Chereads / My Baby Triplets / Chapter 3 - 3. Lembaran Baru

Chapter 3 - 3. Lembaran Baru

"Zifa, bangun, Sayang ..." panggil Ica.

Zifa mengerjapkan matanya. "Eh? Sudah sampai ya, Tante?"

"Ih, sudah berapa kali Mama bilang, jangan panggil Mama tante," omel Ica.

"Eh? Maaf Ma, soalnya aku belum terbiasa."

"Iya, tidak papa deh. Yuk kita turun."

Zifa mengangguk lalu turun dari mobil, dia merasakan hawa di sini sangat dingin. Perasaan dulu tempat kelahirannya tidak sedingin ini, malah cenderung panas.

"Di sini dingin sekali, Ma. Perasaan dulu pas aku tinggal di Cianjur tidak sedingin ini," ujar Zifa.

"Oh, dulu kamu kan tinggal di Cianjur kotanya, tapi sekarang juga masih di Cianjur, namun di pedesaannya yang jauh dari kota, di sini juga kan dikelilingi gunung dan kebun teh," jelas Ica.

"Oh, begitu ya, Ma." Zifa menganggukkan kepalanya paham sambil memeluk dirinya yang kedinginan. "Ini jam berapa ya, Ma?" tanyanya.

"Jam 2 pagi, tuh rumah kamu, dan di sebelahnya rumah Mama." tunjuk Ica.

"Kirain, rumahku yang sederhana, yang satu tingkat itu. Soalnya aku beli dari Mama murah sekali."

"Bukan lah, rumah yang itu masih ada yang tempatin. Lagian ... kalau Mama jual mahal, pasti kamu tidak akan beli. Jadi Mama jual murah saja padamu."

"Eh? Bisa seperti itu ya? Terus, yang tinggal di rumah sederhana itu siapa?"

"Ssssstt ... jangan berisik. Kapan-kapan Mama ceritakan, oke?"

"Oh iya, Ma."

"Sudah. Yuk masuk, di luar dingin sekali kalau jam segini," ajak Ica.

Zifa mengangguk lalu mengikuti Ica dari belakang sambil menggeret kopernya.

"Waaah ... nyaman sekali rumahnya," gumam Zifa senang.

"Ya sudah, kamu masuk kamar gih, terus istirahat. Mau di kamar yang mana? Kamar di lantai satu ada 2 dan di lantai 2 ada 4, kamu pilih saja."

"Aku kamar itu deh, yang di lantai satu, biar tidak capek naik turun tangganya."

"Oke kalau begitu, kalau ada apa-apa panggil Mama ya, Mama ada di kamar sebelah."

"Oke, Ma ...."

Zifa menggeret kopernya memasuki kamarnya. "Woaah, nyaman sekali, pas sekali ukurannya, tidak besar maupun kecil."

Tiba-tiba perut nya bergejolak, Zifa berlari menuju kamar mandi.

Huek ... Huek ....

Zifa tidak memuntahkan apa pun, hanya mual-mual saja. Bagi Zifa itu sudah tidak aneh lagi karena semenjak kehamilannya dia sering begini.

"Ugh ... kamu jangan rewel ya, Sayang." Zifa mengusap lembut perutnya yang membuncit.

Zifa mencuci mukanya lalu menggosok gigi. Setelah itu dia mengganti pakaiannya dengan baju tidur dilapisi sweater rajutnya. Zifa merebahkan dirinya di kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.

"Ugh ... hangatnya ...."

Zifa mengusap perutnya lembut penuh kasih sayang.

"Sekarang, mari kita mulai lembaran baru, Sayang ... memulai semuanya dari awal dan Bunda akan berusaha melupakan masa lalu yang terlalu menyakitkan bagi Bunda."

"Bunda akan berusaha kuat, Bunda tidak akan menjadi wanita lemah lagi, demi kamu, Sayang ...."

"Bunda juga mungkin akan buka usaha kecil-kecilan di sini, Bunda tidak bisa bekerja terlalu berat. Lagian, mau kerja apa hanya mengandalkan ijazah SMA?"

Perlahan mata Zifa terasa berat dan akhirnya dia terlelap tidur sambil memeluk perutnya.

🔗🔗🔒🔗🔗

Zifa terbangun saat sinar matahari menelusup matanya, dia bangun dan melihat jam. Dia melotot saat melihat jam, sudah jam 08:00, dia kesiangan. Buru-buru Zifa bangkit dari tidurnya dan berjalan ke kamar mandi. Zifa mencuci mukanya lalu menggosok gigi, dia tidak kuat untuk mandi, dingin sekali rasanya ....

