Wanita yang berwajah oval dengan bibir sedikit tebal berukuran sedang itu masih terduduk di atas tempat tidur. Seorang laki-laki keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya, dan satu tangannya digunakan untuk mengacak-acak rambut basahnya.
Zara yang awalnya tertunduk langsung menegakan pandangannya, ia menatap tubuh yang tak berbusana itu dengan pipi merah merona. Otot yang dimiliki dan abs nya sungguh menggoda. "Kenapa tak pakai baju?" Protes Zara. "Biasanya kau tak seperti ini." Tambahnya lagi.
Zia mendekatkan dan mendudukan diri. "Kenapa? Kecewa karena tidak melihat ini dari dulu?" Goda Zia.
Pertanyaan itu membuatnya menggelengkan kepala secara cepat, "Apaan, enggak juga." Balas Zara. Ia berdiri dan memutuskan untuk mendekat ke lemarinya untuk mempersiapkan pakaian Zia. "Cepat kenakanlah.."
Zia masih belum puas menggoda wanitanya itu. "Jadi kau kecewa?"
Kini wajah Zara sudah semerah kepiting rebus. "Apan ih.."
Zia hanya tersenyum, sambil menerima uluran tangan Zara yang menggenggam pakaiannya. Ia melihat wanitanya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Zara tak menanggapi, ia mengambil beberapa pakaiannya dan juga handuk yang tergantung di dekat lemari. Lalu, ia berjalan ke arah kamar mandi.
"Kenapa kakinya? Apa sebegitu sakitnya kah?" Tanya Zia yang telah berpakaian lengkap.
"Apa?" Tanya balik wanita itu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan kamar mandi.
"Maafkan aku.."
"Sudahlah, cepat shalat. Waktunya sebentar lagi.. Aku tak apa-apa. Nanti juga sembuh, bukan kesalahanmu kok. Sudah seharusnya kejadian semalam itu terjadi pada malam-malam kemarin. Tapi karena kurang pekanya aku, hingga tak merasa bahwa kau selama ini telah menahannya dengan susah payah.. hingga aku siap." Jelasnya. "Terima kasih, maaf aku menyiksamu selama ini."
Zia menganggukan kepalanya, ia melihat wanitanya itu memasuki kamar mandi. Dan ia pun memutuskan untuk shalat malam. Beberapa menit kemudian, adzan berkumandang bertepatan dengan Zara yang telah selesai membersihkan dirinya. Mereka memutuskan untuk shalat dan bersama-sama menyuarakan Al-quran di awal paginya. Sungguh menentramkan.
Pagi itu mereka melakukan sarapan berdua, "Kamu ada kuliah hari ini?" Tanya laki-laki itu, lalu menyendokkan nasi masuk ke dalam mulutnya.
Zara tampak sedikit berpikir, dan menghabiskan makanan yang ada di dalam mulutnya. "Emm.. Iya, tapi agak siang sih." Ucapnya.
Laki-laki yang mengenakan kemeja warna abu-abu hanya mengangguk-anggukkan kepala tampak mengerti, "Aku tapi berangkat sekarang.." Ucapnya lagi.
"It's okay aku bisa berangkat sendiri." Tambah Zara. Wanita itu berdiri dan membereskan piring yang telah ia gunakan, untuk di bersihkan. "Kau tak perlu repot-repot. Nanti kamu kesiangan gimana?" Tanyanya, ia masih fokus dengan sabun-sabun ditangannya.
"Kamu ngampus sekarang aja gimana? Aku gak akan tenang jika membiarkan dirimu pergi sendirian." Tambahnya. Ia berdiri dan memberikan pring-piring itu untuk dibersihkan. Lalu ia memeluk tubuh yang ramping dengan balutan gamis berwarna biru muda itu.
"Aku bukan anak kecil lagi, Zi.." Timpal Zara
"Tapi.."
Zara menghentikan aktivitasnya setelah dirasa tak ada lagi suara yang pria itu ucapkan. Ia membersihkan piring terakhir, menyimpan pada jajaran sesamanya, dan membersihkan tangannya yang basah pada lap kering yang menggantung di hadapannya.
