"Aku berangkat!"
"Pastikan pulang saat makan siang!"
"Oke!"
Cuacanya sangat bagus hari ini!
Setelah berpamitan pada orangtuaku, aku menuju ke alun-alun kota. Keel dan yang lainnya sedang menungguku disana.
"Hei, kau betul-betul datang!"
"Tentu."
Keel menggoyangkan telinga kecilnya yang seperti anjing seraya dia menungguku. Anak-anak yang lain juga sudah ada disana.
"Mereka bilang kita nggak boleh ke laut hari ini karena Sadeena nggak ikut. Aku bilang nggak apa-apa, tapi tetap saja..."
"Tapi Keel, kau hampir tenggelam sebelumnya."
"Oh diam! Ayo main di padang rumput hari ini."
"Oke!"
Semua orang mengangguk setuju.
"Baiklah ayo pergi! Kau lebih baik jangan jauh-jauh dariku biar kau nggak tersesat!"
"Kau pikir kau bicara pada siapa? Aku seorang pelari cepat!"
Kami semua balapan ke padang rumput.
Tapi beneran, aku seorang pelari cepat. Aku mungkin secepat Keel, dan semua orang mengatakan bahwa dia adalah yang tercepat.
Setelah aku mulai berlari, semua orang tertinggal dibelakangku.
"Kau benar-benar cepat!"
"Kalau kau menggerakkan tanganmu sambil berpikir tentang lari lebih cepat, kau akan benar-benar meningkatkan kecepatanmu."
Aku mencoba memberitahu anak yang paling lambat caranya berlari cepat, dan saat kami berbicara tentang hal itu kami sampai di padang rumput.
Orangtuaku bilang bahwa kami harus berhati-hati karena disana ada monster, tapi kami nggak pernah menghadapi bahaya apapun.
"Hari ini apa yang akan lakukan?"
"Ah soal! Aku kalah. Aku bersumpah aku akan mengalahkanmu lain kali!" Keel mengarahkan tatapan tajam padaku.
Heh, heh. Ini akan jadi hari yang menyenangkan.
"Ayo main kucing-kucingan!"
"Kedengarannya bagus!"
"Yeah!"
Semuanya setuju dengan usulanku.
"Aku yakin! Aku akan menangkapmu"
"Kau nggak akan bisa menangkapku!"
Keel betul-betul benci kalah, tapi itu adalah salah satu hal terbaik dari dia.
"Ahahaha!"
"Sial! Tunggu!"
Kayaknya Keel betul-betul marah. Dia cuma mengejarku. Pada akhinya kami semua kelelahan, dan kami memutuskan untuk beristirahat.
"Apa yang akan kita lakukan berikutnya?"
"Semuanya masih bisa bermain, kan?"
"Aku nggak harus membantu dirumah, jadi aku masih bisa bermain."
Karena suatu alasan, ada saat-saat dimana setiap orang memiliki tugas yang harus dilakukan dirumah. Aku membantu ibuku memasak.
"Ayo main kucing-kucingan lagi!"
"Tapi aku capek sekali. Aku mau istirahat dulu."
Keel punya energi yang banyak sekali. Kurasa anak laki-laki memang kayak gitu.
"Terserahlah. Kalau begitu kami akan main tanpa kamu."
"Ya!"
Semua anak laki-laki berdiri dan bermain kucing-kucingan.
"Mereka memang energik."
"Aku tau!"
Anak perempuan disebelahku, Rifana, setuju denganku. Kami berdua duduk dan melihat anak laki-laki bermain.
"Hei, siapa yang kamu sukai?"
"Hmmm...."
Kami sebaya dimana kami mulai peduli tentang cinta dan hubungan.
Kami mulai berbicara tentang seseorang yang berkencan, dan siapa yang kami pikir akan menikah. Nggak lama setelah itu kami berbicara penuh kegembiraan.
"Mungkin seseorang seperti ayahku!"
"Itu curang! Laki-laki itu harus seumuran denganmu!"
"Hmm...."
Aku menoleh untuk melihat anak laki-laki yang sedang bermain.
Keel mungkin yang paling keren diantara mereka. Dia memiliki wajah tampan. Tapi aku tau aku nggak seharusnya mengatakan hal seperti ini, aku nggak pernah menyukai penampilan wajahku sendiri di cermin.
Kalau kami pergi ke kota terdekat ada banyak gadis manis disana, dan semakin tua usianya semakin jelas kecantikan mereka.
Dan rasku tidaklah terkenal atas kecantikan kami...
Tapi ayahku keren, dan dia tampan. Aku ingin seperti ayahku.
Semua orang mengatakan bahwa ibuku cantik. Dia benar-benar baik, dia pandai memasak...
Aku bertanya-tanya.... Apa aku akan jadi cantik saat aku tumbuh dewasa? Aku pernah menayakan itu pada ibuku sebelumnya.
Dia tersenyum dan mengangguk.
Jadi aku yakin aku akan cantik setelah aku dewasa.
Dilain waktu, aku menanyai dia seperti apa itu jatuh cinta pada laki-laki. Apakah berbeda dengan mencintai keluargamu?
Dia kelihatan bingung.
Kurasa dia mencintai pria secara berbeda dari cara dia mencintai aku.
"Kurasa ada perlunya bedaan cara untuk menyukai orang. Ibuku pernah bilang bahwa dia menyukai orang secara berbeda dari cara dia menyukai aku."
"Ya! Aku paham itu. Tapi aku ingin menikahi seseorang seperti... seseorang seperti sang Pahlawan Perisai Legendaris!"
Rifana adalah sahabatku dari desa. Dia lebih feminim daripada aku, dan dia suka berbicara tentang cinta dan laki-laki. Dia terutama suka berbicara tentang Catatan Empat Senjata Suci, karena disana dikatakan bahwa sang Pahlawan Perisai sangat baik pada para demi-human.