Zifa keluar dari kamar, seketika mencium aroma sedap dari arah dapur, mata Zifa berbinar saat melihat makanan favoritnya di meja makan dekat dapur. Tanpa pikir panjang Zifa duduk di kursi dan memakan makanan yang ada meja makan, dia memakannya dengan lahap.

"Em ... enak sekali, kenapa masakannya mirip dengan masakan ibu, ya?" gumam Zifa dengan mulut penuh.

"Pelan-pelan Zifa, nanti tersedak."

Uhuk, uhuk!

Buru-buru Zifa mengambil minum dan langsung meminumnya, dia merasakan seseorang mengusap-ngusap punggungnya.

Zifa menoleh. "Eh? Mama."

"Kamu ini, makannya pelan-pelan saja, tidak akan ada yang abisin kok."

"Hehehehe, habis, rasanya enak sekali. Mirip sekali dengan masakan mendiang ibu."

Ica hanya tersenyum dan mengusap kepala Zifa sayang. "Mama memang sengaja membuat makanan favorit kamu."

Zifa tersenyum. "Oh, terima kasih ya, Ma."

"Iya, lanjutkan makannya ya. Nanti Mama ajak jalan keliling kampung, mau kan?"

"Mau Ma, ini sudah habis kok," jawab Zifa antusias, Zifa meminum air putihnya lalu bersendawa.

"Maaf, Ma." Zifa meringis tidak enak pada Ica.

Tiba-tiba perutnya bergejolak lagi, buru-buru Zifa berlari ke wastafel dan Ica mengikutinya dari belakang.

Huek ... Huek ... Huek ... Huek ....

Lagi-lagi tidak keluar apa pun, Ica memijat tengkuk Zifa pelan. "Sudah enakan?" tanya Ica, Zifa hanya mengangguk.

"Duduk dulu, Mama buatkan susu ya."

"Iya, Ma."

Zifa duduk di kursi dan menunggu Ica, tak lama Ica kembali dengan gelas berisikan susu di tangannya. "Minum dulu."

Zifa meminum susunya dengan sekali tegak, Ica yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Pelan-pelan, Sayang ...."

"Euuu ...." Zifa bersendawa lagi.

"Maaf, maaf Ma, semenjak hamil aku selalu begini. Tapi sumpah, aku aslinya tidak seperti ini kok."

"Iya, tidak papa, kamu ini seperti pada siapa saja."

'Zifa benar-benar hamil karena anak sialan itu, sifatnya persis dengan dia,' batin Ica.

"Kamu sudah enakan, kan? Kita bisa jalan sekarang?"

"Sudah kok, ya sudah yuk."

"Kamu lebih baik pakai jaket deh, di luar dingin sekali, soalnya tadi habis hujan."

"Oke, Ma."

Zifa ke kamar dan memakai jaketnya lalu menciputkan jaketnya, tak lupa dia memakai celana panjangnya. Zifa keluar kamar mendapati Ica yang sedang memainkan ponselnya di sofa, Ica menyadari kedatangan Zifa lalu menghampirinya.

"Sudah?"

"Sudah, Ma."

"Ya sudah yuk."

Zifa dan Ica keluar dari rumah, saat keluar Zifa di suguhi dengan pemandangan pegunungan dan kebun teh dengan udara yang dingin dan segar, dia berjalan di samping Ica.

"Nanti siang Mama pulang ke Jakarta, kamu tidak papa kan di sini sendirian?"

"Tidak papa, Ma, aku akan berusaha menyesuaikan diri di sini."

"Syukur deh kalau begitu"

"Oh iya, di sini ada rumah sakit atau puskesmas tidak, Ma?" tanya Zifa.

"Ada, tapi lumayan jauh. Harus pakai kendaraan seperti bus dan angkot kalau tidak punya kendaraan pribadi," jelas Ica.

"Oh begitu ...."

"Memangnya kenapa, Sayang?"

"Itu, aku mau periksa kandungan," ujar Zifa sambil mengelus perutnya.

"Hm ... begitu ya, ya sudah, nanti Mama antar deh."

"Eh? Tidak usah Ma, biar aku saja sendiri, Mama kan mau pulang nanti," tolak Zifa tidak enak.

"Tidak papa, Mama juga kan mau lihat keadaan cucu Mama."

"Eh iya deh."

"Ah iya. Tadi Mama sudah ke rumah pak RT, nanti akan ada pak RT ke rumah kamu untuk meminta keterangan tentang identitas dan surat pindah kamu. Kamu tinggal siapkan saja photocopy KTP, kartu keluarga dan surat pindah," ujar Ica.

"Siap Ma."

"Satu lagi. Mama minggu depan akan ke sini lagi sekalian mengurus surat-surat rumah untuk dipindahkan namanya atas nama kamu."