Pelajaran yang ia dapatkan dari kakak iparnya, bahwa laki-laki itu selalu ingin melindungi. It's okay, Zara memang termasuk ke dalam jajaran wanita tangguh yang kemana-mana selalu sendiri dan tak mau merepotkan orang lain. Namun, bagi seorang suami yang ingin melindungi seseorang yang dicintanya, ketika ia ditolak secara halus ia merasa tidak berguna. Sama sekali tidak berguna.
Zara melepaskan tangan kekar yang saling bertaut satu sama lain, memeluk perutnya yang cukup rata itu. Ia membalikan badannya, dan menatap pria yang tengah menatapnya juga. "Maafkan aku.."
"Kenapa?" Tanya Zia dengan alis yang bertaut satu sama lain.
"Kamu berangkat jam berapa? Dan masuk kantor jam berapa?" Tanyanya dengan lembut.
Zia nampak mendekatkan kepalanya pada bahu wanita itu, ia meletakan kepalanya di sana. "Em, masuk jam 8." Ucapnya singkat.
Zara mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. Sedangkan laki-laki itu tampak protes diperlakukan seperti itu, "Kamu duduk dulu, habiskan minumanmu. Aku akan bersiap-siap sebentar, aku tak mau membuat suamiku menunggu terlalu lama." Ucapnya, lalu mengecup singkat bibir yang beberapa menit lalu sudah kehilangan senyumnya. Pria yang dihadapannya itu langsung bersemangat dan mengangguk setuju.
Zara masuk ke kamar untuk membereskan beberapa perlengkapan yang akan di bawanya, mungkin hari ini ia akan mengerjakan tugas akhir dan laporan pertanggung jawaban organisasinya di perpustakaan saja. Sebenarnya hal tersebut juga sangat efektif untuk dilakukan. Bukan hal buruk.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan tas yang ada di pundaknya, ia tersenyum sempurna menatap sang suami tengah terduduk manis dengan secangkir air teh ditambah sedikit perasan lemon di hadapannya. 'Manisnya..' Batinnya.
"Ayo, kita berangkat. Nanti terlambat.." Ajak Zara.
Laki-laki yang sungguh gagah dengan balutan kemeja abu dan juga celana bahan hitamnya membuat Zara sungguh terbuai. Ia menggenggam tangan yang sungguh mungil dibanding dengan miliknya, lalu menuntunnya ke garasi mobil.
Tak berapa lama, mereka sampai di kampus Zara. "Yang.. hati-hati ya.. Kabari aku kalau ada sesuatu." Ucap Zia pada kekasihnya itu. Dan ia hanya balas mengangguk, "Untuk pulang, kalau dilihat dari jadwalmu tidak bisa menjemput. Tapi lihat saja nanti ya.." Tambahnya lagi.
Zara mengulurkan tangannya mencium tangan dengan khidmat, lalu ia menatap dengan lembut tepat pada manik mata hitamnya, "Fii amanillah (Hati-hati).. Assalamualaikum.." Ucapnya. Lalu ia melepaskan sabuk pengaman yang membelit tubuhnya tadi. Tangannya mendorong pintu hingga terbuka, namun ketika ia hendak turun sebuah tangan menempel di pundaknya. Ia memalingkan wajah dengan penuh tanya. Laki-laki itu hanya menunjuk pada bibirnya.
Wanita dengan jilbab hitam yang melindungi rambut hitamnya dari paparan sinar matahari yang cukup jahat itu akhirnya menutup kembali pintu, lalu ia mendekatkan tubuhnya pada sang kekasih. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Zia. Bibir merah itu bertemu dengan bibir yang lainnya, mengecup, mencecap dan gerakan-gerakan kecil lainnya yang membuat ciuman itu semakin panas. Tangan Zara mendorong sedikit tubuh Zia, mengintrupsi. "Kalau dilanjutkan nanti kamu gak akan tahan, nanti malam saja ya?" Goda Zara.