"Yah aku..."
Tapi kemudian....
Sampai titik itu, aku nggak pernah berpikir bahwa kehidupanku akan terdiri dari sesuatu yang lain selain hari-hari yang damai seterusnya. Aku benar-benar mempercayainya.
Ping!
Sebuah suara keras menggema di padang rumput.
Saat aku mulai bertanya-tanya apa itu, udara bergetar, dan angin kencang menerpa.
"Ah!"
"Kyaaah!"
"Apa ini?"
Kami semua terjatuh dan menunggu anginnya mereda. Sesaat setelah angin kencang itu mereda. Segalanya sangat tenang.
"Apa itu?!"
"Hei, lihat itu."
Keel menunjuk ke langit.
Aku menatap kearah yang dia tunjuk dan tertegun dalam keheningan.
Langitnya tampak terbelah. Membentuk retakan berwarna merah gelap, seperti cangkang kura-kura. Itu menakutkan.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Orangtuaku bilang untuk kembali ke desa kalau terjadi sesuatu."
"Kalau kita nggak memeriksanya sekarang, kita mungkin nggak akan dapat kesempatan lagi."
"Jangan! Keel!"
Aku dan anak-anak yang lain menahan Keel, dan kami kembali ke desa bersama.
"Raphtalia!"
"Ayah!"
Ayahku kembali dari kota sebelah. Aku berlari kearah dia.
"Apa kau baik-baik saja? Aku begitu kuatir!"
"Aku baik-baik saja. Kau bilang harus kembali ke desa kalau sesuatu terjadi, jadi aku bergegas kembali kesini."
"Gadis pintar."
Dia mengusap kepalaku.
Hee hee hee.....
Ayahku mulai berbicara pada semua orang dewasa yang lain.
"Semuanya dengar. Aku baru saja pergi menjumpai penguasa daerah ini. Dia mengatakan bahwa retakan di langit itu mengarah ke tanah dan kawanan monster dalam jumlah besar keluar dari retakan itu."
"Apa itu artinya kita harus melawan mereka?"
"Kurasa begitu."
Ada lolongan mengerikan berasal dari retakan di langit.
Ekorku mulai mengibas secara agresif pada suara lolongan itu. Itu begitu menakutkan.
"Akankah kita baik-baik saja?"
"Hm...."
"H...Hei! Kita berada dalam masalah! Para monster sudah memasuki kota! Disana sangat kacau!"
Seorang pria tua dari desa berlari mendekat dan mengumumkan berita itu. Wajahnya pucat!
"Tapi.... Bagaimana? Bagaimana bisa mereka sampai disini secepat itu?!"
"Penguasa telah memerintahkan kita untuk evakuasi secepat mungkin! Dia sudah memanggil bantuan dari istana!"
"Apa yang terjadi pada penguasa?"
"Aku nggak tau, tapi dia meninggalkan instruksi agar semua orang segera evakuasi secepat mungkin!"
"Ugh...."
Para orang dewasa terlihat sangat marah saat mereka berbicara.
"Dan Sadeena sedang pergi, serta semua pemburu pergi melaut..."
"Ada badai besar dilaut juga. Siapa yang tau apakah mereka bisa kembali dengan selamat?"
Langitnya terlihat semakin dan semakin memburuk.
Lalu ada suara aneh yang keras. Semua orang menoleh untuk melihat apa itu.
"Apa... itu?!"
Disana ada sesuatu yang besar, seperti.... seperti seseorang yang terbuat dari tulang-tulang. Mahluk itu pincang dan menyeret kakinya saat dia berjalan kearah kami.
Mahluk itu membawa sesuatu seperti sebuah senjata ditangan tulangnya, dan senjata itu berkilauan dengan cahaya menakutkan.
Aku ketakutan. Aku sungguh sangat ketakutan.
Itu adalah seekor monster.
Cuma kata itu yang cocok, dan menggambarkannya secara sempurna.
"Uh... aaaaaaaahhhhhhh!"
Para orang dewasa berteriak dan mulai melarikan diri.
Para penduduk desa juga mulai berteriak.
"Aku memerintahkan sumber kekuatan. Cahaya! Bunuh mahluk yang ada dihadapanku! 'First Holy!"
Sebuah bola sihir memancarkan cahaya terbang dari tangan ayahku, dan monster tulang itu jatuh.
"Semuanya tolong tenang dan dengarkan aku. Kita harus segera evakuasi dari sini secepatnya. Meskipun suku kita memiliki kekuatan besar, kita nggak punya peluang bisa menahan jumlah sebanyak itu."
"Kau benar."
Ibuku melemparkan sebuah kapak pada seekor skeleton yang mengarah ke desa.
"Kami akan tetap disini dan mengulur waktu. Kalian..."
"Uh... baik."
"Y...Ya."
"Baiklah. Kalau kau yakin..."
Semua orang menahan nafas mereka sebentar sebelum memulai evakuasi.
Mereka memutuskan untuk pergi ke kota di pelabuhan. Bahkan dalam badai, mereka masih bisa kabur menggunakan perahu dan pergi ke laut.
"AAAHHHHH!"
Tapi itu nggak berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
"Sialan para monster ini!"
Seekor binatang besar dengan tiga kepala berlari ke desa.
Orangtuaku bertarung dengan segala kemampuan mereka, tapi itu nggak cukup. Binatang itu sangat cepat, dia terus menghindari sihir milik ayah dan kapak milik ibu.
"Gaaaahhhh!"
Binatang itu dengan ganas mengayunkan cakarnya, dan ayahku beserta penduduk desa yang lain terlempar ke udara. Mereka berdua jatuh ke tanah, sendi-sendi mereka terkilir.
