"Bunda, Ayah.." Panggilnya.
Mereka yang terpanggil mendekati Zara, "Apa Zara?" Tanya Bundanya.
Zara terdiam, ia mempersilahkan seseorang disampingnya untuk menyampaikan maksudnya. "Bunda, Ayah.. Izinkan Zia bawa Zara ke rumah Mama. Katanya, Mama ingin bertemu Zia.. Mungkin untuk beberapa hari yang akan datang kita akan di sana dulu.." Jelasnya.
Bunda dan Ayah hanya tersenyum, ia memaklumi peristiwa ini. Begitupun dengan mereka pada zamannya. "Iya gak papa. Hati-hati di jalannya.." Ucap Ayahnya Zara.
"Sekarang banget sayang?" Tanya Bunda. Zara mengangguk, ia mencoba untuk menahan air matanya.
"Iya Bun, sekarang udah siang. Kalau kesorean nanti macet di jalan." Tambah Zia. "Ayah, Bunda kita pamit dulu ya..." Ia menyalami Ayah dan Bunda.
"Ayah, Bunda.. Baik-baik yaa di sini. Terima kasih atas segalanya, mohon doanya juga.." Ucap Zara lirih.
"Sayang, jaga yaa perilaku dan ucapanmu.. Jaga hati mereka untuk Bunda dan Ayah." Ucap Bundanya. Zara menganggukan kepalanya lagi, lalu menyalami orang tuanya satu persatu.
***
Mereka mengenakan mobil yang ditinggalkan Mama Papa Zia. Mobil telah melaju beberapa kilometer jauhnya dari rumah Zara. Namun sampai saat ini belum ada yang memecahkan keheningan di dalam benda berwarna hitam mengkilap itu.
Zara memainkan ponselnya sesekali, untuk menghilangkan bosan. Setelah menatap dan membaca pesan dari seorang temannya, tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu, "Aku mau tanya boleh?" Tanyanya dengan hati-hati. Ia menatap laki-laki yang tegap dengan kefokusannya.
"Hmm?" Gumamnya.
"Kenapa manusia harus menikah? Bukankah jika untuk mencapai kebahagiaan dengan mengejar cita-cita juga bisa? Atau untuk melihat orang tuanya bahagia, ia juga akan bahagia" Tanyanya.
"Belum tentu seperti itu.. Itu hanya logika. Memang benar kebahagiaan, namun masih banyak kebahagian setiap detiknya ada dihadapan mereka." Jelasnya.
"Kenapa harus menikah? Karena untuk menjalankan Sunnah Rasulullah dan juga melanjutkan keturunan sejenisnya. Selain itu untuk melipatgandakan pahala, dan dengan menikah yang haram untuk dilakukan oleh ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan), menjadi halal. Seperti ini.." Ucap Zia. Dengan pandangan yang fokus ke jalan ia mengambil tangan Zara yang tengah menggenggam ponsel hitam, dibawanya untuk dikecup. Sungguh suasana yang hangat.
Kupu-kupu yang berada di dalam perut Zara beterbangan dengan perlakuan suaminya. Benar, apa yang pasangan halal selalu katakan dengan mengikat tali menjadi suatu hubungan meskipun terdapat perbedaan namun menjadikannya terukir dengan indah.
"Hati-hati, kalau nabrak gimana.." Balas Zara, mencoba untuk mengusir panas yang membara pada hati dan pipinya.
"Emm.. Kenapa menikah bisa menjadi ibadah?" Tanyanya, "Aku pernah membaca buku pernikahan namun tidak terlalu paham isinya." Akunya, membuat Zara tersenyum kaku. Ia terlalu takut pengakuan itu akan mengundang tawa dari sang kekasih.
Zia melihatnya sekilas tersenyum lalu kembali memfokuskan pandangannya untuk menyetir. "Karena banyak pahala yang didapat. Untuk mendapatkan pahala itu harus meluruskan niat, menikahnya karena Allah bukan karena mencintai si dia, atau untuk menghindari si dia, atau keterpaksaan lainnya. Juga karena menikah adalah suatu hubungan yang di Ridhai Allah, kecuali menikahnya dengan melakukan larangan Allah itu beda lagi.." Paparnya. Zara mengangguk-anggukan kepalanya, mencoba untuk mencerna semua informasi yang diterimanya.
"Seperti memberikan uang kepada seseorang? Jika niatnya karena Allah untuk beribadah kepada Allah, maka akan dihadiahi pahala. Aku selalu penasaran, sedekah apa yang paling besar pahalanya?" Tanya Zara. Ia memperhatikan tangan Zia yang lihai mengemudikan mobilnya.
"Seorang kepala keluarga yang bekerja dengan giat dan niat lillahi ta'ala untuk nafkah keluarganya." Jawabnya tanpa mengalihkan padangannya sama sekali.
"Kok bisa?" Tanya Zara lalu membenarkan posisi duduk yang dirasa sangat tidak nyaman.
"Begitulah kebahagiaan yang didapatkan setelah memutuskan untuk menikah. Maka, aku meminta doamu untuk mendapatkan rezeki yang halal." Katanya. Zara merenung dengan pernyataan laki-laki berkulit sawo matang itu.
"Pertama, karena aku harus memelihara keluargaku dari panasnya api neraka. Kedua, aku tak mau jika dalam setiap tetes aliran darah istri dan anak-anakku terdapat rezeki yang tidak halal dan tidak diridhai Allah." Jujurnya. Sungguh pernyataan itu membuat hati Zara tersentuh.
Zara terdiam, banyak hal dalam pikirannya saat ini. 'Ya Allah.. Aku malu.. Malu padamu, malu pada suamiku. Beliau sangat serius pada hubungan ini, mengharapkan kebaikan terus memeluku dan Anak-anakku kelak. Lalu aku? Apa yang bisa ku persembahkan padanya. Bagaimana caraku berbakti padanya? Tuntunlah.. Tuntunlah aku..'
"Zia.. " Panggilnya.
"Ya?"
"Aku mau minta tolong boleh?"
"Tentu saja."
"Meskipun itu sulit?"
"Emm.. Insya Allah, selama aku sanggup untuk melakukannya." Balasnya.
"Teruslah mencintaiku seperti ini karena Allah.." Lirinya. Ia menatap tepat pada mata Zia. Zia tersenyum, merentangkan tangan kirinya berusaha memeluk gadis yang ternyata lebih rapuh dari yang ia kira. Ia terus memeluknya tanpa mengalihkan pandangan.
'Alhamdulillah.. Ya Allah, berikanlah terus kebahagiaan yang berkah kepada kami. Tanpa campur tangan Engkau, kami tak akan seperti ini.' Batin Zara.