Chereads / Moonsun: Lost in Joseon / Chapter 26 - 8. Hadiah yang terlupakan

Chapter 26 - 8. Hadiah yang terlupakan

"Nyonya Moon sudah menjadi teman Ayahmu sejak kau masih kecil, Kau sering main ke padepokannya. Dia sering membantu Ayahmu menyediakan gisaeng saat ada acara- acara penting yang perlu penghibur. Setelah Ayahmu dihukum mati bersama Ibumu, Nyonya Moon yang membawamu ke padepokannnya untuk dirawat. Selama lebih dari satu setengah tahun kau tinggal bersama Dia."

"Lalu apa hubungan kita berdua? Maksudku Kau dan Soobin apa hubungannya?"

Batin Yoon. Aku berjanji menikahimu sesegera mungkin, kita berdua adalah calon pengantin.

Rasanya Yoon ingin memberitahu Soobin soal ini namun Ia mengurungkannya. Ia takut jika Soobin akan syok mengetahui hal seperti ini mendadak. Ia tahu pasti semua ini perlu waktu. Tidak mungkin Ia tiba- tiba mengajaknya menikah sedangkan Soobin yang ada di depannay ini Soobin yang berbeda dengan calon istrinya.

"Yoon, bagaimana hubungan kita? Kita bertemu... Maksudku kau dan Soobin asli..."

"Aku temannya Soobin. Aku bisa bertemu dengan Soobin ceritanya cukup panjang."

"Iya, ceritalah. Aku harus tahu semua tentang Soobin pokonya!"

"Kau benar- benar ingin menjalankan hidup seperti Soobin?"

"Setidaknya sampai aku kembali ke abad 21."

"Kami bertemu karena Soobin ketahuan melakukan pencurian."

"Hah mencuri?"

"Nyonya Moon mengetahui kekuatan Soobin sehingga memanfaatkannya untuk merampok para perampok yang merampok rumah para yangban atau merampok rumah yangban yang suka memeras rakyat kecil."

"Kekuatan batu giok ini sebenarnya apa sih?" Soobin nampak sangat geregetan.

"Ada banyak!"

Yoon pun berdiri dan menuju ke pintu dan Ia pun mengambil pedangnya. Ia tiba- tiba mengarahkan pedang tersebut ke Eclaire. Eclaire dengan sigap menepis tangan Yoon dan hampir membekuknya.

Yoon segera melepaskan tangan Soobin.

Soobin merasa takjub dengan kelihaiannya tersebut. "Wah... aku benar- benar bisa beladiri?"

"Itu adalah salah satu keajaiban batu giokmu."

"Oh karena ini?" Soobin melihat kembali batu gioknya.

"Itu baru salah satunya. Kau harus menyimpan batu itu dengan baik dan jangan sampai orang lain tahu mengenai batu giok ini karena tak seharusnya sembarang orang mengetahui keberadaan batu giok ini."

Soobin pun mengangguk. "Arasso..."

Ia pun menggenggam erat batu gioknya di telapak tangannya.

**

Di Paviliun istana Pingung, Putri Mahkota Park Eunbin atau Sejabin Park Eunbin sedang memotong tangkai bunga anggrek yang dipeliharanya. Ia memotong batang kering dari tanaman kesayangannya tersebut.

Para dayang istana memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sejabin.

Sang Ketua Dayang tampak senang dengan melihat kegiatan Sang Sejabin.

"Mama, bunga anggrek itu cantik sekali setelah batang keringnya dipotong oleh anda sehingga batang kering itu tak menganggu lagi pemandangan anggreknya. Anggreknya juga sangat cantik seperti perwujudan diri Anda, apalagi warnanya ungu, sesuai dengan warna favorit anda," puji dayang tersebut.

Tiba- tiba Sejabin menghentikan kegiatannya memotong batang. Ia masih memandangi anggrek itu.

"Noh Sanggung, kau sudah puluhan tahun menjadi dayang istana, tetapi mengapa ya Kau belum bisa belajar memahami sifatku?"

Sejabin berkata dengan nada datar dan aturan nada suara yang menandakan jika dia adalah dari kalangan terpelajar.

"Maaf Pingung Mama... Maaf jika saya salah bicara."

"Lancang sekali kau membandingkanku dengan tanaman."

Noh Sanggung pun hanya menunduk tak berani menatap Sejabin.

"Kau tahu, Aku tidak secantik anggrek ini. Kalau Aku secantik anggrek ini, Jeoha mungkin akan sering datang kemari."

"Animida Mama. Anda jangan pernah berpikir jika Anda tak cantik. Kecantikan Anda jika dibandingkan dengan anggrek ini, jauh Anda lebih cantik. Mama, Seja Jeoha akhir- akhir ini sedang sibuk. Dia pasti akan segera bertandang kemari jika urusannya sudah selesai." Noh Sanggung masih berusaha menenangkan Sejabin.

"Seja Jeoha Napsiyo!"

Tiba- tiba terdengar suara peringatan kedatangan Seja yang diteriakan oleh Kasim pengawal Seja.