Huh? Apa?
Aku nggak bisa mempercayainya...
"Wh.... WHAAAAAAA!!"
"AAAHHHHHH!!"
Para penduduk desa mulai panik dan berlari secepat yang mereka bisa. Mereka mengabaikan teriakan ayahku dan berlari ke laut. Para penduduk desa yang panik mendorongku, dan aku jatuh ke tanah.
"Semuanya, tunggu sebentar!"
"Apa kau baik-baik saja?"
Ibuku ada disana, memelukku. Tapi wajahnya pucat.
Seekor anjing berkepala tiga mengejar para penduduk desa, menyerang mereka menggunakan taring dan cakarnya.
"Aku.... takut..."
Ibuku menyisir rambutku dengan jarinya.
"Nggak apa-apa. Kita akan baik-baik saja, jangan kuatir."
"Um.... Um...."
Kalau ibu bilang kami akan baik-baik saja... Itu benar... kan?
"Kita akan pergi."
Ayahku mulai berlari setelah para penduduk yang lain kabur. Aku dan ibuku mengikuti tepat dibelakangnya.
Para penduduk sampai di sebuah tebing dekat laut dan mulai melompat ke laut.
Anjing itu mengejar mereka. Dan kemudian, aku nggak bisa mempercayainya! Anjing itu melompat ke laut mengikuti mereka dan mulai memakan para penduduk yang berenang.
Lautnya menjadi merah.
"Wahhhhhhhhh!"
"Sialan, kita terlambat!"
Ayahku berteriak. Dia dan ibuku berlari untuk menyerang anjing itu dan melindungi para penduduk yang tersisa. Aku bersembunyi dibelakang mereka.
"Aaaaaaaah!"
Anjing besar berkepala tiga itu melompat keluar dari laut dan mengarahkan wajahnya pada kami. Dia melolong. Dia menyudutkan kami pada tebing, jadi kami nggak bisa lari kemana-mana.
"Grrr...."
Anjing berkepala tiga itu melompat kearah kami, menunjukkan cakarnya.
Ayahku berhasil menangkis cakar itu dengan sihir miliknya, tapi kemudian darah menyembur dari bahunya.
Huh?
"Sayang, apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja... Tapi...."
Kami naik ke tebing. Para penduduk desa yang lainnya sudah dilaut, tapi lebih dari setengah telah.... telah....
"Ahhh...."
Aku sungguh takut. Aku memeluk punggung ibuku.
Semua orang yang ada dibawah sedang berenang menyelamatkan nyawa mereka sendiri, tapi arusnya sangat kuat, dan mereka terus berenang kearah laut. Mereka akan tenggelam.
"Kalau kita nggak menghabiskan monster ini, dia akan mengejar penduduk desa ke laut dan membunuh mereka semua."
"Aku tau..."
"Aku minta maaf, sayang...."
"Aku sudah siap."
Mereka selesai berbicara dan mereka berdua berbalik padaku.
"Raphtalia."
"A...Apa?"
Ibiku mengelus punggungku, berusaha menenangkan aku.
"Jangan lupa untuk tersenyum. Baik-baiklah dengan orang lain."
"Dia benar. Saat kau senyum, semua orang tersenyum."
Ayah mengusap kepalaku.
"Raphtalia... Segalanya akan sulit bagimu. Kalau kamu nggak hati-hati, kamu mungkin akan mati."
"Tapi tetap saja... Tetap saja, Raphtalia, kami ingin kamu terus hidup. Jadi tolong, maafkan keegoisan kami."
Hatiku mulai berdetak kencang... Itu seperti... Itu seperti aku nggak akan pernah melihat mereka lagi.
"Tidaaaaak! Ibu! Ayah!"
Aku nggak mau meninggalkan mereka.
Ayahku mendorongku keras-keras, dan aku jatuh dari tebing, dan jatuh di laut.
Yang bisa kulihat cuma gelembung yang bermunculan disana-sini. Aku bergegas mengeluarkan kepalaku dari air.
Dan kemudian... aku melihatnya. Aku melihat tepat saat anjing berkepala tiga itu melompat kearah orangtuaku.
"TIDAAAAAAAAAAAAK!"
Arusnya membawaku, tapi aku berenang kembali.
Saat aku akhirnya mendapati diriku berada di pantai, langitnya sudah gelap.
Huff.... Huff...
Ada orang-orang yang selamat dari desa juga. Tapi beberapa penduduk yang tewas juga terbawa arus kesini.
Langitnya sudah kembali ke warna normalnya. Aku nggak tau apa yang terjadi.
Tapi aku mau bertemu orangtuaku lagi. Aku bergegas kembali ke tebing dimana aku meninggalkan mereka.
Ada tukang-tulang yang berserakan. Sepertinya bala bantuan telah tiba dari istana untuk mengusir para monster itu.
Saat aku tiba, aku menemukan segumpal daging, dan kerangka dari monster itu. Para knight dan petualang sedang mengangkutnya.
Aku bisa menyimpulan apa yang telah terjadi.
"Yah, hal bagusnya monster itu sudah babak belur...."
"Ya, jika tidak, kita mungkin nggak bisa mengalahkannya."
Para petualang dan knight bergurau saat mereka melihatku ada disana.
"Ada apa dengan bocah itu? Haruskah kita menangkap dia?"
"Tunggu. Kita berada di wilayah demi-human."
"Apa yang kau bicarakan? Penguasa area sudah tewas, tidakkah kau mendengarnya?"
"Oh ya?"
"Biarkan saja dia. Kau tau apa yang akan terjadi."
Mereka membuka jalan bagiku untuk lewat.
Lalu aku berjalan ke tepi tebing dan melihat keadaan orangtuaku. Aku mulai gemetar dan menangis.
