Chereads / Mutiara Hitam / Chapter 22 - Keyakinan ♡

Chapter 22 - Keyakinan ♡

Zara dan Zia memutuskan untuk keluar, karena memang mereka tidak ada kegiatan lain di rumah. Banyak hal yang berbeda, meskipun baru sehari ia mengganti statusnya menjadi seorang istri. Ia harus membiasakan diri untuk terus berdekatan dengan sang suami, karena memang sebelumnya ia berusaha dengan keras untuk menjauhi laki-laki. Risih? Iya, tentu sangat risih dengan perbedaan itu. Tapi balik lagi, ini masalah kebiasaan hati dan pikirannya.

Zara memutuskan untuk mengikuti saran sang Ayah, membawa Zia keliling-keliling tempat yang biasa digunakan orang-orang untuk menghabiskan waktu, membangun kenangan bersama. Entah itu teman, sahabat, pacar atau sekalipun orang yang disebut suami seperti Zara saat ini.

Dia mengenakan gamis berwarna merah maroon dengan sedikit motif hias dibawahnya. Dan tak lupa ia menggunakan sepatu kets berwarna hitam yang senada dengan kerudungnya, untuk menghindari kelecetan pada kaki ketika berjalan jauh. Ya, niatnya kan untuk jalan-jalan, menjadi seorang tour guide untuk sehari.

Gadis itu berjalan diikuti oleh sang suami, mereka dengan damai mengedarkan pandangannya pada setiap hal yang menarik perhatian. Saking damainya, tidak ada percakapan yang terjadi diantara mereka. Pupil dari mata cokelat itu menangkap cahaya dari berbagai objek, namun tidak sedikitpun ia tertarik padanya. Pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan bagaimana ia harus bertindak pada seseorang yang sedang mengikutinya.

'Dia baik, dia cukup tampan, terlebih untuk urusan nafkah itu tidak ada apa-apanya. Intinya untuk urusan masa depan, ia tak mau ribut memikirkannya, karena semua itu sudah siap dengan kemapanannya. Tapi... Apakah dia memang bisa menyayangiku ya Allah? Apa dia bisa menerima segala kekuranganku di masa yang lalu, sekarang dan masa depan? Aku terlalu kotor untuk dia, masa laluku terlalu hina untuk bisa berdiri tegak mendorong dia setiap harinya, mendampingi dia menjadi seseorang yang berusaha untuk menjadi sempurna untuknya.' Bantinnya. Pikirannya penuh dengan pertentangan-pertentangan yang ia ciptakan. Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan dirinya sendiri, terlebih keraguan itu mengelilingi hidupnya.

Kekagetan luar bisa menyelimuti dirinya, ketika ada seseorang yang menarik tangannya dengan sekuat tenaga hingga ia membenturkan diri pada tubuh seseorang itu. Ia terdiam, menghirup aroma yang begitu menenangkan. Aura maskulin itu sungguh memabukan, hingga untuk beberapa saat ia tak dapat mengoperasikan hati dan pikirannya untuk melepaskan diri.

Laki-laki itu memeluknya, "Kamu memikirkan apa sih, hmm?" Tanyanya, membuat gadis yang berada dalam pelukan itu membeku. "Kau tidak lihat jalan di depan? Mobil dan motor begitu sibuk berlalu lalang, dan kau juga terlihat sibuk dengan pikiran. Hati-hatilah, Alhamdulillah Allah masih sayang padamu untuk menikmati waktu sehatmu." Ucapnya lagi.

"Uh?" Gadis itu melepaskan diri dan merapikan dirinya dari kekagetan yang luar biasa. Ia memutuskan untuk berjalan dengan perlahan kali ini. Tubuhnya bergetar begitu hebat, hatinya juga berdetak begitu kencang. 'Ya Allah.. Ya Allah.. Ada apa ini? Kenapa seperti ini? Aku tidak boleh sepert ini.' Terus saja pikirannya menentang pernyataan hatinya.

Ia berjalan merunduk, dan terus menundukan pandangan. Lalu dirasa seseorang menarik tangannya, menuntunnya menuju kafe sederhana yang ada dipinggir jalan. Mereka mendudukan diri dekat jendela, memesan dua minuman dan satu ice cream favorit Zara. Ketika Zara tengah menatap jalanan yang cukup sesak oleh pengunjung terlebih hari libur ini, seseorang membuka suaranya "Apa ada yang mau didiskusikan?" Tanyanya.

