ia menguping saja. Pikirnya.

Mencoba lebih dekat ke kamar Mama dan Papanya, Reyhan akhirnya dapat mendengar jelas yang Mama dan Papanya bicarakan. Beridiri di depan pintu kamar orangtuanya sambil mendengarkan. Tidak sopan memang, tapi apa boleh buat? Ia sudah terlanjur penasaran. Toh ia juga tidak akan membeberkan apa yang ia dengar. Jadi, menurutnya fine fine saja.

Sudah bermenit-menit Rey bertahan di sana. Di depan pintu itu. Satu tangannya mencengkram rambutnya dengan erat sementara tangannya yang lain menahan tubuhnya pada tembok. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Tidak mungkin. Tidak, ini memang tidak mungkin. Tapi, semua itu ia dengar dari mulut orangtuanya sendiri jadi sudah pasti benar ada nya kan? Tiba-tiba saja rasa nyeri menjalar di dadanya. Begitu sakit. Sangat sakit. Dan tanpa permisi setetes air mata jatuh di pipinya yang kemudian terus mengalir menjadi aliran deras di pipinya. Tidak ingin ketahuan, akhirnya Rey berusaha menguatkan dirinya kemudian berjalan tergesa-gesa menuju kamarnya.

Rey segera menggelengkan kepalanya. Berusaha mengusir kembali ingatan itu. Ingatan yang bahkan saat ini masih ia ingat dengan jelas. Kalimat-kalimat yang masih terekam jelas diingatannya bahkan hingga saat ini. Tentang bagaimana Papanya dengan lantang mengucapkan kalimat itu. Dari pada ia kembali memikirkan hal yang membuatnya stress selama berbulan-bulan itu, lebih baik ia pulang. Ia sudah rindu rumahnya dan tempat tidurnya.

"Mengatakan apa Anna? Bahwa kamu yang menjadi penyebab kematian ibu kandungnya? Baiklah. Silakan kamu katakan. Katakan saja. Jangan salahkan aku kalau dia nantinya membencimu"

"Aku tidak melakukan itu Fero! Berapa kali harus aku katakan? Kenapa kamu tidak mau mendengarku? Kamu selalu-

"Kamu yang tidak pernah mau mendengarku, Anna. Kamu selalu mengabaikan perkataanku. Mengahancurkan hidupku, cintaku, segalanya! Kamu menghancurkan segalanya!"