"TIDAAAAAAAAAAK!"
Berapa lama waktu yang telah berlalu?
Saat aku memgetahui apa yang kulakukan, aku sudah selesai membuat makam untuk ayah dan ibuku.
"Jangan lupa untuk tersenyum. Baik-baiklah dengan orang lain."
"Dia benar. Saat kamu tersenyum, semua orang tersenyum."
"Benar...."
Mereka telah mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkan para penduduk desa yang lain, dan mereka mempercayakan penduduk yang selamat padaku.
Akan aku tunjukkan pada mereka... Aku akan ramah pada semua orang! Aku nggak akan membiarkan kematian mereka sia-sia.... Kalau aku cuma diam disini dan menangis, ayah dan ibuku akan marah.
"Aku nggak akan nangis lagi. Aku pergi sekarang..."
Aku mulai berjalan kembali ke desa.
"Uhuuuuuuh...."
"Ayah.... Ibu...."
Para penduduk desa yang kabur ke laut telah membentuk kerumunan. Disana lebih banyak anak-anak daripada orang dewasa.
"Apa itu Raphtalia?!"
"Ya."
"Apa orangtuamu berhasil?"
Seorang pria tua yang merupakan tetangga kami menanyai aku. Dia kelihatan kuatir. Aku berusaha sekuat mungkin agar nggak menangis. Aku menggelengkan kepalaku.
"Oh... Itu...."
Dia nggak bisa berkata apa-apa. Dia pasti tau bahwa apapun yang dia katakan akan membuatku menangis.
"Nggak apa-apa. Ayah dan ibuku memberitahuku untuk menyemangati semua orang."
"Iya kah? Kau sungguh gadis yang kuat."
"Hee, hee."
Apa aku tertawa?
Nggak apa-apa. Kalau aku menangis, ayah dan ibuku akan marah.
"Semuanya!"
Aku berteriak untuk mendapatkan perhatian semua orang, dan semua mata menangis dari anak-anak tertuju padaku.
"Aku tau kalian semua sedih. Aku juga. Tapi akankah orangtua dan saudara-saudara serta teman-teman kita ingin kita tetap disini dan menangis?"
Semua orang tampak gelisah pada kata-kataku. Mereka menengadahkan wajah mereka keatas.
Aku mengarahkan tanganku pada hatiku dan melangkah maju.
"Untuk kalian semua yang berpikir orang-orang yang kita cintai tidak mati, aku tanya pada kalian bagaimana yang akan mereka rasakan jika mereka kembali ke desa kita dan mendapati kita semua seperti ini?"
Benar. Ini adalah desa milik semua orang. Kita nggak boleh membiarkannya begitu saja.
Ayahku, sang penguasa, selalu mengatakan bahwa desa adalah sebuah keluarga yang kita bangun bersama.
"Aku tau seberapa sedihnya kalian. Percayalah padaku, aku tau rasanya. Tapi itu semua merupakan alasan untuk bangkit kembali. Maksudku, kita adalah keluarga!"
Ya, ayah selalu bilang begitu. Dia bilang untuk memperlakukan orang-orang deaa seolah mereka adalah bagian dari keluarga kami.
Jadi aku akan melakukannya. Aku akan menjaga mereka semua, sama seperti yang ayah katakan.
"Benarkan?"
Aku melakukan semua yang aku bisa untuk tersenyum.
"Raphtalia...."
"Raphtalia, apa kau nggak sedih?"
"Kenapa kau tersenyum? Ayahmu tewas!"
Senyumku melemah pada kata-kata mereka.
Aku nggak akan menangis... Kalau aku mulai menangis, aku nggak akan bisa berhenti....
"Betul... Aku... nggak... sedih."
Aku nggak boleh menangis. Kalau aku mulai menangis, nggak seorangpun akan bisa menghiburku.
"Oh...."
"Lihatlah seberapa keras gadis ini berusaha! Ayolah semuanya. Kalau dia bisa melakukannya, kita bisa melakukannya!"
"Ya!"
"Kau benar, Raphtalia! Aku akan berjuang juga!"
Keel menangis, tapi dia berpaling padaku, penuh energi.
"Ya!"
Sang penguasa telah memberi desa kami sebuah bendera. Itu adalah sebuah hadiah, dan sebuah simbol kota. Lalu bendera itu berkibar dari atas dan jatuh ke depanku. Itu seperti bendera itu setuju denganku.
Itu dia. Itu adalah sebuah tanda, tanda bahwa ayah dan ibuku memperhatikan kami.
Aku mengambil bendera itu, dan para penduduk desa yang lain membawakan tiang besar untuk bendera itu. Kami mengikat bendera tersebut pada tiang itu.
"Itu adalah sebuah tanda dari langit! Ayo bekerja untuk membangun kembali desa kita!"
"Yeah!"
Dan dengan begitu semua orang memutuskan untuk berusaha dan bangkit kembali.
"TIDAAAAAAAAAAAAK!!!"
Aku langsung terbangun. Aku berada didalam tenda yang kami buat.
Rumahku terbakar sampai rata dengan tanah—sebagian besar dari kami. Jadi kami semua tidur bersama di sebuah tenda besar.
Kurasa aku mungkin bermomp.
"Hei, apa kau dengar suara itu?"
Seorang pria tua bergegas mendekat kearahku.
"Raphtalia, kau menjerit."
"Benarkah?"
Aku harus tersenyum. Kalau aku nggak tersenyum, itu akan membuat mereka kuatir.
"Aku baik-baik saja! Aku cuma bermimpi buruk."
"Baiklah... Yah... jangan terlalu memaksakan."
"Aku baik-baik saja! Terimakasih banyak."
Ayah. Ibu. Aku akan berjuang sebaik mungkin, aku janji....
