Zara tengah bergurling-guling di atas kasur dengan kain corak monokrom menyelimutinya. Ya, Zia belum kembali setelah memutuskan untuk shalat di Mesjid dekat rumah mereka. Sedangkan Mamanya memutuskan untuk menunggu Zia dan Papanya pulang di tengah rumah. Ia menyuruh Zara untuk cepat istirahat karena perjalanan yang jauh, cukup menghabiskan energinya itu.
Terdengar ketukan pintu yang kemudian didorong oleh seseorang dari luar, "Assalamualaikum." Ucapnya, suara itu akhir-akhir ini cukup akrab di telinga Zara. Ia membalikan badan, lalu terduduk untuk menyambut laki-lakinya itu.
"Waalaikumussalam," Balasnya lalu mengulurkan tangan untuk mencium tangan seseorang yang menanggung dirinya dunia akhirat.
Zia mendekatkan kepalanya untuk mencium kening Zara, "Kau sudah shalat?" Tanyanya lagi yang dijawab dengan anggukan kepala. "Kenapa belum tidur? Kamu pasti capek." Tambahnya.
Zara menggelengkan kepalanya, lalu menepuk-nepukan wilayah kosong di sampingnya. "Sedang menunggumu." Ucapnya singkat. Zia segera melepaskan atribut yang dibawanya, lalu menyusul Zara menuju tempat tidurnya.
"Kenapa shalatnya di Mesjid? Padahalkan kita bisa berjamaah bersama di sini." Katanya, setelah Zia mendaratkan bokongnya tepat di sisi Zara.
"Yang jelas, gak mau pakai mukena.." Lirihnya, ia sedang mengoperasikan ponselnya untuk mengecek beberapa pemberitahuan di email terkait bisnis yang di dalaminya.
"Maksudnya?" Zara menatap seseorang itu dengan penasaran. Sungguh, ia tidak dapat mencerna apa yang dimaksudkan oleh Zia terhadapnya.
"Ya, kan yang diharuskan shalat di rumah hanya wanita, untuk menjaga dirinya dari fitnah. Karena sekalinya wanita keluar rumah, maka syaiton akan menghiasinya hingga semua laki-laki tak mampu menjaga pandangannya, lalu dampak tak terlihatnya akan membayangkan perempuan itu untuk dijadikan bahan fantasi laki-laki itu." Jelasnya.
"Its okay kalau ikhwan (laki-laki yang insya Allah paham agama) akan berusaha untuk melupakannya karena akan merusak akhlak mereka, kalau laki-laki? Itu sih mudahnya.." Jelasnya. Lalu ia menambahkan, "Sindiran halusnya, kalau laki-laki shalat di rumah berarti harus menggunakan mukena."
Zara mengangguk-anggukan kepalanya, "Oalah.. gitu toh." responnya.
Zia meletakan ponselnya di atas meja, ia telah menyelesaikan beberapa urusan bisnisnya. "Seringkali orang-orang berpikir untuk mencari suatu aktivitas yang dapat menghapuskan dosa mereka. Misalnya, mereka berlomba kesana kemari untuk berbagi berdoa bersama dengan para dhuafa. Tidak menyalahkan, mereka juga bersyukur akan rezeki yang ia terima dari Allah." Paparnya.
"Tapi shalat berjamaah di Mesjid, itu mampu menghapuskan dosa dan meningkatkan derajat mereka pada langkah-langkah selanjutnya. Yang sebenarnya tidak membutuhkan energi banyak. Sungguh Allah Maha Pemurah bukan? Mempermudah makhluknya yang penuh dosa untuk menghapusnya.." Tambahnya. "Hanya melangkahkan kaki saja lohh.."
"Berarti aku harus shalat di Mesjid, biar mendapatkan hal yang sama?" Tanyanya.
"Wanita lebih utama di rumah, boleh ke Mesjid asalkan menutup auratnya, tidak mengenakan parfum atau wangi-wangian yang menyengat, dan..." Ucapnya tertahan. Ia mentap Zara tepat di maniknya, ia dapat melihat dengan jelas keseriusan Zara dalam memahami informasi yang diterimanya.
"Karena kamu miliku, jadi harus dapat izin dariku." Ucapnya dengan lembut. Zara mengangguk-anggukan kepala, lalu tiba-tiba ia terdiam. Matanya sedikit demi sedikit bergerak untuk menatap Zia yang juga tengah menatapnya. Dalam kecepatan sepersekian detik, pipinya berubah menjadi merah. Jantungnya kembali berpacu tak tentu arah, ada kebahagiaan menelusup masuk ke dalam hatinya ketika mendengar kata 'miliku'.
Zara menundukan pandangannya, ia tak bisa bertahan dalam perang tatapnya dengan sang kekasih. Tangan Zia terulur menyentuh wajah yang cantik itu, ia mengelus rambutnya yang hitam berkilau diantara remang-remang cahaya. Lalu membawa wajah itu mendekat pada wajahnya, dan mengecup secara perlahan tepat di bibir.
Zara menatapnya, semakin banyak hal yang Zia lakukan terhadapnya semakin membuat jantungnya tak beraturan. Semakin lama, ciuman itu semakin menuntut. Zara kebingungan, ia tak tau harus bagaimana.
Laki-laki yang tengah menikmati bibir merah pasangannya itu terheti, "Apa siap?" Tanyanya. Sekali lagi, Zara terdiam menunduk. "Aku tak akan memaksamu, aku tak mau menyakitimu. Jika memang kau belum siap, tak apa jangan dipaksakan. Aku menghormati keputusanmu." Lirih Zia.
Zara menatap seseorang itu dengan perasaan yang campur aduk, takut ia mengecewakan sang suami. Takut ia berdosa karenanya. Tapi ada kebahagiaan juga di dalamnya, ia menerima limpahan cinta dan kasih sayang dari seseorang yang cukup asing awalnya. Ya, Zia melindunginya, menyayanginya, menghormatinya.
'Lalu, apa aku tega tidak pula berjuang dalam meluapkan kasih sayang?' Pikir Zara.
"Aku tak tau.. Aku bingung dengan perasaan ini." Jujurnya dengan nada yang cukup bergetar. Dalam sorot mata yang berwarna hitam pekat itu terdapat kekhawatiran di dalamnya, dan Zia dapat merasakan pancaran perasaan itu.
Zia memeluknya dengan hangat, dan sesekali melayangkan kecupan di dahinya. "Tak apa.. Kamu tak salah. Aku bisa menahannya, Insya Allah." Ucapnya mencoba untuk menenangkan.
"Aku tak tau.. Aku rasa, ilmuku sangat dangkal." Jujurnya lagi.
"Shhhh.. Tak apa, nanti aku berikan referensi bacaan yang dapat kamu gunakan untuk menunjangnya. Nanti kamu akan tahu sendiri." Jawabnya lagi. Zara menganggukan kepala, tampak mengerti tentu dengan wajah yang semakin merah merona.
"Tidur yuuuk.." Ajaknya, dengan kedipan dimatanya. Tentu hal itu dihadiahi pukulan kecil dari Zara.