Zifa mengangguk mengerti dan tersenyum senang. Zifa melihat-lihat sekitarnya, ternyata lumayan rame juga, pandangan Zifa berhenti di warung bubur, matanya berbinar.

"Ma, aku mau beli bubur, ayo Ma."

Ica mengernyit heran "Bubur? Tadi kan kamu baru makan."

"Tapi aku lapar lagi, ayo."

Ica hanya mengangguk maklum. "Ayo deh kalau itu maumu."

Mereka berjalan ke warung bubur itu lalu duduk di salah satu bangku di situ.

"Bu Mira, buburnya satu ya," pesan Ica pada wanita paruh baya yang berjualan bubur.

"Eh? Neng Ica? Kapan pulang?"

"Tadi malam Bu, ah iya kenalkan ini Zifa anak saya, dia akan tinggal di sini, dia tinggal di rumah bekas saya dulu."

"Oh begitu ... semoga Nak Zifa betah ya."

"Iya, Bu." Zifa tersenyum pada wanita paruh baya tersebut.

Bu Mira pergi dari situ dan tak lama kembali lagi dengan semangkuk bubur ayam, di simpannya mangkuk itu di hadapan Zifa, Zifa sudah tidak sabar untuk menyantapnya, dengan segera Zifa melahap buburnya, Ica yang melihatnya tersenyum senang.

"Zifa sedang hamil, ya?" tanya Bu Mira.

"Iya Bu, sudah 3 bulan," sahut Zifa.

"Suaminya tidak ikut ke sini?"

Deg....

Zifa mematung, Zifa berpikir keras dan aha! Dia ada ide.

"Suami saya meninggal 1 bulan yang lalu karena kecelakaan, makanya saya memutuskan pindah ke kampung ini," dusta Zifa membuat Ica tercengang tidak menyangka.

"Owalah ... maaf ya, Nak. Ibu tidak tahu."

"Tidak papa, Bu." Zifa melanjutkan makannya tanpa menghiraukan Ica.

"Zifa ..." panggil Ica.

"Kenapa, Ma?"

"Kam–aduh! Aduh, adudududuh ...."

Zifa melotot saat ada wanita paruh baya yang berumur sekitar 60 tahunan menjewer telinga mamanya.

"Bagus ya, pulang bukannya jenguk Mami ke rumah, malah diam saja di rumah sebelah. Untung saja ada Gina yang kasih tahu Mami kalau kamu pulang," omel wanita paruh baya tersebut.

"Aduh ... maafkan Ica, Mi. Rencananya Ica hanya mengantarkan Zifa saja terus Ica langsung balik lagi ke Jakarta. Kalau Mami tahu Ica ke sini, nanti Ica tidak bisa balik lagi ke Jakarta dengan cepat," jelas Ica sambil meringis sakit.

"Dasar anak durhaka ya kamu! Kamu sudah tidak sayang lagi pada Mami? Dan siapa itu Zifa? Siapa?"

"Sumpah, Mi ... aku sayang sekali pada Mami dan aku akan jelaskan semuanya setelah Mami lepaskan telinga aku, aaaw!"

Zifa meringis melihatnya, wanita paruh baya itu melepaskan jeweran telinganya sedangkan Ica mengusap-ngusap telinganya.

"Zifa, kenalkan ini orang tua Mama, namanya Karin, jadi ini oma kamu juga."

Zifa ber oh ria. "Sa-saya Zifa, Oma Karin." Zifa sedikit gugup karena di tatap begitu oleh oma Karin, oma Karin menatapnya dari atas sampai bawah sih ....

"Siapa? Zifa? Ya ampun ... kamu cantik sekali sih. Aduh ... Oma suka sekali. Zifa untuk Mami saja, Mami mau gondol dia ke rumah Mami."

Ica menepuk jidatnya sedangkan Zifa sudah tertawa. "Haduuuh, Mami ... Zifa itu anak orang, bukan anak kucing, main gondol-gondol saja."

"Suka-suka Mami lah, oh iya, terus kamu nemu Zifa di mana?"

"Mami ... Zifa itu orang bukan kucing ..." ucap Ica gemas pada sang mami.

"Ya terserah Mami lah ...."

Ica menghela nafas. "Ya sudah, nanti aku jelaskan tentang Zifa di rumah deh, sekarang kita pulang ya. Zifa, kamu sudah selesai makannya?" tanya Ica pada Zifa yang terkekeh melihat tingkah laku oma Karin.

"Iya, sudah, Ma."

"Ya sudah, kita pulang yuk."

"Iya."

🔗🔗🔒🔗🔗

Tbc ....

Sudah tersedia ebooknya di google play store, harga cuma Rp. 39.000