Pagi menjelang. Seperti biasa, pukul 6.30 mereka sekeluarga akan berkumpul bersama untuk melaksanakan sarapan. Lalu, Papa pamit undur diri untuk pergi ke kantor. Ya, ia masih saja mengurus beberapa pekerjaan di kantornya, karena belum percaya sepenuhnya kepada Zia. Tak lama kemudian, Adik Zia pun ikut menyusul Papa. Karena memang mereka selalu berangkat bersama.
Zara merapikan semua alat makan dan beberapa makanan yang masih layak untuk dimakan, dimasukan ke dalam lemari. Untuk alat-alat yang kotor ia masukan ke dalam wastafel. "Sudah biar aku saja yang melakukannya. Kau istirahat saja." Ucap Zia mencoba untuk mengambil alih pekerjaan itu.
"Ah tidak usah. Ini hanya pekerjaan kecil." Ucapnya. Ia mengambil spons yang bersabun dan mulai mengusapkannya pada piring-piring yang kotor. "Tunggu saja di sana.. Duduklah." Tambahnya.
"Aku merasa jadi suami yang buruk.." Ungkapnya. Ia melipat beberapa bagian pada lengan bajunya. "Mari kita kerjakan bersama, biar cepat selesai." Tambahnya.
Zara tersenyum, dengan tangan yang terus membereskan piring-piring itu. Ia sesekali mencuri tatap pada laki-laki yang berdiri di sampingnya untuk membilas piring berbusa itu. "Kondisikan ya tatapan mu itu." Ucap Zia tiba-tiba.
"Ah apa?" Zara pura-pura tidak tahu.
"Awas nanti semakin jatuh cinta, pada ketampanan ini." Ucapnya lagi.
"Apaan sih GaJe dasar." Elak Zara dengan semburat merah muda menghiasi pipinya. Ia tertawa, dan mencipratkan sedikit air pada wajah Zia. Zia dengan cepat memejamkan matanya dan menggeram. Ia menyimpan piring terakhir pada rak yang tersusun piring-piring dengan rapi, lalu membalasnya dengan gelitikan tepat di perut Zara.
Zara yang tak pernah tahan untuk mendapatkan gelitikan itu, mencoba untuk mengelakknya. "Ahahaha.. Hahaha.. Hentikan. Hentikan. Aku sudah tidak kuat. Hentikan Zia.." Ucapnya penuh dengan harapan. Namun hasilnya nihil, ia merasa lemas karenanya.
"Ahaha.. Aku menyerah.. Aku menyerah. Kau semakin tau kelemahanku.." Ujarnya sambil terus mengelak. Tepat pada pupil matanya itu banyak kebahagian yang terekam sedari lama, tidak terkecuali kebahagiaan yang tercipta hari ini.
Zia terhenti dan menatap wajah yang cantik itu. Pipi yang tembam, mata yang bulat dan bulu mata yang hitam legam. Di sudut matanya, terlihat cairan bening yang akan menetes, cairan bening yang siap melintasi pipinya. Senyumnya disaat tertawa, membuat debaran dihatinya semakin kencang.
Ia mendekatkan bibirnya, mendaratkan tepat di sudut mata yang terdapat cairan bening itu. Dengan hangat ia mengalirkan perasaannya.
Zara yang tengah tertawa, kaget dan terdiam diperlakukan seperti itu. Tentu saja bunga yang ada dalam perutnya tumbuh bermekaran. Jantungnya tak berhenti berdetak. Kecupan itu perlahan turun, menuju pipinya yang menggelembung, dan berhenti tepat di bibir yang merah merona itu. "Ehemmm.." terdengar suara intrupsi dari arah pintu dapur.
Mereka dengan cepat mencari posisinya masing-masing, sedangkan yang menegurnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar pengantin baru. Tidak tahu tempat dan waktu." Tegur wanita paruh baya itu. "Untung saja yang melihat orang yang sudah melewati batas umur.." Tambahnya lagi.
Zara dan Zia sama sama tersenyum kikuk. Mereka lupa, bahwa ini tempat umum, maksudnya bukan tempat mereka berdua. Ya, pasti akan ada sesuatu yang mengganggu kemesraan mereka, seperti kali ini.
Ups, seperti merutuki nasib ketika ketahuan mesra-mesraan sama calon mertua. Ah, ini kan mertua asli.
Zara angkat bicara, "Mama.."
"Sudahlah, pekerjaan dapurnya sudah selesaikan?" Tanyanya yang di angguki oleh Zara. Zia hanya terus saja menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sungguh malu berlaku demikian dihadapan Mamanya sendiri. "Pindah sana, kalau mau diteruskan." Tambahnya lagi diikuti dengan kekehan. Kemudian ia meninggalkan pasangan muda itu berdua di dapur.
"Kamu sih, gak tau tempat." Ledek Zara, yang mencuci bersih tangannya di wastafel.
"Toh kamu juga menikmatinya." Ucapnya tanpa ampun, kembali membuat pipi Zara berwarna merah.
"Au Ah.." Balasnya. Zia hanya tersenyum melihat tingkah istrinya yang salah tingkah. Ia kemudian berjalan menyusul Zara dan Mamanya di ruang keluarga.
Mereka terduduk bersama di sofa berwarna cokelat muda itu. Mereka menikmati waktu yang berjalan cukup lambat, sambil menyelami putaran adegan pada layar televisi. Saat iklan tiba, seseorang angkat bicara. "Berapa hari lagi kalian cuti?" Tanya Mei pada anak-anaknya.
Zara tampak berpikir, "Hari ini hari terakhir, Ma."
Mei membenarkan posisi duduknya, "Lalu kalian akan tinggal di mana? Kampus Zara kan jauh.." Tanyanya lagi.
"Zara ngikut Zia, Ma.." Ucap Zia.
"Kau ini bagaimana sih sebagai suami. Kampus Zara jauh dari rumah Mama, tempat kerjamu juga cukup jauh. Zara perempuan, masa Zara akan pulang pergi ke sini setiap hari?" Protes Mei pada anak semata wayangnya.
"Ma, Zara yang minta kok Ma." Bela Zara.
"Tidak bisa sayang.. Mama tidak akan mengijinkan." Katanya sambil menatap anak perempuannya itu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada anak laki-lakinya. "Cari solusi, cepat. Besok kau pun harus masuk kerja." Desak Mamanya dengan tatapan yang tajam.