"Atau.. Aku yakin masih ada sesuatu yang masih mengganjal di hatimu itu." Ucap Nifa. "Ayolah, ceritakan saja.." Tambahnya.
Gadis yang bernama Vara itu terdiam beberapa saat, sampai memutuskan untuk menghembuskan nafas dengan cukup kasar. Maksudnya, ia mencoba untuk membuka diri pada temannya, mengorek informasi yang ia punya untuk mendapatkan ketenangan hati darinya.
"Aku tahu cinta itu anugrah, tapi lama kelamaan berat juga ternyata." Akhirnya ia membuka suara. Tak ada satupun baik itu Nifa ataupun Zara menyela pengakuan sahabatnya itu.
"Rasanya semakin hari semakin membuatku tak berdaya, mata ini selalu mencari alasan untuk melihat dia, mengobrol dengannya ataupun hanya menatap wajah yang beberapa detik yang lalu hilang dari pandangan."
"Tapi logika ku berkata, aku tak bisa terus menerus menambatkan hati padanya. Karena aku hanya tau manisnya dia di hadapanku, manisnya dia di depan teman-temannya. Tak mau membuka pikiran tentang keburukannya. Semua itu tabu bagiku.. Tapi, hati ini terus mencari." Lirihnya, lalu menghembuskan nafas dengan cukup kasar.
Nifa dan Zara saling berpandangan satu sama lain, mencoba menangkap makna dari signal signal yang diberikan Vara terhadap mereka. Ia terlalu mendalami perasaannya saat ini hingga mengekuarkan berbagai kata puitis dalam hatinya.
"Bentar, Va. Dia yang mana?" Tanya Nifa hati-hati. "Ataukah kau menemukan yang baru lagi?"
"Terlalu banyak dia yang mencuri perhatianku, guys. Aku sendiri pun bingung dengan hati ini. Memilih yang mana? Si arsitek kah? si anak perpus kah? Atau santri.. Dan aku menemukan seseorang lagi.." Ungkapnya dengan wajah yang tertekuk. "Parah yaa.. gak bisa setia." Ungkapnya lagi dengan senyuman yang cukup miris.
Tangan Zara dengan cepat memeluknya mendekat, ia mengeluskan tangan pada punggungnya untuk mengalirkan energi ketenangan.
"Aku tau, itu pasti berat.. Semuanya perlu proses, adakah diantara mereka yang benar-benar menarik perhatianmu?" Tanya Zara. Ia mencoba mendapatkan informasi sebanyak mungkin untuk mendapatkan cara dalam menenangkannya.
"Aku rasa.. dia yang baru." Ucapnya lirih.
"Siapakah dia?" Tanya Nifa dengan nada yang cukup penasaran.
"Dia seorang santri.. Aku tidak tahu namanya siapa. Aku hanya beberapa kali pernah melihatnya di jalanan dekat mesjid atau di aula mesjidnya itu sendiri. Aku tak tau kepribadiannya seperti apa, yang aku tahu ia sedang berjuang menghafalkan al-quran. Hanya itu.." Ungkapnya dengan semangat yang kembali muncul ketika mengenang seseorang yang tidak teridentifikasi itu.
"Maasyaa Allah.. Seorang penghafal.. Semoga bisa menjadi jodohmu, Vara." Ungkap Nifa dengan sangat antusias.
"Tapi itu berat, Fa.. Aku sangat ingin berdampingan dengannya. Tapi.. " Elak Vara. "Jodoh itu cerminan diri, bukan?"
"Iya iya, tapi Vara. Itu artinya kamu harus benar-benar memperhatikan dirimu saat ini.. Kamu telah menarik jauh dia ke dalam hatimu, hingga kamu tergila-gila padanya. Kamu tau, bahwa wanita yang jatuh cinta sangat terlihat?" Tanya Nifa, lalu ia berdiri dan mendekati Vara dari arah samping. "Dan wanita yang gampangan semakin membuat para lelaki tidak berselera. Cukup berbeda ketika kamu sudah menikah.. kamu harus mampu membedakan itu semua. Karena semua itu cukup riskan terlebih melibatkan hatimu yang cukup rapuh."
"Iya iya.. dan aku pikir aku tak mampu menggapainya." Elak Vara lagi.
Zara tersenyum mencoba untuk menularkan energi positif dalam tubuhnya, "Vara.. Jodoh memang cerminan diri, itu artinya saatnya dirimu berubah. Jika dia terlalu tinggi untukmu, kenapa kamu tidak mensejajarkan diri dengannya. Tapi hati-hati dengan dengan niatmu, karena jika hanya karena dia yang belum tentu berjodoh denganmu. Kamu mendapatkan apa?"
"Terus harus gimana?"