Esok paginya kami memutuskan untuk meninggalkan rumah-rumah yang sudah hancur sepenuhnya sebagaimana adanya untuk saat ini dan berfokus pada memperbaiki rumah-rumah yang bisa segera kami tinggali.
Kami juga menugaskan beberapa orang untuk membuat makam untuk mayat-mayat yang terbawa sampai ke pantai.
Orang-orang dewasa semuanya berfokus pada membangun kembali kota, dan semua anak-anak melakukan apa yang mereka bisa untuk membantu.
Tapi kami semakin khawatir dengan persediaan makanan. Persediaannya mungkin nggak bisa bertahan.
Kami telah berdiskusi mengirim perahu nelayan untuk mendapatkan lebih banyak makanan, tapi lautnya sangat ganas, dan kami memutuskan untuk melakukannya nanti.
"Apa lagi sekarang...."
Cuma kami saja orang-orang yang selamat. Cuma seperempat dari desa yang selamat.
Meski begitu, salah satu dari tetua bilang bahwa kita telah berhasil sebaik yang dia harapkan.
"Seperti yang dikatakan Raphtalia. Kita semua masih hidup."
"Yeah!"
Apa yang aku nggak tau kemudian adalah bahwa semua upaya kami dihancurkan secara kejam.
"Woi! Apa yang kau lakukan?!"
Ada beberapa orang terlihat jahat berkeliaran di desa, dan mereka mengarahkan pedang mereka pada sekelompok orang dewasa.
"Woi!"
"Siapa kalian?!"
"Ahahaha! Kudengar bahwa masih ada beberapa demi-human yang masih hidup disini. Kurasa itu benar!"
"Ya, dan area ini nggak terlindungi. Kita mungkin bisa mendapatkan uang yang lumayan banyak!"
"Ya! Argh!"
Salah satu orang dewasa melangkah maju dan berteriak pada para penyerang.
"Penguasa daerah ini nggak akan pernah memaafkan perbuatan kalian ini! Masih ada para knight istana di area ini juga!"
Orang-orang yang kelihatan jahat itu semuanya tersenyum.
"Apa peduli kami kalau penguasa kalian yang sudah mati marah? Selain itu...."
Swipe! Itu terjadi lebih cepat daripada yang bisa kulihat. Itu terjadi sebelum aku bisa memahami apa yang sedang terjadi.
Perut pria tua itu terbelah. Salah satu pria jahat telah memotong dia dengan pedangnya.
"Apa..."
"Ahaha!"
"Bisakah kau mengatakannya? Kami adalah para knight istana!"
"Mereka belum mengetahuinya, iya kan, boss?"
"Tidak!"
"AHAHAHAHAHA!"
Pria tua itu jatuh ke kolam darah. Dia bahkan tidak mengejang.
Kolam darah itu melebar. Segera setelahnya mencapai kakiku.
"Ah! AHHHHHHHH!"
Tiba-tiba semua orang panik. Aku nggak tau apa yang harus dilakukan, jadi aku lari.
"Jangan biarkan mereka kabur! Bunuh yang tua! Kita masih bisa menjual wanita dan anak-anak, jadi biarkan mereka kabur!"
Aku nggak betul-betul bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
"Tidaaaaaaaaaaak!"
"Tenang! Rasakan ini!"
"Ugh...."
Seseorang menarik rambutku. Aku merasa seseorang memukulku, dan kemudian tidak ada lagi.
Seminggu berlalu. Aku terus mendapatkan mimpi tentang kematian orangtuaku.
Mereka menangkapku, dan menjualku ke perbudakan.
Pemilik pertamaku tampak baik. Dia cuma ingin aku bertindak sebagai seorang pelayan, tapi kemudian dia menjualku, dan aku masih nggak tau kenapa.
Pemilik yang selanjutnya...
"Rasakan ini!"
"Ugh..."
Kenapa? Kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini?
Dia adalah seorang pria gemuk dan tampak seperti orang jahat. Dia mengurungku di ruang bawah tanah dari sebuah rumah besar, di sebuah kota yang nggak pernah kudengar. Ada hewan-hewan disana. Mereka sama seperti aku... Ugh... Sepertinya pria ini telah membeli Rifana sebelum dia membeli aku.
Setiap hati, setiap kali dia merasa menginginkannya, dia akan menggantungku di langit-langit menggunakan rantai dan memukulku dengan sebuah cambuk. Dia memukulku sampai aku berdarah. Lalu dia akan terus memukulku.
Setiap kali aku mencoba menghentikan dia, atau mencoba memprotes dia, kutukan budak di dadaku akan membakarku. Rasa sakit dari cambuk itu membuatku gila.
Tapi aku nggak akan menyerah.
Aku akan menahannya, untuk ayah dan ibuku, dan untuk semua orang yang ada didesa yang gagal.
Jadi aku nggak akan menyerah.
"Raphtalia.... Uhuk."
"Nggak apa-apa... Nggak apa-apa. Kita akan kembali ke desa."
Saat aku berkumpul lagi dengan Rifana, dia sudah sakit. Meski begitu, pria itu nggak pernah berhenti memukuli dia.
"Ya... Kita... Kita akan... berhasil..."
Apa yang diinginkan pria ini dari kami? Apa dia cuma berpikir itu memyenangkan untuk memukuli kami dengan cambuk?
"Ha! Kemapa kau masih memiliki mimpi dari sebuah kehidupan yang lebih baik?"
Slap! Dia memukulku lagi, dan aku merasa darah mengalir di punggungku.
Aku merasa air mata berkumpul karena rasa sakit itu.
"Ya! Menjeritlah karena kesakitan!"
"Ahhhh!"
Sampai titik itu, semuanya semakin memburuk. Dia mulai menyiksaku.
Aku akhirnya bebas, dan compang-camping, tapi aku merangkak ke lantai berlumpur untuk merawat Rifana.
