"Kau nggak memenangkan apapun, dasar pengecut! Seseorang ikut campur dalam duel satu lawan satu kita!"
"Apa yang kau bicarakan? Kau nggak cukup kuat untuk menahanku, dan sekarang mau kalah!"
Apa dia serius? Si bangsat ini!
Apanya yang seorang pahlawan. Untuk apa dia bicara soal budak?!
Pahlawan macam apa yang akan bangga memenangkan sebuah duel melawan seseorang yang cuma punya perisai?!
"Kroco lu yang ada disana ikut campur! Itu sebabnya aku kehilangan keseimbangan!"
"Ha! Segitu kecewanya kah sampai-sampai kau harus membuat kebohongan?!"
"Itu bukan kebohongan, bangsat!"
Dia mengabaikan aku, dan terus bersikap menang.
Tapi... Tapi cewek betul-betul curang! Dan ini.... ARGH!
"Apa itu benar?"
Kerumunan itu berpaling pada Motoyasu.
Susah untuk mengatakan apakah mereka percaya dia atau aku. Mereka menunggu dalam keheningan.
"Kenapa juga kita percaya kata-kata seorang kriminal! Pahlawan Tombak! Kaulah yang pemenangnya!"
Bangsat! Raja itu mengabaikan semua buktinya dan semua keraguan, dan menyatakan Motoyasu adalah pemenangnya.
Tepat ketika aku hampir menang, dia menatapku dengan penampilan vulgar. Begitulah! Aku harus menang. Aku harus menang!
Kayaknya kerumunan itu memiliki keraguan sendiri. Mata mereka menatap kami berdua, tapi nggak satupun dari mereka yang punya keberanian untuk mengatakannya pada raja.
Dia mungkin akan membunuh mereka kalau mereka memgatakannya.
Apa-apaan ini, suatu kediktatoran?
"Oh kau melakukannya dengan baik, Tuan Motoyasu!"
Sumber dari semua kejahatan, cewek sialan itu, tersenyum polos. Seorang penyihir istana berlari mendekat dan cuma menyembuhkan luka Motoyasu.
Mereka mengabaikan aku.
"Ya, putriku. Malty punya pilihan yang menakjubkan pada para Pahlawan."
....kata raja, dan menepukkan tangannya pada pundak Myne.
"Ap....Apa?!"
Myne adalah putrinya raja?!
"Ya, aku juga benar-benar terkekut. Nggak disangka bahwa sang putri akan menggunakan nama palsu dan menyusup ke kita!"
"Oh, ya, tapi itu sudah sewajarnya demi kedamaian kerajaan."
....Jadi begitu.
Kupikir itu aneh bahwa dia bisa mengecapku sebagai seorang kriminal tanpa satupun bukti.
Putri licik, untuk mendapatkan pahlawan yang dia inginkan, dia mengorbankan pahlawan yang paling lemah, diriku, mencuri uangku, lalu melaporkan pada ayahnya dan membuat ayahnya mengecamku. Itu adalah sebuah cara yang sempurna untuk menjebakku.
Lalu, karena Motoyasu menyelamatkan dia, dia menggunakan itu sebagai sebuah alasan untuk mendekati dia daripada yang bisa dilakukan oleh para wanita lain.
Sekarang semuanya masuk akal, itu sebabnya aku memberikan lebih banyak yang diawal.
Dia menginginkan equipment yang bagus untuk dirinya sendiri, dan kemudian dia akan menempelkan dirinya pada pahlawan terbaik.
Saat aku melihatnya, pada awalnya, Motoyasu, memiliki equipment yang lebih baik daripada yang lain, aku harusnya lebih cerdas dan menjaga jarak.
Mereka memikirkannya secara menyeluruh, dan nggak ada cara lain selain bertanya pada mereka secara langsung. Tapi mengingat seberapa jauh tindakan mereka, aku nggak punya alasan yang bagus untuk menganggap mereka nggak menutupi jejak mereka. Pada akhirnya itu adalah kata-kata nggak berguna dan hina dari Pahlawan Perisai vs kata-kata dari Pahlawan Tombak yang menyelamatkan sang putri.
Mereka merencanakan semua itu sejak awal. Itu adalah jebakan yang sempurna.
Dan meski itu nggak memberi damage padaku secara langsung, Wind Blow itu cukup kuat sampai menghancurkan keseimbanganku, yang mana menunjukkan bahwa penggunanya sangat terampil. Itu adalah bukti dari keterlibatan sang putri.
Itu sebabnya mereka menyiapkan duel sepihak ini. Itu memang rebca mereka sejak awal.
Mereka tau bahwa dia bisa menang, dan mereka tau bahwa sang putri bisa ikut campur atas nama Motoyasu jika duel tersebut tampak dipertanyakan.