Gadis itu mengalihkan pandangan, "Uh?" ia masih belum paham maksud dari laki-laki yang mengenakan sweater hitam itu. Tampilannya sungguh santai, dan menyegarkan pandangan setiap orang yang menatapnya.

"Sepertinya kamu banyak pikiran. Mari berbagi.." Katanya lagi.

Zara terdiam, ia memikirkan beberapa hal sebelum mengucapkan sesuatu. "Tidak ada." Sangkalnya.

Zia membenarkan posisi duduknya, pelayan tiba untuk menyajikan pesanan mereka. "Jujurlah.." Perintahnya, membuat Zara seolah-olah tertekan dengan suasana yang tercipta.

Perempuan yang ada dihadapannya masih tak mau mengungkapkan satu katapun, ia hanya menyesap lemon madunya. "Boleh aku mengungkapkan sesuatu?" Ucap Zia, meminta izin pada Zara. Dan gadis itu mengangguk-anggukan kepala.

"Zara, banyak hal yang mungkin belum bisa kau terima. Aku tidak pernah menuntutmu untuk mencintaiku, aku tidak akan memaksamu untuk mendampingiku.." Ungkapan itu terhenti, Zara merasakan kekecewaan yang cukup menyakitkan. Ia terhenti dari aktivitasnya dan menatap laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu dengan berbagai pikiran yang rumit.

'Apakah dia akan menceraikanku? Kenapa hati ini begitu sakit mendengar penyataannya?' Pikirnya.

"Aku mau mengungkapkan segala sesuatu yang ada dihatiku saat ini.. Aku terlampau senang ketika melihatmu, yang saat itu sudah sah menjadi istri dihadapan Agama dan Negara. Kau tau? Aku sudah sejak lama melihatmu. Namun, begitu banyak ketakutan yang hinggap jika rasa itu akan menggelincirkan hatiku terhadapNya. Aku hanya terus berdoa, jika kau memang terbaik untuku Allah akan membantuku bagaimana caranya. Memang benar, cara Allah itu bagitu lembut dan sangat indah. Meskipun terkadang menyakitkan.." Jelasnya.

"Aku berjanji, akan melakukan yang terbaik untuk memaksimalkan ibadahku terhadapNya. Apakah kau sekarang sedang bertanya-tanya tentang rasaku saat ini, dan tentang pernikahan kita?" Tanyanya. Sang lawan bicara hanya terdiam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki tampan itu. Banyak cinta dan kelembutan yang terpancar pada matanya, sungguh menghangatkan hati yang sedang beku itu.

"Aku bahagia bisa menikahimu, dan aku sangat bersyukur atas perjodohan ini. Tak ada rasa keterpaksaan atas semua yang telah terjadi.." Katanya.

"Zara Naura, aku tau kau ragu atas segala sesuatunya, aku melihat banyak kebingungan yang ada dalam sorot matamu. Apakah aku bisa meyakinkan dirimu, untuk mencintaku karena Allah? Mari kita sama-sama melupakan masa lalu, dan memikirkan masa depan yang akan kita hadapi. Jangan tolak setiap perasaan yang muncul dalam hatimu, jika itu membuatmu bahagia maka ikutilah selama tidak bertentangan dengan syariatNya." Tambahnya.

"Zara.. Katakan, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu yakin terhadapku?" Titahnya. Zara juga menanyakan hal yang sama pada hatinya, dan jujur ia begitu nyaman namun sedikit canggung dengan suasana ini.

Ya, ia harus mengikuti kata hatinya. Sudah bukan saatnya lagi ia memikirkan diri sendiri, ia memiliki seseorang yang harus ditaati. "Bantu aku untuk ikhlas, bantu aku untuk percaya, dan bantu aku untuk jauh dari panasnya Api Neraka.." Lirihnya, dengan senyum yang menghiasi wajah Zara. Ia menatap sang suami, memperhatikan lekuk wajahnya, berdoa untuk setiap kebaikannya. Kata-kata itu sungguh menyejukan hati Zia.

Zara yakin, ini sesuatu yang baik. Ini taqdir yang terbaik, dan Zara memutuskan untuk menyerahkan hatinya, pada seseorang yang bertaqwa kepada Tuhannya, Allah. Karena ia sudah memutuskan, maka ia harus menuntaskan apa yang sudah ia mulai, bukan?