Dia membawakan kami semangkuk sup yang bau. Rasanya kayak lumpur. Namun cuma itu satu-satunya makanan kami dalam sehari.
"Huff... Huff..."
Aku perlahan-lahan menyuapi Rifana. Itu setara dengan memperpanjang hidupnya selama satu hari lebih lama.
Nggak apa-apa. Kita harus berhasil kembali ke desa. Semua orang menunggu kami.
"Bertahanlah... Aku janji aku akan membantumu."
Ada banyak jeruji besi yang panjangnya hampir mencapai tanah. Aku menyadari kalau aku mengambil batu di dinding, dan menggali tanah di bawah jeruji itu, kami bisa kabur dengan merangkak lewat galian yang kubuat! Harusnya ini bisa berhasil.
"Terima kasih."
"Ya! Kita bisa bertemu dengan mereka lagi!"
Ibu dan ayahku pernah bilang, agar aku menjaga semua penduduk desa. Warga desa lain pun pasti akan memyelamatkan kami. Sadeena pasti akan mengumpulkan yang lainnya untuk datang menyelamatkan kami. Yang harus kami lakukan adalah terus bertahan hidup.
"Kau… ingat… di hari itu? Raph…ta…lia…"
Tubuh Rifana gemetar. Dia merentangkan tangannya ke arah langit-langit.
"Kau masih ingat… bendera… pemimpin… kita?"
"Ya… aku ingat!"
Aku menggenggam tangannya erat-erat. Aku masih ingat. Bendera itu yang memberi kami harapan. Aku rindu dengan hari-hari damai itu… hari dimana tidak ada kesedihan seperti ini.
Tapi hari-hari itu sekarang tinggal kenangan. Jadi, aku sendiri yang harus mengembalikannya. Semuanya bergantung padaku.
Uhuk! Uhuk!
Tiga hari telah berlalu. Aku bisa mendengar langkah kaki pria itu yang semakin mendekat.
"Raphtalia…*Uhuk*!"
Saat-saat mengerikan itu datang lagi. Sepertinya aku sudah ketularan demam Rifana. Tapi aku akan baik-baik saja.
Aku selipkan jerami basah ke dalam lubang yang sedang kugali, di bawah jeruji besi itu.
"Rifana?"
"…"
Rifana tidak menjawabku.
Pria itu membuka pintu kandang tempat Rifana berada, dan menyentuhnya.
"Sepertinya dia sudah mati. Ugh, menyusahkan saja."
Sambil bergumam sendiri, dia panggul tubuh Rifana di bahunya.
Tubuh Rifana terlihat lunglai, tatapan matanya pun kosong.
"Sial, dan sekarang hampir waktunya dia dikembalikan. Ini sama saja dengan melanggar kontrak!"
Lalu pria itu menendang tubuh Rifana, seperti menendang sebuah mainan.
Saat itu aku belum tau, sampai aku tau yang sebenarnya. Sepertinya, ada beberapa tingkatan sosial yang mencari kesenangan dari membeli budak demi-human, dan menyiksa mereka. Dan itulah kami, dua ekor budak yang dibeli, untuk menjadi sasaran perbuatan kejam pria itu.
"Heee?!"
Apa? Apa? Apa yang terjadi pada Rifana? Tidak… Tidak mungkin. Tanganku gemetar saat menyentuhnya.
Tubuhnya dingin, sangat dingin! Aku nggak ingin mempercayainya. Tidak… Rifana!
Aku begitu marah, sedih, takut,… dan putus asa. Ada banyak perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Kenapa? Rifana tidak pernah berbuat salah pada pria itu!
"Ini pasti karena tiap malam kau tidak mau berhenti menjerit! Dia jadi kurang tidur! Ini semua SALAHMU!"
"Tidak… Ugh… *Hiks*... Rifana..."
Pria itu menggantungku dan mulai mencambukku. Dia bahkan mencambukku lebih lama dari biasanya.
Tapi mataku terus tertuju pada Rifana yang terbujur kaku di sana, hingga aku nggak lagi merasakan rasa sakit di tubuhku.
"Oh hei, kau selalu menggumamkan tentang suatu desa, kan?"
"…"
Aku nggak ingin menjawabnya. Semua penduduk desa sedang menungguku.
"Sepertinya, belum lama ini desa itu sudah dihancurkan. Lihat."
Dia mengulurkan sebuah bola kristal ke arahku.
Sebuah sorot cahaya muncul dari bola kristal tersebut, dan memproyeksikan sebuah desa di dinding yang disinarinya.
Itu lebih parah daripada desa yang aku tau. Desa itu hancur, dan nggak ada siapa-siapa disana. Benderanya terkoyak dan terbakar, dan tulang-belulang berserakan ditanah.
"Oh iya, aku dengar kau pernah bilang, kalau kau lah orang yang meyakinkan penduduk untuk membangun desamu kembali. Dan nyatanya, mereka kabur dan meninggalkan desamu itu."
"Ah…"
Pria itu menyeringai. Dia belum pernah melihatku menangis atau bahkan berkedip. Dan dia pasti menikmati keadaanku yang sekarang.
"Ugh…. Ugh… Wahhhh!"
Sesuatu didalam diriku tersentak.
Aku tidak sanggup lagi.
Ibu dan ayahku telah mempercayakan desa kami padaku, tapi tiada seorangpun yang tersisa di sana. Apa yang harus kulakukan?
Harapan dan tujuanku benar-benar sudah musnah.
"Menangislah! Menangislah lebih keras lagi!"
Rasa sakitnya begitu menyakitkan, seakan membuatku gila. Semua mimpi yang menghantuiku setiap malam, mulai merusak pikiranku. Mimpi tentang terakhir kalinya aku melihat kedua orangtuaku. Dan mimpi itu semakin memburuk.
