Jadi apalagi selanjutnya?
Aku sedang bingung mau ngapain, lalu aku teringat obat sisa yang kumiliki setelah gelombang kehancuran itu. Aku membuat obat dalam jumlah yang banyak untuk jaga-jaga, tapi saat ini mungkin akan lebih baik untuk menjual apa yang gak kubutuhkan.
"Ayo mampir ke toko obat dan kemudian pergi ke toko senjata."
"Tuan Naofumi, hati-hati jangan ceroboh mengenai uangmu. Kalau kamu terus melakukan seperti biasanya, itu cuma akan membuat hidup lebih berat."
"Aku tau."
"Equipment kita saat ini masih bagus. Kenapa harus repot-repot memikirkan hal itu, kan masih belum betul-betul butuh."
"..."
Yah, kurasa dia ada benarnya. Tapi dibandingkan dengan para pahlawan yang lain, equipment yang kami pakai kayak sampah. Aku masih menganggap bahwa mendapatkan equipment yang lebih baik untuk Raphtalia dan kemudian melawan monster yang lebih kuat adalah strategi yang terbaik...
"Selain itu, kita baru saja membeli equipment baru beberapa hari yang lalu. Coba bayangkan apa yang akan dikatakan pemilik toko senjata."
"Yeah..."
Dia benar, pak tua itu memberi banyak bantuan pada kami. Dia memberi kami equipment baru dengan tukar tambah dengan equipment lama kami. Apapun yang mungkin akan kami dapatkan dari dia sekarang, kemungkinan nggak jauh beda dengan yang kami miliki sekarang.
Pemilik toko senjata adalah satu-satunya orang yang membantuku setelah orang-orang bangsat itu memfitnahku—aku menyukai dia. Semua yang kami pakai saat ini, senjata milik Raphtalia dan armorku sendiri, kami membeli dari dia.
Jadi aku ingin terus menghormati dia, dan aku ingin membalas untuk semua yang telah dia lakukan.
"Baiklah. Kita nabung dulu untuk sementara waktu."
"Baik!"
Yang jelas, bukanlah ide buruk untuk membeli equipment baru setelah dompet kami agak gemukan dikit.
"Baiklah, ayo ke toko obat."
Aku masuk kedalam toko, dan saat si pemilik melihatku, dia tersenyum.
"Apa? Apaan itu?"
Pria ini biasanya kelihatan cemberut, yang mana aku menganggap itu sejenis strategi bisnis miliknya. Jadi kenapa dia kelihatan senang? Itu membuatku jengkel.
"Tidak ada. Aku sedang menunggu kau mampir. Menunggu kesempatan untuk bilang terimakasih, kau tau."
"Untuk apa?"
Aku menatap Raphtalia. Kami berdua nggak tau apa yang dia bicarakan.
"Aku punya kerabat di Riyute. Mereka mengatakan bahwa kau menyelamatkan mereka. Mereka memintaku untuk membantumu kalau aku bertemu denganmu."
"Hmm... Begitukah."
Gelombang kehancuran terjadi di dekat kota bernama Riyute, dimana aku memusatkan operasiku saat itu. Ditengah-tengah kekacauan, aku mencurahkan energiku untuk upaya evakuasi, dan kota itu berakhir cukup baik karena hal itu. Saat gelombang berakhir, para penduduk Riyute berkumpul dan mengucapkan terimakasih padaku. Sepertinya kerabat pria ini ada diantara mereka.
"Jadi sebagai ucapan terima kasih aku ingin..."
Si pemilik mengeluarkan sebuah buku dari rak buku yang ada dibelakang dia.
"Apa itu?"
"Kau menjual padaku beberapa ramuan tingkat rendah sebelumnya, yang mana membuatku yakin bahwa cuma itu resep yang kau ketahui. Buku ini memiliki resep-resep yang lebih baik untuk ramuan tingkat menengah. Kurasa kau mungkin sudah siap untuk menerimanya."
"....."
Aku membuka buku itu dengan ragu-ragu. Buku itu cukup tua. Dan sampulnya sudah sobek-sobek. Meski begitu aku cuma bisa mengenali beberapa karakter yang tertulis disana.
Tapi aku nggak bisa membacanya.
"Te...Terima kasih. Aku akan berusaha."