Sejabin pun terkejut seketika.

Mendadak para dayang pun menunduk 90 derajat sembari berjalan mundur menyambut kedatangan Seja, sementara Sejabin buru buru berjalan mendekati suaminya dan menunduk memberi salam.

"Jeoha... Ada apa Anda datang kemari?" Sejabin maenundukan kepalanya di depan suaminya.

"Aku perlu bicara empat mata denganmu di ruanganmu."

Akhirnya mereka pun masuk ke ruangan di dalam istana Pingung.

Semua pintu dikunci rapat dan Kasim maupun dayang berjaga di luar istana Pingung.

Seja pun menempati singgasana duduk Pingung sedangkan Pingung duduk di hadapan Seja.

"Jeoha, ada gerangan apa Anda berkunjung kemari?" tanya Pingung lagi.

"Aku harus mengadakan perjalanan panjang ke luar istana selama satu bulan tanpa diketahui oleh orang- orang istana."

Tiba- tiba Pingung gugup. "Jeoha... Bagaimana bisa Anda melakukan perjalanan selama itu tanpa diketahui oleh orang- orang istana? Mustahil rasanya..."

"Animida... tidak ada yang mustahil kalau Kau membantuku Pingung."

Tubuh Sejabin mendadak gemetar. Ia menggenggam ujung lengan jeogeorinya erat.

"Pingung, Kumohon kau mau membantuku. Ini adalah masalah yang sangat penting!"

"Beritahu Saya masalah penting seperti apa yang Anda maksud?"

"Ini mengenai Guru Sastra Saya, Guru Oh. Dia seharusnya kembali dari Kuil Haebak yang letaknya di kaki Gunung Wonjo minggu ini namun Dia belum kembali ke Hanyang. Aku juga sudah menyuruh orang mencari Guru Oh tapi Mereka malah menemukan satu hal yang sangat mencurigakan. Orang- Orang suruhanku menemukan kitab sastra milik Guru Oh di jalanan menuju Kuil HAEBAK. Kitab itu tercecer menjadi lembaran- lembaran kertas."

"Jeoha, bisa saja itu bukan kitab sastra milik Guru Oh."

"Aku telah melihat sendiri tulisannya dan aku bisa memverifikasi jika tulisan tersebut benar tulisan Guru Oh. Mana mungkin Aku tidak kenal tulisan Guruku sendiri."

"Jeoha, Saya bukan lancang menahan Anda melainkan Anda harus memikirkan segala resiko apabila ingin tetap keluar istana dengan rentang waktu selama itu. Saya khawatir jika Ahba Mama atau Eomma Mama menemukan kenyataan tersebut." Sejabin tidak berani menatap suaminya.

"Aku mengerti Pingung, Kau ini adalah adalah orang yang sangat taat aturan dan protokol istana namun Aku disini memintamu membantuku karena status kita sebagai suami- istri. Aku tidak pernah macam- macam di luar sana. Aku tidak pernah main wanita, judi, mabuk- mabukan. Kau tahu kan Aku seperti apa?"

"Jeoha..." Wajah Pingung lama- lama semakin terlihat pucat. "saya akan membantu Anda."

Seja jarang sekali memanggil istrinya dengan sebutan Puin yang berarti Istri. Disini Pingung pun luluh karena sang Suami berusaha meyakinkannya jika Ia memang puya tujuan yang sangat peting ke luar istana.

"Lalu Saya harus bagaimana?"

Seja pun menjelaskan rencananya agar dimengerti oleh Pingung sebuah sandiwara dimana memainkan intrik kebiasaan Seja. Ia ingin mengecoh orang –orang yang nantinya mencari SEJA SELAMA Seja tidak ada.

Pingung memahami rencana Seja.

"Seja, asal Kau tahu... Aku bagaimanapun tetaplah seorang istri bagi Anda yang harus patuh perintah Anda walau sekeras apapun protokol istana, Saya akan melanggarnya hanya karena Anda yang meminta." Sejabin hanya menunduk.

"Aku tahu Pingung pengorbananmu untukku sudah sangat banyak."

Seja pun akhirnya pamit dari Istana Pingung.

Ia keluar dari Istana Pingung.

Semua dayang Sejabin memberi hormat. Sejabin mengantar suaminya pergi hingga depan pintu keluar istana.

Akhirnya Seja berjalan menjauh dari iatana Pingung.

Sat di perjalanan menuju istananya, tiba- tiba Seja teringat sesuatu.

Ia pun mengeluarkan sesuatu dari lengan jubah kebesarannya.

Sebuah norigae indah berwarna merah muda.

Batinnya. Aku lupa memberikan ini kepada Pingung padahal Aku membelikan ini untuknya. Apakah Aku sangat keterlaluan sampai melupakan hadiah yang kubeli untuknya?

**

*Pingung= istana untuk Putri Mahkota/ sebutan untuk Putri Mahkota

*Sejabin= Putri Mahkota

*Sanggung= gelar dayang istana/pelayan istana yang memiliki posisi tertinggi

*Puin= istri