Aku ini gadis nakal, karena tidak menyelamatkan desaku. Mereka berharap aku nggak bisa tersenyum lagi. Aku nggak punya hak untuk hidup. Mereka terus berbisik: Mati… Mati…
Mereka... benar. Aku nggak akan pernah tersenyum lagi. Aku nggak mau tersenyum lagi. Karena... Aku... Aku melanggar janjiku sendiri…
Akhirnya pria itu menjualku.
Mungkin memang begitu, atau waktu kontrak "permainan siksaannya" telah habis.
"Ini buruk. Bayaranmu ini lebih rendah, dari harga kontrak gadis budak ini. Sial."
"Ayolah, dia ini hampir mati. Karena kondisinya sudah seperti ini, aku harus mendapat potongan biaya, karena sudah mengembalikannya lebih awal."
"Aku mengerti. Ya."
Seorang pria gemuk yang mengenakan pakaian rapi telah membeliku. Dia orang yang berbeda, dengan pedagang budak yang terakhir mengurusku.
Akan seperti apa pemilikku yang berikutnya?
"Aku yakin, harusnya gadis ini diperlakukan sedikit lebih layak..."
Pedagang budak yang baru itu memberiku obat dan makanan.
Uhuk! Uhuk!
"Sepertinya gadis ini nggak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi."
Pedagang budak itu berkata begitu, sambil menyuruhku masuk ke sebuah kerangkeng. Jadi.... Aku tetap nggak ada harganya di hadapan siapapun.
Ayah dan ibuku telah meninggal, dan desaku telah lenyap. Seakan dunia ini ingin agar aku mati saja.
Ini menyakitkan. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati secepat mungkin.
Aku nggak tau sudah berapa lama waktu berlalu. Aku terus memandangi jeruji kerangkengku. Banyak pembeli yang datang dan pergi.
Dan kemudian....
"Inilah budak termurah yang bisa kutawarkan padamu."
Si penjual budak membawa seorang pria muda ke kerangkengku.
"Yang sebelah kanan punya penyakit genetik. Dia seorang kelinci. Yang tengah punya serangan panik dan seorang rakun, dan yang terakhir persilangan manusia kadal. Mereka semua memiliki masalahnya sendiri-sendiri."
Pria muda itu bernegosiasi dengan si penjual budak. Pria muda itu melihatku sebentar.
Matanya tajam, cukup tajam untuk membunuh. Dia terlihat marah. Aku terkesiap.
Matanya melihat-lihat dua budak yang lain. Matanya menakutkan. Dia dipenuhi dengan kebencian, kebencian yang lebih dalam daripada pria yang mencambuki aku. Itu terlihat seperti dia membenci seluruh dunia.
Kalau dia membeliku, aku mungkin akan mati dalam satu atau dua hari....
"Gadis ini memiliki serangan panik pada malam hari. Dia cukup merepotkan..."
Apa mereka membicarakan tentang aku? Aku nggak tau.
Tapi pada akhirnya, pria muda itu membeliku.
Mantra untuk pendaftaran sebagai seorang budak selalu sakit. Aku membencinya. Tapi aku yakin ini akan jadi pemilikku yang terakhir. Karena aku.... aku sudah nggak punya banyak waktu yang tersisa. Beberapa saat setelah itu, si pemilik baru memberiku sebuah pisau dan membuatku membunuh seekor monster. Itu begitu menakutkan, tapi kalau aku nggak melakukannya, kutukan di dadaku akan terbakar.
Kami meninggalkan toko senjata, dan perutku mulai keroncongan.
Dia akan berteriak padaku! Aku menggelengkan kepalaku, aku ingin mengatakan pada dia kalau aki baik-baik saja. Aku baik-baik saja! Jadi jangan marah padaku! Jangan cambuk aku!
Haaaaa....
Dia cuma menghela nafas. Apa dia marah?
Dia cuma berjalan saja dan membawaku ke toko lain. Mereka menjual makanan disana. Kurasa aku pernah melihat toko itu dikota sebelumnya.
"Aku pesan makanan yang paling murah, dan dia makanan anak-anak kayak yang dimakan anak disebelah sana."
"Apa?!"
Aku menatap iri pada apa yang sedang dimakan anak lain. Lalu pemilik baruku membelikannya untukku? Aku nggak bisa mempercayai telingaku sendiri.
Siapapun diluar desaku harusnya jahat, kan?
"Ke...Kenapa?"
"Hm? Kau kelihatan ingin memakannya. Jadi apa masalahnya? Kau mau sesuatu yang lain?"
Aku menggeleng.
"Kenapa kau memberiku makan?"
Karena, sejak aku menjadi seorang budak, nggak ada yang memperlakukan aku seperti ini.
"Sudah kubilang. Kau kelihatan seperti kau mau makan itu."
"Tapi...."
"Makan saja. Aku perlu kau sehat. Kalau kau kurus kering kayak gitu, kau cuma akan mati."
Mati...? Aku akan mati. Aku pasti mati... Sama seperti Rifana. Aku akan mati karena penyakit yang sama.
"Pesanan datang."
Si pelayan menyajikan sebuah makanan yang besar dan meriah didepanku. Ada sebuah bendera diatasnya.
Apa yang aku irikan beberapa menit sebelumnya, sekarang aku punya sendiri. Aku ragu-ragu. Aku yakin saat aku mau memakannya, pria muda itu akan melemparnya ke lantai dan menertawai aku.
"Kau nggak mau makan?" Dia menatapku, kebingungan.
"Boleh kah?"
"Ya, cepatlah."
Ya. Dia mungkin akan menghancurkannya. Aku perlahan-lahan mengulurkan tanganku. Aku melihat sekilas pada dia.