Dia sudah bertindak nggak kayak biasanya untuk baik padaku, jadi aku nggak mau membiarkannya begitu saja tanpa setidaknya mengatakan terimakasih. Buku itu mungkin berisikan resep-resep untuk obat-obat yang bisa kujual dengan harga bagus.
"Aku senang mendengar kau mengatakan itu."
Ugh... Aku benci tekanan harus menanggapi kebaikan orang. Aku menyerah membacanya karena aku nggak paham dengan bahasa yang mereka gunakan untuk menulis disini. Kurasa aku harus berusaha lagi.
"Pemilik toko sihir ingin kau mampir kesana juga."
"Toko sihir?"
"Tuan Naofumi? Itu adalah sebuah toko yang menjual buku-buku untuk mempelajari mantra sihir."
"Oh, aku mengerti."
Aku sudah pernah melihat toko itu tapi menganggap bahwa itu adalah sebuah toko buku. Saat itu, aku ingat melihat bola kristal di belakang toko.
"Dimana tokonya?"
"Ada di jalan utama ini. Nggak mungkin kau nggak menemukannya."
Ya, aku ingat pernah melihatnya. Itu adalah toko buku—maksudku toko sihir, yang terbesar atau yang terbesar kedua dari sekian banyak toko.
"Bagus. Jadi apa yang bisa kubantu hari ini?"
"Kuharap kau mau...."
Dia akhirnya membeli obat-obat dariku dengan harga yang lebih bagus dari yang sebelumnya.
Aku membeli beberapa material, dan kemudian pergi mencari toko sihir.
"Oh! Sang Pahlawan Perisai! Aku berterimakasih padamu kerena menyelamatkan cucuku "
"Betulkah..."
Aku nggak tau siapa yang dia bicarakan, tapi itu pasti salah satu warga Riyute. Nyonya tua yang menjalankan toko itu menyambutku di pintu dengan sopan.
Aku menyebut dia nyonya tua, tapi dia seorang wanita gemuk dan pendek yang berpakaian seperti seorang witch (penyihir).
"Kudengar kau ingin bertemu denganku?"
Aku melihat-lihat toko yang sebelumnya salah aku kira sebagai sebuah toko buku. Rak-rak bukunya dipenuhi dengan buku-buku tua yang berdebu, dan ada sejumlah bola kristal yang berjajar di balik meja etalase. Ada bebarapa staff dan wand... Seperti yang akan kalian duga dari sebuah toko sihir.
Ah betul juga, aku nggak tau gimana caranya mempelajari sihir.
"Sebelum itu, apakah nona muda ini satu-satunya rekan perjalananmu?"
"Huh? Oh... iya."
Tatapanku dan Raphtalia bertemu, dan kami berdua mengangguk.
"Kalau begitu, tunggu sebentar."
Dia berjalan kebelakang meja etalase, mengambil sebuah bola kristal dan mulai merapal mantra.
"Nah sekarang, Pahlawan Perisai, silahkan lihat kedalam bola ini."
"Um... Oke."
Aku nggak tau buat apa itu, tapi aku melihat kedalam bola itu.
Sesuatu bersinar, tapi aku nggak betul-betul bisa melihat sesuatu.
"Ya, ya, nampaknya kau, Pahlawan Perisai, cocok untuk mempelajari sihir pemulihan dan sihir pendukung."
"Huh?"
Apa dia melihat sihir jenis apa yang paling cocok buatku?
Kalau saja dia memberitahuku lebih awal, aku akan tau apa yang terjadi... Oh yah, itu nggak seperti aku punya tempat untuk mengeluh, tapi dia harusnya menjelaskannya sedikit lebih baik.
"Berikutnya aku akan melihat nona muda yang cantik dibelakangmu."
"Baik, nyonya."
Raphtalia melangkah maju dan melihat kedalam bola kristal itu.
"Ya, ya, itu masuk akal. Nona rakun muda ini nampaknya sangat cocok menggunakan sihir bayangan dan sihir cahaya."
"Kenapa kau bilang itu masuk akal? Apakah itu hal yang sudah lumrah?"
"Ya, demi-human tipe rakun dikatakan mengendalikan bayangan yang mengandung sifat bias dari cahaya serta sifat tak berbatas dari bayangan."