Itu sederhana. Yang perlu dilakukan cewek sialan itu adalah berbisik ditelinga Motoyasu:
"Gadis yang bersama Pahlawan Perisai adalah seorang budak. Dia memaksa gadis itu untuk bekerja sama. Kau harus menyelamatkan gadis itu."
Itu adalah sebuah peluang yang sempurna untuk membuat dirinya sendiri terlihat baik pada calon suami masa depannya. Mereka nggak akan membiarkannya.
Kalau mereka berakhir menikah, maka menyelamatkan seorang cewek budak dari Pahlawan Perisai yang tercela adalah akhir yang sempurna untuk kisah heroik mereka.
Legenda terlahir dari kejahatan. Semakin jahat dirimu, semakin baik kau diingat.
Sepanjang sejarah, mereka akan diingat sebagai para pahlawan yang mengalahkan Pahlawan Perisai yang hina dan menyelamatkan seorang gadis kecil. Mereka akan punya lagu yang mengisahkan tentang mereka.
Sang raja adalah sampah, dan sang putri bahkan lebih buruk lagi!
Tunggu sebentar... Sang putri adalah.... seorang pelacur?
Ungkapan itu terdengar familiar bagiku.
Tapi dimana? Aku tau aku sudah melihatnya sebelumnya.
...Aku ingat. Itu ada di Kisah Empat Senjata Suci. Sang putri didalam buku itu adalah seorang wanita jalang yang tertarik pada semua pahlawan.
Kalau para pahlawan itu sama seperti dengan para pahlawan yang ada di buku yang ku baca diperpustakaan, maka itu pasti punya hubungan dengan dunia ini, jadi itu terbuat karena sang putri adalah seorang wanita jalang.
Aku dipenuhi dengan kebencian yang membara, dan kebencian itu mengalir didalam tubuhku.
Thump, thump.
Perisaiku.... berdetak.
Curse Series Shield: persyaratan terpenuhi
Kebencian yang hitam legam diserap oleh perisaiku, dan bidang pandangku tertutup.
"Nah sekarang, Tuan Motoyasu, gadis yang digunakan sang Pahlawan Perisai sebagai seorang budak sedang menunggu."
Orang-orang membuka jalan, dan Raphtalia ada disana bersama para priest istana. Mereka hendak menghilangkan mantra budak dari dia.
Para penyihir memegang sebuah mangkok yang berisikan suatu cairan yang mereka hamburkan diatas tanda budak yang ada didadanya.
Saat mereka melakukan hal itu, ikon budak di bidang pandangku menghilang.
Dan itu membuatnya resmi: dia bukan lagi budakku.
Kebencian bergelora didalam diriku, dan mengendalikan aku.
Seluruh dunia menertawaiku. Mengejekku. Dan mereka senang saat aku kesakitan, saat aku dihina.
Ya, semua yang bisa kulihat adalah bayangan dan senyum keji.
"Raphtalia!"
Motoyasu mendekati dia.
Mereka melepas kain dari mulutnya, dan saat Motoyasu mendekat, mata Raphtalia berlinang air mata, dan dia berpaling untuk mengatakan sesuatu....
Dan menampar Motoyasu.
"D...Dasar bodoh!"
"....Huh?"
Motoyasu tertegun dan kebingungan.
"Tentu saja aku nggak bisa memaafkan cara pengecutmu, tapi kapan aku meminta bantuanmu?!"
"Tapi Raphtalia... Dia... Dia melecehkanmu!"
"Tuan Naofumi nggak pernah menyuruhku melakukan sesuatu yang aku nggak mau. Mantranya cuma aktif saat aku terlalu takut untuk bertarung agar aku mau bertarung!"
Aku merasa kepalaku sangat ringan dan nggak bisa betul-betul menyimak apa yang dikatakan semua orang.
Tidak, aku bisa mendengarnya, tapi aku nggak mau dengar.
Aku cuma ingin pergi dari sini. Aku mau kembali ke duniaku sendiri.
"Tapi itu buruk!"
"Tuan Naofumi nggak bisa menyerang monster, jadi dia membutuhan seseorang untuk membantu dia!"
"Tapi nggak harus kamu! Dia akan membuatku bekerja sampai kamu mati!"
"Tuan Naofumi nggak pernah membiarkan seekor monster melukaiku, tidak sekalipun! Saat aku lelah, dia selalu membiarkan aku beristirahat!"
"T...Tidak... Dia bukanlah orang yang seperhatian seperti yang kau pikirkan."
"Bisakah kau mengulurkan tangan pada seorang budak kotor yang sakit-sakitan?"
"Eh?"
