Unedited
Di bawah panasnya terik sinar matahari, sebuah mobil mewah berjenis SUV, keluaran inggris, range rover velar berwarna hitam keabu-abuan sedang terparkir indah di depan gedung bertingkat dua.
Siapa lagi pemiliknya jika bukan Brandon.
Di samping mobil Brandon, juga sudah terparkir beberapa atau banyak mobil yang tak kalah mewah dari range rover velar miliknya itu.
Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi di JIS (Jakarta internasional school).
Ya, sekolah Brayson adalah salah satu sekolah termahal dan ternama di Jakarta. Bisa di pastikan murid-murid di sekolah ini kebanyakan berasal dari kalangan keluarga orang kaya.
Di JIS selain sekolah dasar, mereka juga memiliki taman kanak-kanak, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Semuanya tergabung dalam satu naungan pendiri yang sama. Hanya tingkat pendidikannya saja yang berbeda.
Oh, dan tentunya gedung sekolah juga di buat terpisah.
Di tempat parkir, dari dalam mobil, Brandon mengetuk-ngetukan jari telunjuknya yang panjang di setir mobil sambil memandangi halaman sekolah Brayson.
Sesekali Brandon melirik jam tangan rolex kesayangannya yang melingkar sempurna di tangan kirinya.
Begitu Brandon melihat anak-anak kecil aka anak SD berhamburan keluar, dengan sigap Brandon turun dari mobilnya, berdiri di samping pintu mobil dengan kedua tangan di masukan ke kantung celana.
Tidak hanya Brandon saja yang keluar dari dalam mobil. Para orang tua murid yang menunggu di dalam mobil mereka sendiri, juga ikut keluar menyambut anak-anak mereka.
Mata hitam bagaikan tinta itu, dengan senyum halus menghiasi wajah tampannya, tidak lepas memperhatikan anak-anak kecil yang sedang berlari kecil maupun berjalan menghampiri orangtua mereka.
Berhubung hari ini Brandon sedang memiliki waktu luang alias tidak ada pekerjaan maupun tidak ada latihan, Brandon sebagai suami dan ayah yang baik, dengan senang hati menawarkan diri untuk menjemput Brayson.
Bukan menawarkan diri juga sih, sebenarnya hal seperti menjemput dan mengantarkan Brayson ke sekolah sudah merupakan tugasnya sebagai seorang ayah. Hanya saja, pekerjaan Brandon tidak memungkinkan Brandon untuk melakukan hal yang sudah biasa dilakukan para orangtua itu.
Brandon membuang nafas berat, memikirkannya membuat Brandon sedikit merasa bersalah pada Brayson.
"Daddy" teriakan Brayson seketika membuat wajah Brandon yang tadinya muram, bersinar.
"Bray" sahut Brandon balik, berjalan dengan cepat menghampiri Brayson.
"Brayson, tungguin aku"
Seorang gadis mungil dengan rambut di kepang dua ke samping, mengikuti Brayson dari belakang seraya berlari kecil.
"Kamu ngapain ikutin aku?" Brayson dengan wajah sedikit tidak suka bertanya.
"Kenapa? Gak boleh?" tantang gadis mungil itu mengacuhkan sorotan mata tidak senang Brayson.
"Jangan ikutin aku"
"Gak mau!"
"Oh" ujar Brandon pelan mengamati Brayson dan gadis mungil itu.
Brandon yang sudah berada di samping Brayson, tersenyum tipis ketika melihat interkasi mereka.
Ia merasa lucu karena sikap Brayson di rumah sangat berbeda dengan sikap yang di tunjukannya saat ini pada gadis mungil itu.
"Ini siapa Bray? Teman kamu?" tanya Brandon akhirnya menyela pembicaraan kedua bocah itu.
"Hallo uncle, nama aku Mia. Aku pacarnya Brayson" ucap Mia bangga memperkenalkan dirinya.
Brayson yang ada di sebelahnya mendengus ketika mendengar Mia memperkenalkan dirinya sebagai pacar Brayson pada Brandon.
"Oh, kamu yang namanya Mia?"
"Iya, uncle"
"Jadi ini pacar kamu Bray?" goda Brandon pada Brayson.
"Ehh, bukan daddy. Aku gak mau jadi pacar Mia"
Mia yang mendengar penolakan Brayson, mendadak menangis.
"Uahhhhhh"
Brandon sontak gelagapan ketika melihat Mia menangis. Ia kelimpungan.
"Mia. Mia jangan nangis Mia" bujuk Brandon duduk berjongkok di depan Mia.
Brayson penyebab utama Mia sampai menangis juga ikut merasa panik begitu melihat gadis mungil itu mengeluarkan air mata.