Aku mulai paham. Mereka seperti rakun atau tanuki di duniaku. Di Jepang tempatku berasal, orang-orang sering mengatakan bahwa tanukiadalah mahluk yang bisa berubah wujud yang mana bisa berwujud manusia. Sepertinya cara berpikir itu merupakan sesuatu yang sama-sama kami miliki.
"Oke, terus untuk apa apa semua ini?"
"Inilah yang ingin kuberikan padamu."
Nyonya tua itu berkata dan menyerahkan tiga buku pada kami.
Buku lagi! Aku nggak bisa membacanya, sama sekali nggak bisa membacanya meski cuma satu kata saja, tapi orang-orang membanjiri aku dengan buku-buku hari ini.
"Sebenarnya aku ingin sekali memberimu bola kristal, tapi kalau aku melakukannya aku nggak bisa menjalankan bisnis...."
"Kenapa begitu?"
"Apa kau tidak tau, Pahlawan Perisai? Kalau kau bisa melepas sihir yang tersegel didalam sebuah bola kristal, kau bisa langsung mempelajarinya."
Apa?! Jadi aku bisa belajar menggunakan sihir meskipun aku nggak bisa membaca bukunya?
"Beberapa saat yang lalu, kerajaan telah memesan bola kristal dalam jumlah yang banyak untuk keempat pahlawan. Apa kau tidak mendengar apa-apa mengenai hal ini?"
"Nggak sedikitpun."
Nggak diragukan lagi, itu pasti kelakuannya si Sampah. Dia pasti membeli bola-bola kristal itu untuk para pahlawan yang lain setelah aku pergi.
Dia sampai segitunya demi memgucilkan aku... Ugh... Cuma mikirin itu membuatku pengen bunuh tuh orang.
"Buku sihir tidak mudah dibaca— itulah yang pasti. Tapi jika kau bisa menggunakannya, pada akhirnya aku akan bisa mempelajari sejumlah sihir dari buku-buku itu."
Mungkin itu sebabnya cuma ada satu sihir pada satu bola kristal, tapi ada banyak jenis buku sihir. Tentu saja, buku-buku itu ada gunanya kalau kau bisa membacanya.
"Aku minta maaf..."
"Oh buku-buku ini akan jadi bantuan yang besar!"
Raphtalia tersenyum dan menjawab.
"Berapa banyak sihir yang bisa kami pelajari dari buku-buku ini?"
"Yah, buku-buku itu untuk pemula. Untuk tingkat yang lebih lanjut... Kau harus membelinya."
"Oh, tentu."
"Aku mungkin bisa mengajarimu mantranya secara langsung, tapi Pahlawan Perisai sangat sibuk kan? Kurasa kau tidak bisa bersantai-santai di kastil kota."
"Itu benar."
Gimanapun juga, dia punya bisnis yang harus dijalankan. Dia memotong keuntungannya untuk memberi kami buku-buku ini, jadi kayaknya sangat nggak pantas mengeluh tentang hal itu.
"Terimakasih."
Aku agak kesulitan bilangnya, tapi kami menerima buku-buku yang dia tawarkan dan meninggalkan toko sihir.
"Astaga...."
Aku menghela nafas tanpa pikir panjang. Aku nggak betul-betul suka belajar, jadi sekarang apa yang harus kulakukan?
Siapapun yang punya otak setengah tau bahwa tindakan terbaik yang perlu dilakukan adalah bekerja keras, belajar membaca, dan kemudian mempelajari buku untuk mempelajari resep baru dan sihir.
Tentunya itulah yang akan mereka katakan.
Aku bertanya-tanya apakah ada skill yang bisa kupakai untuk membuatnya lebih mudah, sesuatu seperti "penerjemahan bahasa dunia lain". Mungkin ada resep ramuan yang tersimpan di dalam perisai. Kalau aku mencarinya, aku mungkin bisa menemukannya. Tapi apa yang membutuhan lebih banyak waktu? Belajar membaca atau mencari perisai yang akan memberiku resep secara langsung?
Membaca mungkin lebih murah tapi kalau kau mempertimbangkan investasi waktu, maka sama saja bohong. Dan itu juga akan perlu mendapatkan material baru untuk uji coba.