"Tuan Naofumi sudah berbuat banyak untukku. Dia memberiku makanan kapanpun aku lapar. Saat penyakitku kambuh dia membuatkan obat untukku. Apa kau bisa? Apa kau bisa melakukan semua itu?!"
"Tentu saja aku bisa!"
"Kalau begitu kau pasti punya budak sendiri!"
"?!"
Raphtalia berlari kearahku.
"Tinggalkan aku!"
Tempat ini kayak neraka.
Seluruh dunia dipenuhi kepalsuan dan kejahatan.
Wanita itu, tidak... seluruh dunia menertawaiku, menghukumku, mencoba untuk melukai aku.
Saat dia menyentuhku, aku merasakan kebencian mendidih didalam diriku.
Saat Raphtalia melihat reaksiku, dia berpaling dan melotot pada Motoyasu.
"Aku sudah mendengar rumornya... Bahwa Tuan Naofumi memaksakan kehendaknya pada temannya, bahwa dia adalah yang terburuk dari para Pahlawan."
"Ya benar, dia adalah seorang kriminal! Kau harusnya tau karena dia akan membuatmu jadi budak sex juga!"
"Gimana bisa kau berkata begitu?! Tuan Naofumi nggak pernah sekalipun menyentuhku! Tidak sekalipun!"
Dia mengulurkan tangannya dan memegang tanganku.
"Lepasin aku!"
"Tuan Naofumi... Apa yang bisa kulakukan... Apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan kepercayaanmu?"
"Lepasin aku!"
Seluruh dunia menganggap aku hina! Mereka menyalahkan aku atas segalanya!
"Nggak mau!"
Aku dipenuhi kemarahan, saat sesuatu menutupi aku.
"Tuan Naofumi, ku mohon, tolong, tenanglah. Biarkan aku... Dengarkan aku. Ijinkan aku mendapatkan kepercayaanmu."
"Huh?"
"Kalau kamu cuma bisa percaya pada seorang budak, karena mereka nggak bisa melukaimu, maka ayo kembali! Bawa aku kembali ke tenda itu, dan tanamkan kutukan itu lagi padaku."
"Pembohong! Apa yang kau inginkan dariku?"
Apa? Ada apa dengan suara ini yang memaksa masuk kedalam hatiku?
"Apapun yang terjadi, aku percaya padamu, aku percaya padamu, Tuan Naofumi."
"Diam! Kau mau menjebakku untuk sesuatu yang lain!"
"Aku tau bahwa kamu nggak akan melakukan apa yang dituduhkan mereka padamu. Kamu nggak akan memaksakan kehendakmu pada siapapun. Kamu bukanlah seseorang yang seperti itu."
Ini adalah pertama kalinya aku mendengar kata-kata yang ingin kudengar. Pertama kalinya sejak aku datang ke dunia ini.
Aku merasa seperti bayangan hitam yang mengelilingiku mulai menghilangkan.
Aku merasakan kebaikan.
"Seluruh dunia boleh menghinamu, boleh menyalahkanmu, tapi aku nggak akan pernah melakukannya. Aku akan mengatakannya lagi dan lagi: kamu nggak melakukannya."
Aku membuka mataku, dan saat aku melihat dia, dia bukan lagi seorang gadis kecil. Dia adalah seorang cewek berusia 17 tahun.
Aku bisa bilang bahwa itu tetap Raphtalia. Itu adalah wajahnya Raphtalia, tapi dia adalah cewek paling cantik yang pernah aku jumpai.
Rambutnya Raphtalia begitu kotor, tapi yang disini, rambutnya panjang dan indah. Kulitnya yang kering dan pecah-pecah telah berubah. Dia punya kulit yang sehat dan cerah.
Dia begitu kurus, tapi sekarang dia berisi dan dia sehat serta energik.
Dia menatapku. Matanya yang sedih yang selalu menunjukkan dia sudah menyerah pada kehidupan sekarang jernih dan berkilauan serta penuh kehidupan.
Aku nggak tau siapa dia.
"Tuan Naofumi, bawa aku ke tenda itu lagi. Tanamkan mantra itu padaku lagi."
"S...Siapa kau?!"
"Huh? Apa yang kamu katakan? Ini aku, Raphtalia."
"Ahaha, bukan. Raphtalia hanya seorang gadis kecil!"
Cewek ini yang mengaku sebagai Raphtalia, cewek yang bersumpah untuk mempercayaiku. Dia terlihat bingung, dan memiringkan kepalanya ke samping.
"Oh, Ayolah. Tuan Naofumi, kamu selalu memperlakukan aku seperti anak kecil."
Suaranya... Terdengar seperti suara Raphtalia.
