"Hari ini kita di atas tanah, mungkin esok tanah di atas kita"
***
Keranda tetap jalan, penggotongnya mulai melangkah meninggalkan teras rumah. Suara gumam dari doa mereka menggema menembus kesunyian alam yang mendukung.
"Yuuto...!" teriak ibunya sambil meraung-raung. Yuuto kebingungan, antara mau meredakan emosi tangis ibunya dengan mau mencegah jalannya keranda pengusung jenazah itu.
"Yuuto... Jangan tinggalkan ibu, Naaak...!"
Orang-orang menggumam sambil melangkah mengiringi keranda itu. "Lailaha ilallah Muhammadarraasulallah.... "
"Yuuto... Ibu ikut kamu, Naaak...!"
"Lailaha ilallah Muhammadarraasulallah.... "
Suara ini makin lama makin menjauh, tinggal raung tangis ibu Yuuto dan Tante Mayumi.
"Jangan bawa mayat ku…! Jangan kuburkan dulu... " teriak Yuuto.
Yuuto melesat terbang dan menghadang usungan keranda jenazah. Ia berusaha menahan dengan kedua tangan, tapi tidak berhasil. Ia berteriak-teriak, berbicara kepada para penggotong keranda, tapi tidak satu pun ada yang menaggapinya. Keranda jenazah tetap di bawa ke tanah kuburan untuk di semayamkan. Langit mendung bagai memayungi perjalanan ke alam kubur itu.
Usaha untuk menghentikan langkah mereka gagal total, hingga kini mereka pun tiba tanah perkuburan. Keranda di letakkan di dekat liang kubur yang sudah disiapkan. Yuuto menjadi takut dan semakin panik. Mendung di angkasa makin mengganung tebal. Siang berubah menjadi senja hari. Gelap, tapi bukan pekat. Desir angin bertambah kencang, sehingga rambut Irene meriap dan kerudung hitamnya menyibak.
"Hati-hati...! Salah satu turun ke bawah dulu." ujar mereka yang sibuk menurunkan jenazah Yuuto ke dalam liang kubur.
"Jangan...! Ohh, ku mohon jangan kuburkan jenazah ku! Aku akan hidup lagi!" Yuuto bicara sambil menceracau tak karuan pada siapa saja. Ia menahan tangan orang yang ada di dalam liang kubur, yang hendak menerima jenazah dari atas, tapi tangan orang itu tetap saja terulur dan menerima jenazah tersebut. Yuuto kebingungan. Kelabakan dalam cekaman rasa takut dan sedih yang luar biasa. Tangus Irene, tangis Tante Mayumi, tangis yang lainnya tidak di hiraukan lagi oleh Yuuto. Ia sibuk mencoba berbagai cara untuk menghentikan pemakaman tersebut.
"Yuki...! Di mana kau...! Lihat, ragaku sudah hampir di kubur...! Mana janji mu Yuki...!" teriak Yuuto mondar-mandir di atas kepala para pelayat.
Mayat selesai di letakkan di dasar liang. Tali-tali pengikat kainnya di lepaskan. Papan-papan di susun di atas mayat itu.
Dalam keheningan yang mencekam Yuuto, terdengarlah suara adzan dadi seorang pembaca doa. Suara adzan itu sayup-sayup, hanya orang sekeliling liang kubur yang mendengarnya.
Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi liang kubur akan di timbun dengan tanah. Yuuto menangis ketakutan. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia mengharapkan kedatangan Yuki pada saat itu, lalu menghidupkannya lagi sebelum tanah menimbun raganya. Tetapi, Yuki belum menampakkan diri. Yuuto tak punya harapan lagi, sebab kali ini pembaca doa telah selesai. Beberapa orang memegang cangkul dan tanah-tanah mulai berhamburan menimbun raga Yuuto di alam kubur.
"Jangan...! Jangan lakukan...! Jangan kuburkan ragaku...! Oh, jangan! Kumohon hentikan penguburan ini...!" teriak Yuuto.
Tetap saja mereka menimbuni liang kubur dengan tanah.
"Yuuto...! Yuuto aku ikut, Yuut...!" ratap Irene dalam pelukan Kristi. Sangat mengharukan.
Makin lama semakin padat, penuh, sampai akhirnya menggunduk. Kayu patok kuburan Yuuto ditancapkan. Bunga di taburkan. Salah satu yang menabur bunga adalah Irene yang terisak-isak dalam tangis kedukaannya.