Aku masih tertarik dengan pemikiran mengenai skill penerjemahan, dan setiap kali aku berpikir mengenai hal itu, keinginanku untuk belajar membaca semakin menyusut.
"Ayo mempelajari sihir itu!"
Raphtalia berkata padaku.
"Tapi aku nggak bisa baca tulisan disini..."
"Aku tau. Itu sebabnya kita harus belajar bersama."
"Ya... Kurasa cuma itu saja jalannya."
Kayaknya itu memang ide yang bagus untuk mendapatkan resep baru.
"Itu mengingatkan aku—berapa banyak waktu yang kita miliki sampai gelombang berikutnya?"
"Huh? Oh, tunggu sebentar."
Aku memperhatikan ikon yang ada di sudut bidang pandangku.
Sepertinya seluruh sistem ini disebut "status magic" dan semua orang di dunia ini bisa menggunakannya.
Adapun untukku, tingkat seranganku sangat rendah, tapi tingkat pertahananku sangatlah tinggi.
Diantara ikon yang ada disana, ada satu lagi yang cuma bisa dilihat oleh para pahlawan. Aku memfokuskan energiku pada ikon itu, dan sebuah jam muncul yang mengindikasikan jumlah waktu yang tersisa sampai gelombang berikutnya tiba.
Kayaknya 45 hari 14 jam.
"Kayaknya kita punya waktu 45 hari!"
Jadi gelombang itu nggak datang setiap satu bulan?!
Yah, itu nggak seperti kami punya waktu 2 bulan juga sih, tapi itu mengingatkan aku pada sesuatu: kami dipanggil kesini setelah gelombang pertama datang. Itu artinya frekuensinya bisa saja berbeda dari yang kami pikir sebelumnya. Kalau aku menghitung waktu yang kulewati sendirian sebelum bersama Raphtalia, kayaknya memang sekitar segitu.
Lebih dari satu bulan waktu yang tersisa untuk persiapan.
"Yah, punya waktu ekstra merupakan hal yang bagus."
Dan jika aku berpikir tentang semua persiapan yang betul-betul harus kami buat, sebenarnya kami nggak punya waktu luang.
"Apa urusan kita disini sudah selesai untuk sekarang ini?"
"Kurasa begitu. Kita udah memasang kembali kutukan budak, menjual obat kita, dan mendapatkan buku-buku itu dari toko sihir. Harusnya udah selesai."
Aku mempertimbangkan bersama Raphtalia. Kalau kamu lupa sesuatu dan harus kembali, kami akan kehilangan banyak waktu.
"Kalau begitu ayo cari sarapan terus pergi leveling."
"Oke."
Aku terkejut dengan makanannya. Indera perasaku telah sepenuhnya kembali.
Aku sudah hampir lupa seperti apa itu makanan lezat. Ini sungguh menyegarkan.
Mortar Shield: persyaratan terpenuhi
Beaker Shield: persyaratan terpenuhi
Druggist's Mortar Shield: persyaratan terpenuhi
Mortar Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: peracikan baru
Beaker Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: bonus peracikan cairan
Druggist's Mortar Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: skill pengumpulan +2
Kami selesai makan dan memutuskan untuk meninggalkan kastil kota dan menuju ke Riyute. Pasti ada monster di jalan uangr cocok untuk leveling untuk level kami saat ini. Nggak kayak para pahlawan yang lain, aku belum tau dimana tempat terbaik untuk leveling dan tempat berburu. Jadi aku harus mencarinya sendiri atau bertanya-tanya dan melihat apa yang bisa kudapatkan dari yang dibilang orang lain.
Aku membuka peta dan memperhatikannya sebentar. Kayaknya nggak ada tempat yang sangat bagus, tapi sepertinya ada beberapa tempat yang cukup bagus untuk tujuan kami. Mengingat itu bukanlah sebuah balapan—tapi tetap aja, pemikiran tertinggal dibelakang para pahlawan yang lain membuatku jengkel. Dan selain itu, melawan monster yang gak diketahui, terus menang, akan memberiku skill dan perisai baru. Kayaknya itu bukanlah ide yang buruk.
Aku mengabaikan untuk menjelaskannya secara penuh. Ada banyak bentuk perisaiku yang bisa digunakan, dan semuanya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sayangnya, kebanyakan cuma peningkatkan status dan kemampuan, jadi perisai-perisai itu nggak terlalu banyak membantu.
