Eldo duduk dengan tenang di meja khusus miliknya. Seperti biasa J Club tidak pernah sepi pengunjung. Semakin malam, maka akan semakin penuh pula tempat itu. Eldo mengamati keadaan, semuanya aman. Dia tidak pernah membiarkan terjadi masalah di J Club. Tamu yang berpotensi membuat onar, pasti akan diawasi secara ketat. Jika terlihat gelagat yang tidak baik, maka sebelum orang itu sempat menimbulkan kekacauan, para penjaga di sini pasti sudah menanganinya dengan baik.
Pandangan Eldo beralih ke arah panggung. Diamatinya gadis yang tengah bernyanyi di atas sana. Eldo masih tidak mengerti, apa yang membuat para tamunya begitu menyukai penampilan gadis itu. Wajahnya memang manis, tapi penampilannya sangat biasa. Sama sekali tidak cocok dengan gambaran wanita penghibur profesional. Wajah yang dirias seadanya, blouse dan jeans, serta sneakers. Eldo tersenyum sinis. Gadis itu lebih cocok menjadi penyanyi di acara pentas seni sekolahan.
Namun yang menarik, setiap kali gadis itu turun dari panggung, pasti ada saja lelaki yang mendekatinya.
Zka baru saja meninggalkan panggung. Ia memiliki waktu untuk beristirahat selama 30 menit. Zka memilih tempat di meja bar, berdekatan dengan Rick. Satu-satunya orang yang ia percaya di J Club. Rick, tetangganya, bartender junior di tempat ini. Rick pula yang menawarkannya pekerjaan di sini dan berjanji akan menjaga Zka selama berada di J Club.
"Mau minum?" tawar Rick ketika melihat Zka.
"Hmm."
"Ginger and honey?"
Zka mengangguk. Rick selalu menyediakan minuman khusus untuknya. Bebas alkohol, bebas soda. Meski hanya bernyanyi di bar, tapi Zka harus menjaga kualitas suaranya. "Thanks, Rick."
"Hai, Cantik!"
Zka berjengit ketika pinggangnya dirangkul oleh seorang pria asing. Refleks ia menjauh dan menghindar dari pria itu.
"Hey, kenapa menjauh?" Pria itu menarik lengan Zka agar posisi mereka kembali berdekatan. "Temani aku, kita minum bersama."
"Maaf. Aku di sini untuk bernyanyi. Cari saja wanita lain untuk menemanimu." Zka menepis tangan pria itu dengan berani.
"Jangan menolakku." Alih-alih membiarkan Zka menjauh, pria itu malah kembali meraih pinggang gadis itu.
"Aku tidak dibayar untuk menemani tamu di sini." Zka mendesis kesal.
"Kalau begitu aku yang akan membayarmu." Pria itu bertindak semakin berani. Ia meremas bokong Zka dan mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir gadis itu.
Zka menampar pria itu dan mendorong dadanya dengan kencang, ditatapnya pria itu dengan marah. "Jangan kurang ajar padaku!"
"Brengsek! Berani-beraninya kau menamparku, Jalang!" Pria itu menarik tangan Zka, memelintirnya dan membuat tubuh gadis itu berputar. Kemudian dengan kasar menjambak rambut Zka hingga membuat gadis itu memekik karena perih yang dirasakan di kulit kepalanya.
"Hei, menjauhlah darinya!" Rick keluar dari area bar dengan panik dan berusaha melepaskan Zka dari pria itu.
"Apa urusanmu bocah?!" Pria itu menghardik Rick.
"Dia temanku!" balas Rick berani.
"Jangan coba-coba membelanya atau aku akan membuatmu menyesal."
Para tamu yang lain mulai berkerumun menyaksikan keributan kecil di depan meja bar. "Ada apa ini?" tanya seorang pria lain.
Seketika Zka merasakan cengkeraman di tangan dan tarikan di rambutnya mengendur. Ia segera melepaskan diri dan mencoba melihat siapa yang datang. Mata Zka melebar, ia ingat itu adalah pria misterius yang pernah menolongnya satu bulan lalu.
"Aku hanya minta ditemani oleh gadis ini, tapi dia menolak." Pria yang telah bertindak kurang ajar pada Zka terlihat gentar menghadapi sang Pria Misterius.
"Bukan begitu caranya memperlakukan seorang wanita," Pria Misterius itu berdecak tidak suka. "Kau harus belajar menghormati wanita."
"..." Pria kurang ajar itu mundur perlahan. Ia gentar melihat kilat kemarahan di mata sang Pria Misterius.
"Kembalilah ke tempatmu dan jangan buat kekacauan lagi, atau lebih baik kau tinggalkan tempat ini." Si Pria Misterius berkata tenang. Kemudian ia berjalan mendekat ke arah Zka. "Dan kau, ikut aku."
Zka tercengang. Dia tidak tahu siapa sebenarnya pria ini. Kenapa orang-orang sedemikian takut padanya? Zka merasakan tangan Pria Misterius itu menyentuh pundaknya, meremasnya lembut kemudian membimbingnya meninggalkan kekacauan tadi.