Roh Yuuto terkulai lemas, duduk di sebuah batu nisan milik makam orang lain. Sepuluh langkah dari makamnya sendiri. Ia menangis, tak tahan menghadapi harapannya yang gagal. Bahkan ketika orang melangkah meninggalkan kuburannya, roh Yuuto hanya bisa memandangi kepergian mereka dengan tangis tanpa suara.
Mereka makin lama makin menjauh. Mereka tak ada yang menengok ke belakang untuk melihat kesendirian Yuuto di situ. Bahkan penggali kubur pun mulai melangkah pergi sambil membawa cacangkulnya. Alam menjadi sunyi. Langit kian gelap, mendung bertambah tebal. Sebentar lagi akan turun hujan deras, dan Yuuto akan sendirian di dalam kuburnya.
Roh Yuuto melangkah pelan mendekati kuburannya. Duka menyekap membuat ia tak mampu mengucapkam kata apa pun. Ia memandangi kayu patok kuburannya yang bertulisan namanya. Makin sedih hatinya, makin hilang harapannya.
Ia jongkok di samping kuburannya, seakan ingin mengaduk-aduk tanah yang menggunduk dan tertabur bunga serta karangan bunga itu. Tapi ia sadar, bahwa hal itu tak bisa ia lakukan, karena ia tak bisa menyentuh apa pun. Ia hanya bisa berjongkok di situ, merenung dalam kesedihannya.
"Yuuto...," tegur suara bernada tegas.
Yuuto memandang ke samping kanannya, mendongak, oh... Yuki telah berdiri di situ. Sementara, alam menjadi gelap, seluruh permukaan langit menjadi hitam.
"Sudah ku temukan cincin kehidupan untuk mu, Yuuto." ucap Yuki.
"Percuma…!" jawab Yuuto datar. "Jasad ku ada di dalam kuburan ini! Kau terlambat Yuki!"
"Tidak ada kata terlambat dalam dunia roh! Kau masih bisa bangkit dari kematian mu!" Ucap Yuki tegas.
Yuuto tercengang. Mulai berdiri. Memandang ragu pada Yuki. Yuuto tidak percaya bahwa gadis ini bisa membangkitkannya lagi dari kematian.
Alam mengalami perubahan yang ajaib. Fantastis sekali. Langit hitam yang di tutup mendung tebal itu membentuk sebuah lingkaran besar. Pada bagian tepi mega hitam itu memancarkan cahaya pijar, merah bara. Tetapi, suasana di kuburan itu tetap gelap, seperti pukul 6.30 menjelang malam.
Seorang perempuan yang mengenakan kimono sedang berdiri di depan Yuuto. Tak ada cahaya biru bening membingkai di tubuh mereka. Perempuan itu memegangi sekerat cincin bagai terbuat dari logam perak putih. Mengkilat, sehingga lebih mirip logam stainless. Cincin itu bermata ungu gandaria. Bening dan indah di padu dengan bingkainya yang putih mengkilat itu. Besar batuan berwarna ungu itu, seukuran kacang tanah yang di belah menjadi dua bagian. Bentuknya tidak bulat, melainkan oval.
"Apakah aku akan mampu mendobrak tanah yang menimbun jasad ku di dalam kubur ini?" tanya Yuuto dengan berharap-harap cemas.
"Lihat saja nanti!" mata Yuki tak berkedip memandang Yuuto.
Kemudian, ia meraih tangan kiti Yuuto. Cincin bermata ungu itu di masukkan ke dalam jari manis tangan kiri Yuuto.
"Hagggh...?!" Yuuto tersentak seketika. Matanya mendelik, kepalanya mendongak ke belakang. Ia menjadi kejang. Mulutnya ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Pandangan matanya mulai terasa buram.
Yuki melangkah mundur dua kali. Tubuh Yuuto yang kejang itu tumbang. Jatuh di tanah dan segera berguling-guling seperti ayam yang di sembeli. Pandangan matanya semakin kabur, bahkan kali ini sudah mulai gelap. Yuuto bergerak di luar batas keinginannya.
Ketika matanya terasa tak bisa di pakai untuk melihat apa-apa lagi, gelap, roh Yuuto semakin berguling-guling cepat. Cepat sekali. Sampai-sampai ia tak tahu dan tak merasa apa yang telah terjadi pada dirinya.
***
Bersambung…