Kebanyakan perisai-perisai itu memiliki peningkatan defense karena aku pengguna perisai... setidaknya itulah teoriku. Meski begitu, selain peningkatan defense, tingkat agility, stamina, magic, dan SP ku, semuanya selain attack, meningkat. Karena itulah aku bisa melewati gelombang yang sebelumnya tanpa terluka.
Kami berjalan menapaki jalan.
"Aku penasaran apakah aku bisa menyerap musuh dari gelombang kehancuran kedalam perisaiku?"
Kami buru-buru pergi, jadi aku bahkan nggak kepikiran mencobanya. Tapi sekarang aku betul-betul ingin mencobanya, karena aku harus melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk membuat perisaiku lebih kuat.
Kami sampai di wilayah Riyute, dan disana terdapat mayat-mayat musuh yang keluar dari gelombang berserakan disana-sini.
Inter-Dimensional belalangLocust Shield: persyaratan terpenuhi
Inter-Dimensional Lower Bee Shield: persyaratan terpenuhi
Inter-Dimensional Zombie Shield: persyaratan terpenuhi
Inter-Dimensional Locust Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: defense +6
Inter-Dimensional Lower Bee Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: agility +6
Inter-Dimensional Zombie Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resistensi pembusukan persediaan
Aku mencincang monster-monster itu untuk melihat apakah bagian-bagian tubuh mereka akan menghasilkan perisai yang lain.
Tapi kayaknya sebagian besar material yang tersisa nggak cukup, dan aku cuma bisa membuka satu perisai lagi.
Bee Needle Shield: persyaratan terpenuhi
Bee Needle Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: attack +1
Efek Khusus: perisai jarumNeedle Shield (kecil), racun lebah (paralysis)
Aku sudah menduganya, dan kami melanjutkan ke desa.
Dalam perjalanan, kami menjumpai sekelompok penduduk desa yang memindahkan mayat chimera.
"Halo."
"Oh! Sang Pahlawan Perisai."
Nggak diragukan lagi berkat apa yang telah kami lalui selama gelombang itu, penduduk desa menyapaku dengan hangat.
"Apa monster ini boss dari gelombang kehancuran?"
Aku menatap ukuran tubuhnya dan merasa keringat mengalir dikeningku.
Aku nggak tau gimana mendeskripsikannya. Itu adalah seekor chimera, tapi ada sesuatu yang membuatnya kelihatan berbeda dari monster yang lain yang kutemui di dunia ini. Aku nggak tau apakah itu warnanya, atau karakteristik biologis lainnya. Susah untuk mendeskripsikanya dengan istilah yang kongkrit.
"Mahluk yang mengerikan."
"Iya."
Aku setuju dengan apa yang mereka katakan. Kayaknya para pahlawan yang lain dan para knight telah memotong beberapa bagian untuk dijadikan material. Bentuk dasarnya masih kelihatan, tapi kulit dan dagingnya sudah dipotong-potong di beberapa tempat.
"Boleh aku mengambilnya sedikit?"
"Tentu saja. Kami bingung apa yang harus kami lakukan dengan mayat ini. Kami ingin membawanya kembali ke desa dan mengolahnya menjadi equipment. Bagaimana?"
"Bukan ide buruk, tapi kelihatannya sudah nggak banyak yang bisa digunakan."
Kulitnya sudah diambil, jadi mereka nggak bisa membuat armor yang bagus darinya. Tetap saja, mereka mungkin masih bisa menggunakan daging dan tulangnya, dan mungkin ekor ularnya.
Kepalanya sudah dipotong. Kayaknya ada tiga kepala, namun...
Aku dan Raphtalia mulai memotong bagian-bagiannya dan membiarkan perisaiku menyerap apapun yang bisa diserap.
Chimera Meat Shield: persyaratan terpenuhi
Chimera Bone Shield: persyaratan terpenuhi
Chimera Leather Shield: persyaratan terpenuhi
Chimera Viper Shield: persyaratan terpenuhi
Chimera Meat Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: peningkatan kualitas masakan
Chimera Bone Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resistensi bayangan (medium)
Chimera Leather Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: defense +10
Chimera Viper Shield:
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip:
Skill: Change Shield, Peracikan Antidote meningkat, Resistensi Racun (medium)
Efek Khusus: taring ular beracunSnake Venom Fang (medium), KailHook
Perisai yang terakhir kayaknya punya banyak bonus yang bagus, dan tingkat pertahanannya cukup tinggi.