Dia nggak kelihatan seperti dia akan melakukan sesuatu. Aku menyentuh makanannya. Aku menarik bendera kecil itu dan merasa seperti aku akan mencapai sesuatu. Aku merasa seperti, selama aku punya bendera itu, aku nggak memerlukan apapun dari siapapun. Aku merasa seperti aku kembali ke desaku. Aku merasa seperti itu adalah bendera yang sama persis, bendera kami yang telah hilang.
Aku memegang bendera itu erat-erat saat aku memakan makanannya. Makanannya begitu lezat hingga aku mendapati air mata mengalir di pipiku.
Kalau aku menangis, dia pasti akan berteriak padaku. Aku berusaha mengusap air mataku tanpa membiarkan dia tau.
"Apakah enak?"
"Ya!"
Tidak! Aku secara nggak sengaja menjawab dia, dan dia akan melihat bahwa aku senang. Dia pasti akan menghukumku.
"Baguslah."
Cuma itu yang dia katakan. Aku nggak mengerti.
Aku memegang benderanya erat-erat. Aku merasa dipenuhi dengan... sesuatu.
Dibandingkan dengan bendera yang diberikan penguasa kami, bendera itu sangat kecil dan sangat murah, tapi aku merasa seperti bendera itu berisikan segala sesuatu yang telah hilang dariku. Aku merasa seperti bendera itu ingin aku mengingat sesuatu yang penting.
Aku menghadap pria muda itu.
Dia terlihat marah seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Apa itu? Wajah dan suaranya memang begitu menakutkan, tapi apa dia betul-betul orang yang baik?
Aku punya begitu banyak keraguan.
Banyak hal terjadi pada hari itu. Dia memberiku obat, dan mengajakku berjalan-jalan ke segala macam tempat.
Tapi ada satu perbedaan besar.
Mimpi yang menghantui aku berbeda.
"Raphtalia..."
Kedua orangtuaku berdiri diatas bukit.
"Ayah! Ibu!"
Aku berlari kearah mereka dengan segala kekuatanku.
Aku ingin berjumpa dengan mereka. Aku ingin bersama mereka.
Aku tau bahwa aku nggak seharusnya, tidak didepan mereka, tapi aku merasa air mata memenuhi mataku.
"Nggak apa-apa... Nggak apa-apa...."
"Jangan menangis. Jadilah kuat."
"Ugh... Tapi..."
Aku terus menangis, dan kedua orangtuaku hanya memelukku dan mengusap kepalaku.
"Kami selalu memperhatikan kami."
"Ya. Berbahagialah."
"Tapi...."
"Kamu akan baik-baik saja bersama pria itu..."
Lalu aku bangun.
Aku nggak bisa mempercayainya. Pemilik baruku sedang memelukku, dan mengusap kepalaku. Dia bukanlah orang yang jahat. Dia nggak akan mempermainkan aku, nggak akan menyakiti aku.
Dia kasar dan kikuk, tapi dia adalah orang yang baik.
Dia miskin, tapi dia masih memberiku obat, membelikan aku makanan, dan memprioritaskan equipmentku diatas dirinya sendiri.
Lalu, aku akhirnya mengetahui siapa dia sebenarnya.
Matanya gelap dan dipenuhi dengan kebencian serta kesedihan. Dia kasar, pemarah dan vulgar. Dia menakutkan. Tapi dia memahami rasa sakit, dan didalam hatinya dia baik orangnya. Ya, dia adalah orang yang aku dan Rifana rindukan... Sang Pahlawan Perisai.
Sang Pahlawan Perisai membelikan aku segala macam hal.
Aku telah kehilangan segalanya, tapi sekarang aku dikelilingi harta karun.
"Hee, hee...."
Sang Pahlawan memberiku sebuah tas, dan aku tersenyum saat aku memenuhinya dengan harta yang dia berikan padaku. Ada sebuah bola. Ada pisau patah. Ada banyak hal. Tapi yang barang yang paling penting adalah bendera itu.
Ada banyak hal yang nggak bisa kumasukkan kedalam tas. Aku merasa lebih sehat, lebih baik, dan lebih kuat.
"Ini, makanlah."
"Baik!"
Rifana, bisakah kamu mendengarku?
Aku berjuang bersama sang Pahlawan Perisai. Kamu nggak akan pernah mempercayainya.
Aku bermimpi malam itu juga... mimpi yang indah.
Rifana, dia berdiri tepat didepanku. Dia tersenyum. Aku memberitahu dia segala hal yang terjadi. Kami berbicara tentang segala macam hal.
"Rahptalia, tetaplah ceria!"
"Tentu."
"Beruntungnya kamu! Berjuang bersama sang Pahlawan Perisai!"
"Heh, heh... Iri?"
"Ahaha! Sedikit!"
Didalam mimpiku, dia terlihat bahagia dan damai. Dia tersenyum padaku.
"Aku terus memperhatikan kamu."
"Aku tau."
"Ayo kembali ke desa kita, dimana bendera itu berada."
"Ya! Sampai jumpa disana!"
Kuharap ayah dan ibuku melihatku dari manapun mereka berada. Aku ingin mereka melihatku membangun kembali semuanya.
Aku ingin kekuatan, aku ingin menjadi cukup kuat untuk menghadapi orang-orang jahat yang ingin melukai kami.
Dunia ini sangat kejam dan keras. Dunia ini dipenuhi dengan kegelapan dan kejahatan, tapi aku nggak akan menyerah. Aku nggak mau kalah pada siapapun juga.
Aku akan jadi lebih kuat, cukup kuat untuk melindungi orangtuaku, untuk melindungi Rifana. Dan ya, untuk melindungi Tuan Naofumi.
Aku bisa melakukannya. Dan aku bisa melanjutkannya.
***