Tapi dia terlihat sepenuhnya berbeda.
Nggak mungkin, nggak mungkin. Ini sama sekali nggak masuk akal.
"Tuan Naofumi, biarkan aku memberitahumu sesuatu."
"Apa?"
"Kami, para demi-human... saat masih muda, tubuh kami berkembang seiring level kami. Jadi kami tumbuh sangat cepat saat kami naik level."
"Huh?"
"Para demi-human bukanlah manusia. Inilah salah satu alasan bahwa beberapa orang memperlakukan kami sebagai monster."
Cewek yang menyebut dirinya Raphtalia terus berbicara.
"Tentunya, aku masih... maksudku kurasa aku nggak sedewasa itu secara emosional, tapi tubuhku sudah dewasa. Pada dasarnya aku adalah orang dewasa."
Dia menarikku mendekat dan.... dan membenamkan wajahku pada payudaranya yang besar sembari dia berbicara.
"Tolong percayalah padaku. Aku percaya, aku tau, bahwa kamu nggak pernah melakukan tindak kejahatan apapun. Kamu memberiku obat, menyelamatkan nyawaku, dan mengajariku apa yang kuperlukan untuk bertahan hidup. Kamu adalah sang Pahlawan Perisai yang hebat, dan aku adalah pedangmu. Nggak peduli seberapa keras jalannya, aku akan mengikutimu."
Aku... Aku sudah lama sangat ingin mendengar itu.
Raphtalia terus bersumpah bahwa dia akan bertarung bersamaku.
"Kalau kamu nggak bisa mempercayai aku, maka ku mohon, jadikan aku kembali menjadi seorang budak. Aku ingin terus bersamamu. Aku akan mengikutimu!"
"Ugh...."
Mendengar kata-kata indah seperti itu, untuk pertama kalinya, aku mendapati diriku menangis tanpa kusadari.
Aku memberitahu diriku sendiri untuk berhenti, untuk menahan diri. Tapi aku nggak bisa. Air mataku nggak mau berhenti.
"Ah.... Ahhhhhhh... Ugggg.."
Raphtalia memelukku dan menarikku pada dirinya saat aku menangis.
"Motoyasu, aku kalah dalam duel itu. Kau melanggar peraturan."
"Apa?!"
Ren dan Itsuki berbicara sambil menerobos kerumunan orang.
"Kami melihat semuanya dari atas sana. Temanmu menyerang Naofumi dari belakang dengan sihir angin."
"Tidak, itu... itu nggak benar!"
"Raja terdiam. Nggak bisakah kau melihatnya?"
"Apa benar begitu?"
Motoyasu melihat kerumunan itu, tapi semua orang memalingkan wajah mereka.
"Tapi dia melemparkan monster padaku!"
"Dia nggak punya kekuatan serangan. Kau harus memakluminya. Sejak awal kau memang sudah salah dengan menantang dia dalam duel."
Dia berbalik pada Ren dan Itsuki, membenarkan diri dan berteriak:
"Tapi dia... dia memfokuskan serangannya pada wajah dan selangkanganku!"
"Dia tau kalau dia nggak bisa menang, jadi yang bisa dia lakukan adalah berusaha melukaimu. Kurasa kita harus memakluminya."
Motoyasi jengkel pada kata-kata Itsuki, tapi dia segera menyerah.
"Kayaknya kau punya beberapa kesalahan, setidaknya dalam pertarungan ini. Menyerah saja."
"Sialan... Ini nggak adil... Maksudku... Raphtalia jelas-jelas sudah di cuci otak!"
"Bisa-bisanya kau berkata begitu setelah pemandangan yang baru saja kita saksikan?"
"Dia benar."
Suasananya menjadi canggung, jadi para pahlawan berjalan pergi. Kerumunan orang itu kembali ke istana.
"Astaga! Itu membosankan!"
"Aku tau.. bisa dibilang itu adalah hasil yang mengecewakan."
Dua penonton terakhir, sepertinya nggak terkesa, menurunkan bagi mereka dan berjalan pergi. Mereka meninggalkan kami berdua di taman.
"Itu pasti sangat berat bagimu. Aku nggak pernah tau. Tolong, bagikan rasa sakitmu denganku."
Pada kebaikan dalam kata-katanya, kesadaranku memudar...
Tertidur selama satu jam, dan Raphtalia memelukku sepanjang waktu. Aku terkejut. Aku nggak menyadari seberapa banyak dia tumbuh.
Gimana bisa aku nggak menyadarinya? Aku... mungkin terlalu stres. Aku terlalu stres untuk menyadari pertumbuhannya. Aku mengarahkan semua fokusku pada statistiknya dan cuma berfokus pada peningkatan angkanya.
***