"Uaahhhh"
"Mia. Mia. Huss. Jangan menangis. Nanti mukanya jelek lo" bujuk Brandon lagi, menghapus air mata Mia.
Tapi sayang, Mia tidak menghiraukan ucapan Brandon. Mia malah semakin kuat menangisnya.
Brayson yang tadinya hanya diam memperhatikan, akhirnya membuka mulut.
"Mia, maafin aku. Aku suka kok sama kamu. Kamu jangan nangis" pinta Brayson merasa bersalah.
Kali ini sepertinya Mia mendengar omongan Brayson.
"Kamu.. Kamu.. Beneran?" ucap Mia tersedu-sedu mencoba menghentikan air matanya.
"Iya" Brayson mengangguk.
"Kamu besar nanti, juga jadi suami Mia?" tanya Mia berharap menatap Brayson. Matanya masih basah akibat tangisan tadi.
"Hmm" gumamnya mengiyakan.
"Beneran?" tanya Mia sekali lagi.
"Iya. Jadi kamu jangan nangis lagi"
"Aku gak akan nangis lagi" balas Mia menghapus sisa air mata di pipinya.
"Gitu dong Mia. Anak pinter, cantik juga baik itu gak boleh nangis" Brandon berdiri menyentuh kepala Mia pelan.
"Iya uncle. Maafin Mia" senyum Mia tersipu malu akibat ulahnya tadi.
"Iya, gak apa-apa. Mia di jemput siapa?" tanya Brandon, sedikit merasa penasaran ingin melihat orang tua Mia.
Bisa di bilang Mia ini anak gadis yang cantik. Masih kecil saja, wajah Mia sudah cantik begini, apalagi besar nanti. Mungkin keturunan dari orangtuanya.
Brandon heran dengan Brayson yang bersikukuh tidak menyukai Mia.
Mia cantik begini dibilang tidak suka. Brandon jadi ingin tahu seperti apa Freya sampai Brayson memilih gadis kecil itu daripada gadis mungil di hadapannya ini.
"Bunda uncle" jawab Mia kemudian celingukkan mencari sosok Bundanya.
"Kalau begitu uncle dan Brayson akan temenin Mia disini sampai Bunda kamu datang"
"Yang bener uncle?"
"Iya"
"Horre" teriak Mia kegirangan.
Tidak berapa lama, seorang wanita cantik- dengan gaya stylish bak model, turun dari mobil porsche hitam yang baru saja di parkir.
Kacamata hitam yang di pakainya di angkat ke atas kepala, wanita itu lalu menebarkan pandangannya mencari sosok seseorang.
Wanita itu menyipitkan matanya ketika mendapati Mia, yang adalah anaknya, sedang berbicara dengan seseorang sambil tersenyum.
Ah, ada apa ini?
Baru kali ini wanita itu melihat Mia tersenyum pada orang lain selain dirinya dan Ayah Mia.
Mia bukanlah sosok anak yang mudah bergaul dan cepat terbuka. Butuh waktu lama sampai Mia bisa membuka diri pada orang lain.
Jadi, alangkah terkejutnya ia begitu menyaksikan momen langkah ini.
Tania, Ibunda Mia, tidak bisa melihat siapa orang yang sedang berbicara dengan anaknya sekarang. Dilihat dari pakaiannya, Tania tahu bahwa umur pria yang sedang berbicara dengan Mia masih tergolong muda.
Melihat bocah laki-laki berdiri di samping Mia, Tania menyimpulkan bahwa pria itu adalah ayah dari bocah itu.
Dengan langkah panjang, Tania berjalan menghampiri mereka.
Mungkin karena keasyikan mengobrol, Brandon tidak menyadari seorang wanita sudah berdiri di belakangnya.
"Mia" panggil Tania.
Wajah mungil Mia langsung berseri-seri begitu melihat kedatangan Tania.
"Bunda" sahut Mia berlari memeluk Tania.
"Maaf, Bunda mendadak ada rapat tadi di kantor. Mia gak lama kan nunggu Bunda?" tanya Tania menatap puterinya sayang.
"Gak lama kok bunda"
"Maafin bunda ya, sayang"
"Iya bunda"
Sementara Tania dan Mia berbicara, Brandon yang mendengarkan dari samping, hanya diam, matanya terbelalak tidak percaya.
"Tania?" ucap Brandon pelan memastikan. Suaranya sedikit tercekat begitu mengatakan nama wanita yang sekarang ini ada di hadapannya.
Tania yang belum menyadari keberadaan Brandon, menoleh begitu namanya disebutkan.
"Brandon" ucap Tania sama terkejutnya dengan Brandon.
Mereka berdua tidak pernah menyangka bahwa pertemuan mereka kembali akan seperti ini.