Aime menyeka air matanya, ia bergegas dari meja kerjanya menuju toilet untuk membenahi riasannya. Dia yang memilih kembali ke kantor, berati ia harus bertanggungjawab atas pilihannya. Jangan sampai ia hilang kedua duanya. Ketika jarum jam menunjukkan Pukul 10.55, Aime sudah duduk di ruang rapat divisi. Beberapa menit kemudian barulah semua telah berkumpul di ruang rapat. Aryo memandang ke arah Aime sebelum ia memulai rapat. Aime menyambut dengan senyuman. Aime hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa bersikap profesional. Rapat berjalan rapat sesuai dengan yang diharapkan.
Ketika rapat selesai, Aime kembali ke meja kerjanya. Ia tak berniat untuk keluar makan siang, ia hanya memesan makanan melalui ojek online. Dia masih duduk di meja kerjanya, sementara rekan rekan kerja yang lain sudah meninggalkan kantor sedari tadi. Dering ponsel membangkitkan Aime dari lamunannya. "Ai, gedung gimana nak? Uda fix di gedung pembangunan? Mama mau fix kan dengan WO nya." terdengar suara Mama Aime. Aime tak mampu menjawabnya. Mama yah.... Mama. Dia tak pernah menyetujui hubungannya dengan Dandi. Tapi, demi kebahagiaan putrinya ini ia tetap antusias merencanakan pernikahan yang terbaik untuk putrinya.
"Ma..." Aime berusaha berbicara.
"Iya sayang, kok kayaknya suara kamu beda. Ada apa nak?"tanya sang Mama dengan khawatir.
"Ma, Ai... " Aime menjawab dengan sesenggukan."Ma, dicancel aja semuanya ma. Mas Dandi mutusin Ai Ma" Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Aime.
"Loh, bukannya kalian sering putus nyambung, ribut baekan lagi?" tanya Mamanya tak percaya. Seolah tak mungkin Aime yang menyatakan untuk membatalkan semua perencanaan pernikahan mereka. Karena walau dalam keadaan terburuk pun, Aime tak pernah ingin membatalkan pernikahannya. Ia akan melakukan apapun, agar Dandi memaafkannya. Walau dia tahu kesalahan bukan pada dirinya.
"Kali ini nggak Ma." Aime hanya menjawab dengan singkat.
"Oh...pulang kerja nanti kerumah ya nak. Mama rasa kamu dalam keadaan tidak baik baik saja sayang." Sang Mama khawatir dengan keadaan anaknya. Mereka memang tidak tinggal serumah. Aime memilih tinggal dengan mandiri semenjak ia bekerja.
"Aku baik baik aja kok Ma, kalo nanti gak lembur Ai kerumah Mama. Jangan khawatir Ma, Ai udah gede kok." masih dengan tangis yang belum selesai.
"Yakin Ai?"
" Yakin Ma. Ai baik baik aja.. Ai, mau makan nih Ma. Sampai ketemu nanti ya Mama sayang." Aime berusaha mengakhiri pembicaraan.
" Ok, sayang." Dalam hati Sang Mama bersyukur akhirnya anak gadisnya mulai terbuka matanya.
"Mbak Aimeeee." terdengar suara seseorang menyapanya. Aime melihat kearah sumber suara. Oh, Nayla." Aime bergumam dalam hati.
"Hai, cantik." sapa Aime kepada Nayla dengan menghampiri gadis itu. Sambil mereka cipika cipiki ( cium pipi kanan dan kiri) .
"Tumben, ke kantor?" Aime bertanya.
"Hehehe.. mau tunjukkin ini ke Mas Aryo.." ungkap Nayla berbinar-binar. Sambil menunjukkan desain undangan pernikahan dan hasil photo prewedding mereka.
"Ih..keren banget." ungkap Aime menahan pilu. Teringat photo praweddingnya yang juga harusnya sudah selesai.
" Yang mbk dan Mas Dandi juga keren kok. Nay uda liat di galeri Bang Abon." Aime terperanjat kaget. Bahkan dia belum melihat hasil photo itu.
Rencana pernikahan mereka memang tak berjauhan jaraknya. Hanya berbeda seminggu. Dalam hati Aime, sudah sejauh ini.. haruskah ia mundur? Haruskah ia mengemis cinta Dandi kembali seperti kemaren-kemaren. TIDAK! suara hati Aime berbisik.
"Asyik betul ngobrolnya." Aryo datang dari arah belakang mereka. Dengan merangkul kedua gadis itu berbarengan. Aime segera menampik lengan Aryo.
"Mas, liat deh keren kan .... aku nggak sabar mau nunjukin ini tadi..." ungkap Nayla manja.
"Pasti kerenlah, sapa dulu modelnya..." sambil memencet hidung Nayla dengan manja. Aime merasa risih berada diantara mereka.
" Nay, Mbk lanjut makan ya... Uda laper banget soalnya." pamit Aime dari kedua pasangan itu.
" Iya, Mbk. Nay jadi ganggu ya.. Aime hanya membalas dengan senyuman dan kembali ke meja kerjanya.