Zka terus mengikuti Pria Misterius itu, naik ke lantai tiga, menuju area pribadi pemilik tempat ini. Sampai di sebuah pintu kayu besar, Pria Misterius itu mendorongnya dan membimbing Zka masuk.
Ia kira pria itu akan membawanya menemui pemilik J Club untuk melaporkan kekacauan yang dibuatnya di bawah. Namun ternyata pria itu malah berjalan mendekati meja kerja besar di sudut jendela, duduk dengan santai dan menyalakan rokoknya.
"Apa kau pemilik tempat ini?" tanya Zka hati-hati.
"Bagaimana menurutmu?" balas pria itu santai.
"Sepertinya begitu," ujar Zka hampir tidak terdengar.
"Duduklah!" Pria itu menunjuk kursi di hadapannya.
Zka mendekat meski ragu. Ia duduk di kursi, berhadapan langsung dengan pria itu.
"Nona, kenapa kau memilih bekerja di sini?" tanya pria itu tanpa memandang ke arah Zka
"Karena aku membutuhkan uang. Aku sudah pernah mengatakannya padamu."
"Nona, dalam satu bulan ini sudah dua kali aku menemukanmu dalam masalah. Aku terpaksa harus menyelamatkanmu dari gangguan para laki-laki yang mencoba menggodamu. Tidakkah kau merasa tempat semacam ini tidak cocok untuk gadis sepertimu?"
"Jika bisa memilih, aku juga tidak ingin bekerja di sini."
Kini pria itu menoleh ke arah Zka. "Kalau begitu kenapa masih kau teruskan?"
"Karena aku sangat membutuhkan uang."
"Kalau kau memang ingin terus bekerja di sini, cobalah buat dirimu jauh dari masalah. Aku tidak suka tempat ini jadi bermasalah karenamu."
"Aku hanya ingin seperti yang lain, bekerja dengan tenang."
Pria itu tersenyum sinis. "Kau itu lugu atau bodoh? Wanita-wanita yang lain bisa bekerja dengan tenang di tempat ini karena mereka tidak sepertimu. Mereka tidak pernah menolak diperlakukan seperti apa pun oleh pria-pria yang datang."
"..." Zka tertunduk dalam. Ia menyadari jika perkataan pria ini memang benar adanya.
"Kau boleh pulang sekarang," ujarnya datar.
"Tapi jam kerjaku belum selesai." Zka menebak-nebak dalam hatinya. Apakah maksudnya ia dipecat?
"Pulanglah. Pulang dan pikirkan perkataanku baik-baik. Kalau kau tetap ingin bekerja di sini, jangan lagi ada masalah."
"Aku mengerti."
Zka berdiri, membalikkan badannya dan berjalan menjauh.
Sebelum Zka mencapai pintu, ia mendengar pria itu kembali berbicara. "Jika kau membutuhkan bantuan, kau bisa datang padaku."
Zka terdiam beberapa saat. Mencoba mencerna maksud perkataan pria itu.
***
Setelah kelasnya selesai, seperti biasa Zka akan bergegas menuju toko roti yang dikelolanya bersama ibunya. Mereka tidak memiliki cukup dana untuk mempekerjakan banyak pegawai. Hanya satu pegawai yang membantu mereka di toko roti, itu pun nasibnya tidak jelas mengingat nasib mereka sendiri.
Zka terkejut ketika melihat sebuah truk besar terparkir di depan toko rotinya, beberapa lelaki terlihat tengah mengangkuti barang-barang dari dalam toko dan memuatnya ke dalam truk. Zka mempercepat langkahnya dan ia menemukan Yvone yang tengah berdiri mematung tidak jauh dari truk.
Zka memeluk Yvone erat-erat. "Mom, ada apa?"
"Tuan Smith meminta kita mengosongkan tempat ini segera." Yvone menatap Zka dan berusaha tersenyum.
"Tapi kenapa? Bukankah kita masih memiliki waktu dua minggu?"
"Bagiku sudah tidak masalah, Sayang. Hari ini atau dua minggu lagi, keadaannya tetap sama. Kita tidak mungkin memiliki uang sebanyak yang Tuan Smith tetapkan untuk melanjutkan sewa. Lagipula, Tuan Smith berniat menjual tempat ini. Ia akan merenovasi tempat ini sebelum menjualnya."
"Lalu bagaimana dengan kita, Mom?" Zka ingin menangis ketika mengungkapkan pertanyaan ini. Zka ingat ia juga pernah mengutarakan kalimat semacam ini hampir 20 tahun yang lalu, ketika ayah kandungnya pergi meninggalkan mereka.
"Tenanglah. Kita akan pikirkan bersama." Yvone mencoba tegar meski hatinya sendiri gentar. "Semua akan baik-baik saja."
Tidak. Zka tahu semuanya tidak akan baik-baik saja. Entah bagaimana, tapi Zka tahu.
***
--- to be continue ---