Zara dan Zia saling pandang. Lalu Zara mendapatkan isyarat dari sang suami dengan anggukan, yang artinya 'ikuti mau Mama'. Ia dengan cepat mengoperasikan ponselnya. Ia menghubungi Nifa, sahabatnya.
Zara : Bismillah, Nifa. Nifa. Ada sesuatu yang mendesak.
Zara : Aku mau minta tolong
Zara : Kau mungkin mempunyai kenalan yang tau kosan untuk suami istri, atau rumah yang bisa dikontrak untuk 6 bulan atau satu tahunan.
Zara : Aku membutuhkan informasi secepatnya, aku akan pindahan hari ini juga.
Tak ada balasan apapun. Ia menatap Mamanya yang kembali fokus pada adegan di layar televisi. Zara tengah terduduk di kursi yang hanya memuat satu orang saja. Lalu mengedarkan sekilas pandangannya pada Zia. Laki-laki itu sedari tadi memang sudah mencuri-curi pandang.
"Ma.." Ucap Zara, sambil berpindah tempat. Ia mendudukan diri tepat di samping wanita yang mengenakan pakaian berwaran biru gelap. Wanita setengah baya itu menengok dan tersenyum. Tangannya dengan lembut mengusap pucuk kepala Zara.
"Zara belum siap jauh dari Mama. Zara belum mengerti tentang semuanya." Mohonnya. Lebih tepatnya, ia masih belum bisa hidup berdua dengan Zia. Ia takut banyak hal yang membuatnya kecewa.
Ia bahagia, mendengar keputusan Zia ketika mereka mengusung topik ini. Karena ia masih dapat menemani dan semakin dekat dengan sang Ibu Mertua serta anggota keluarga lainnya.
"Tak apa.. Tak apa.." Ucapnya. "Zara, jangan salah paham sama Mama. Mama mengatakan hal ini, karena takut kesehatan Zara memburuk karena kelelahan di perjalanan. Memang Mama sedih, berada jauh dari kalian berdua. Tapi.. Tak apa. Jangan terlalu risau, di sini ada Keira yang masih sekolah. Dia bisa menemani Mama." Jelasnya.
Zara masih belum puas atas penjelasan itu, hatinya masih ragu. "Jangan risaukan pula semua yang ada dipikiranmu. Justru itu, semakin kamu di sini, tak ada yang berkembang dalam dirimu. Kau tak akan dewasa dengan tepat, kau tidak dapat mengelola emosimu sendiri. Kau hanya akan menahannya, karena malu ada orang tua suamimu di sini. Maka kau hanya akan mengalah, mengalah dan mengalah, tanpa menyampaikan apa yang kau rasakan."
"Zara, dalam ikatan suami istri perlu adanya keterbukaan dan komunikasi. Hingga satu sama lain merasa nyaman dan aman, itulah hal kecil yang menjadi salah satu kunci kebahagiaan." Jelasnya lagi.
"Namun yang jelas ketika tumbuh rasa cinta, jangan sampai melekat. Jangan sampai melebih cinta kepada Allah. Meskipun kepada Suami dan Mama. Benarkan Ma?" Tanya Zia dengan ucapannya itu. Dia memeluk hangat Mamanya dari arah belakang. Lalu mencium pucuk kepala Mamanya dengan sayang.
Mamanya tersenyum dengan perlakuan itu, Zia bukan tipe orang yang sering menunjukan kasih sayang pada orang tuanya. Hanya sesekali saja, namun kali ini ia terlalu manja. Mungkin karena sudah dapat menyalurkan kasih sayang pada lawan jenisnya.
Zara yang melihat kebersamaan Ibu dan Anak itu pun ikut tersenyum. "Sudah sudah, lepaskan. Kau ini sudah dewasa dan dihadapanmu ada istrimu, tak tau malu." Ketus Mamanya diiringi tawa.
"Gak papa, aku suka." Ucapnya tanpa memindahkan tangan yang melingkari leher Mamanya itu.
"His... Nanti Istrimu cemburu." Ucapnya lagi berusaha untuk melepaskan tangan yang melilitnya itu. "Dasar anak sholeh." Geramnya.
"Istriku tak akan cemburu, Ma. Dia mendapatkan yang lebih dari ini." Ucapnya setengah berbisik, namun masih terdengar oleh semua orang.
Tepat di akhir kata yang dikeluarkan oleh Zia, bantal melayang padanya. "Apaan sih." Elaknya dengan salah tingkah. Mei hanya tertawa sambil memperhatikan wajah Zara yang memerah karena malu.
Zia terus saja menertawakan tingkah istrinya itu. Zara sungguh malu, ia bisa saja membalasnya andai saja tidak ada Mama di hadapannya ini. Sejenak Zara berpikir, 'Benar juga ya yang dikatakan Mama. Aku akan terus menyembunyikan perasaan kesal, sedih dan bahagia dihadapan ibu mertuantam Hingga semua tingkahku beberapa hari ini hanyalah kepalsuan.'
Zara memeluk Mamanya dengan sayang, "Zia nya Ma.." Adunya. Zia terus saja menertawakan Zara.
"Ssst.. Sudah sudah. Kalian ini.." Ucapnya tergantung. Mei tersenyum mengenang masa-masa dia menjadi pengantin baru. "Ah iya, jadi gimana.. dapatkan tempat tinggalnya?" Tanya Mamanya kemudian.
Zia mendudukan diri di samping Mamanya, sofa yang cukup untuk berdua itu dipaksa oleh Zia untuk memuat tiga orang. "Sudah, Mama tenang saja." Ucapnya dengan tenang. Zara terdiam dan menatap sang suami, meminta penjelasan.
"Oh ya? Dimana?" Tanya Mamanya.
"Di salah satu perumahan dekat kampus Zara. Kurang lebih sekitar 500 meteran jaraknya." Jawab Zia. Mei mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Yasudah cepat beres-beres sana. Sore ini kalian harus sudah berangkat, kalau bisa siang ini. Biar tidak kelelahan pas nyampe di sana. Apalagi besok kamu harus kerja." Titah Mamanya pada Zia. Zia menganggukan kepala, dan memberikan kode kepada Zara untuk segera merapikan peralatannya. "Tapi makan siang dulu, ya.." Ucapnya lagi.