Tapi untuk memakainya, kayaknya kau harus berlevel tinggi, dan diatas semua itu, kau harus membuka banyak perisai chimera yang lain. Aku nggak akan bisa memakainya untuk beberapa saat, tapi aku merasa bahwa itu akan jadi perisai utamaku saat gelombang kehancuran berikutnya datang.
"Apa yang akan kalian lakukan dengan sisanya?"
"Kami akan menguburnya, jadi ambilah apapun yang kau mau."
"Hm..."
Rasanya itu akan sia-sia, tapi tetap aja... Kayaknya cuma tersisa daging dan tulang saja. Tulangnya sih harusnya nggak masalah, tapi dagingnya? Yang bisa kupikirkan cuna mengerikannya dan membuat daging kering. Belum lagi kayaknya rasanya belum tentu enak.
Tapi, aku yakin itu bisa jadi material untuk ramuan magis, tapi meskipun memang begitu, siapa yang akan membeli ramuan itu dariku? Aku nggak tau. Daging-daging itu akan memberiku masalah kalau sudah mulai membusuk, dan gimana kalau aku menyimpannya dan ternyata malah hidup lagi?
Tentunya, hal yang sama bisa dikatakan mengenai tulangnya, tapi aku masih merasa lebih baik masalah tulangnya daripada dagingnya. Disaat yang sama, apa yang begitu aku kuatirkan?
"Baiklah, kami akan mengambil apa yang bisa kami bawa."
"Jumlahnya cukup banyak, Pahlawan."
"Apa kalian mengijinkan aku menyimpannya di desa?"
"Yah, kalau itu permintaanmu, Pahlawan..."
"Kalian bisa mengeringkannya. Kalau seseorang yang menginginkannya mampir, jual saja. Tapi sisihkan sedikit untukku. Itu mungkin akan memberi kalian uang yang cukup untuk membangun kembali desa. Kalau daging dan tulang yang berasal dari gelombang kehancuran, pasti ada orang yang ingin menelitinya. Kalian bisa mendapatkan uang dengan cara itu."
"Kurasa kau benar, Pahlawan."
Penduduk desa membutuhkan uang untuk membangun kembali desa, jadi mereka mengikuti instruksiku.
Aku membiarkan perisaiku menyerap apapun yang akan membusuk dengan cepat, lalu kami pergi ke desa. Saat kami sampai, hari sudah senja.
Desanya setengah hancur, dan penduduk yang lain tinggal di rumah kerabat yang nggak rusak. Kepala desa menyiapkan sebuah ruangan untuk kami di penginapan, yang mana tampak kondisinya cukup baik, dengan begitu kami bisa beristirahat dengan baik malam itu.
"Aku ingin berada disini dulu dan membantu mereka membangun kembali desa, tapi kurasa kita nggak punya waktu untuk memikirkan masalah ini."
Penduduk desa melakukan apa yang mereka bisa untuk mengurus kami. Aku bisa mengerti itu merupakan rasa terimakasih atas bantuanku dalam memgurus mayat chimera, tapi aku merasa nggak enak mengenai kamar gratisnya.
"Aku tau gimana perasaanmu. Aku berharap kita bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka."
Beberapa penduduk terpelajar memberiku daftar karakter, jadi dengan itu aku mungkin bisa belajar membaca bahasa mereka.
Itu adalah sesuatu seperti huruf A I U E O jepang, atau alfabet dalam bahasa Inggris.
Larut malam, aku minta bantuan Raphtalia, karena dia bisa membaca sedikit. Aku menyuruh dia mengucapkan masing-masing karakter agar aku bisa membandingkannya dengan bahasaku sendiri. Lalu aku menulis persamaannya dengan bahasaku sendiri.
Aku membayangkan bahwa mereka menggabungkan karakter untuk menyusun kata-kata, jadi penerjemahan akan sangat sulit. Meski begitu, itu nggak mustahil.
Aku duduk dan membuat obat, dan sembari aku bekerja, aku berjuang untuk mengingat semua simbol aneh milik mereka.
***