Perjamuannya sudah lama selesai. Kami menemukan sebuah ruangan yang nggak digunakan, sebuah kamar pelayan yang berdebu, dan beristirahat disana.
Ini nggak kayak terakhir kali aku menginap di istana. Raja sampah itu kayaknya dia akan melakukan apapun yang dia bisa untuk melimpahkan kemalangan padaku.
Seperti itulah aku menyebut dia. Sampah.
Adapun untuk Myne, aku sudah memutuskan untuk menyebut dia Pelacur... Dan itu sangat cocok mempertimbangkan kelakuannya.
Untuk Motoyasu, aku menyebut dia Pria-Gampangan...atau mungkin... Badut.
Lalu, kurasa itu mungkin saja karena dia cuma digunakan oleh Pelacur, jadi aku memutuskan untuk menggunakan nama panggilan itu.
Raphtalia melihat bahwa aku belum makan dan pergi keluar sebentar.
"Para koki memberiku beberapa makanan dari dapur yang nggak mereka pakai."
"Ah... Makasih."
Dia memberiku sesuatu seperti sandwich, dan aku memakannya.
"Yah, palingan rasanya juga sama saja..."
Lagipula aku nggak bisa merasakannya, jadi nggak masalah apapun yang kumakan. Aku menggigitnya.
"Huh?!"
Aku menduga sesuatu yang nggak ada rasanya dan hambar, tapi itu mengingatkan aku pada makanan yang kurasakan pertama kali di sini.
Apa cuma imajinasiku? Satu gigit lagi.
"Ada apa?"
"Ini... Aku... Aku bisa merasakannya."
"Hm?"
"Sejak mereka memfitnahku, aku nggak bisa merasakan apapun."
Tapi kenapa? Meskipun yang kulakukan cuma menangis, aku merasa air mataku berkumpul lagi. Aku nggak tau itu bisa membuat makanan terasa begitu... begitu hangat, begitu enak.
"Bagus, aku senang. Kamu selalu membuat makanan yang enak untukku, da. Aku sedih melihat bahwa kamu nggak bisa menikmatinya."
Dia tersenyum, dan menggigit sandwichnya sendiri.
"Mari makan segala jenis makanan lezat bersama."
"Tentu."
Seseorang mempercayaiku. Hanya fakta itu saja membuatku merasa... lebih lega.
Indera perasaku yang lenyap saat Myne menghianati aku... tapi sudah kembali sekarang.
Itu semua berkat dia mempercayai aku, semuanya berkat Raphtalia.
Siapa yang tau bahwa dipercayai akan membuat hatimu begitu ringan?
"Besok mau ngerjain apa? Mau leveling? Atau mencari uang?"
"Betul juga... aku ingin mendapatkan equipment baru dengan uang hadiah kita. Kita ketinggalan sebulan dari yang lainnya, dan disitulah kita harus memulai. Ayo cari tempat yang bagus untuk bekerja."
Sekarang aku akan bertarung untuk menyelamatkan dunia lagi. Tapi kali ini, aku akan bersama satu-satunya orang yang memahami dan mempercayai aku.
Aku nggak mau, aku ketakutan berkali-kali, tapi aku mempertahankan pikiranku tetap posisif, demi Raphtalia. Gimana caranya aku membalas kepercayaannya?
"Tuan Naofumi?"
"Apa?"
"Mari berjuang bersama."
"Tentu!"
Aku sekarang nggak lagi mau cuma bertahan hidup. Aku ingin betul-betul maju kedepan, karena dia mempercayai aku.
Ini adalah dunia yang baru, penuh dengan impian dan petualangan, seperti sebuah anime atau game. Tapi ini juga merupakan sebuah tempat yang mengerikan. Namun aku... aku masih ingin mencoba.
Aku ingin mencoba untuk diriku sendiri, dan untuk Raphtalia juga.
"Raphtalia."
"Ada apa?"
Ini mungkin kasar, tapi aku mendekat dan mencium pipi cewek yang mempercayaiku.
"Terimakasih."
"Ah.... ahhhhhhh...."
"Um.... maaf. Kurasa kamu nggak suka hal semacam itu."
"Tidak, bukan, aku... aku... Oh... Um..."
"Oke oke, aku minta maaf. Itu kasar. Aku nggak akan melakukannya lagi."
"Nggak apa-apa!"
Aku paham. Dia punya tujuan, dan dia nggak mau itu terjadi. Dia akan marah. Aku mempelajari sebuah pelajaran penting.
Kalau ini adalah sebuah anime, mereka akan menggambarkan kami dalam sebuah hubungan fisik. Tapi didunia nyata, itu nggak akan pernah terjadi.
Itulah kebiasaan burukku. Cara berpikir kayak gitu nggak akan berlaku.
Ini bukanlah dunia mimpi. Ini adalah realitas, realitas yang berbeda. Kalau aku memperlakukannya seperti sebuah game atau anime fantasi, aku akan berakhir terluka. Kami membutuhkan sebuah rencana yang solid kalau kami mau bertahan hidup.
Raphtalia menggenggam tanganku, dan aku menggenggam balik tangannya.
Kami akan baik-baik saja, kami akan mengatasi apapun yang akan kami hadapi. Kalau aku bersama dengan seseorang yang mempercayai aku. , aku bisa menganol langkah pertama.
Pertarunganku baru saja dimulai. Aku nggak perlu tergesa-gesa, bergerak saja pelan-pelan.
***