Mau tak mau Irene mengurangi kecepatan mobilnya dan mencari tempat untuk memutar arah. Tetapi, dari belakang tiba-tiba terdengar suara.
"Jalan terus. Jangan berhenti." Suara itu datar, terasa dingin dan membuat sekujur tubuh Irene merinding lagi.
"Ap... apa maksud mu? Mengapa... mengapa kamu mengikuti ku? Mmmmm.... mau apa?" tanya Irene ketakutan.
"Menyiksa mu sampai mati." jawab Yuki tetap dengan nada datar. Irene bertambah gemetar, sehingga kakinya yang menekan gas jadi tersentak-sentak tak teratur.
Tiba-tiba, Irene memekik karena merasakan ada benda tajam yang menggores tengkuk kepalanya. Sreeetttt...!
"Aaaaa...!" teriak Irene. Ia segera memgusap tengkuk kepalanya, dan ternyata sudah berdarah. Makin tersiksa jiwa Irene makin gugup ia mengemudikan mobil. Jalan mobil semakin tidak stabil.
"Ja... jangan main-main dengan ku. Ak.... aku pernah ikut bela diri kampus ku!" Irene bermaksud menggertak Yuki. Tetapi, yang ia peroleh hanya kecutan nyeri di baguan belakang telinganya.
Sreettt...!
"Aaahhhgg.... " Irene menjerit, pisau Yuki menggores lagi kulitnya hingga mengucurkan darah. Memang goresannya tak terlalu dalam. Tidak membahayakan. Tetapi, sangat mengejutkan dan menimbulkan debaran yang makin menggertakan jiwa.
"Berhenti di sini!" perintah Yuki.
"Tap... tapi ini bukan rumah ku."
"Berhenti di sini!" ulang perintah itu dengan suara makin jelas.
"Mau apa kamu berhenti di sini? Mau turun di sekitar sini?"
Sreetttt...!
"Aaaaoww...!" pekik Irene semakin nyeri. Ia merasa pundaknya terluka. Luka goresan yang dilakukan dengan ujung pisau itu.
"Berhenti di sini, kata ku!" bentak Yuki, membuat Irene buru-buru menghentikan mobilnya ke tepi jalan tol.
Yuki pun memulai penyiksaannya terhadap Irene di dalam mobil itu. Di malam yang panjang itu, Yuki menikmati jeritan Irene.
***
Hari itu, pengambikan syuting untuk spot iklan dilakukan. Yuuto sebagai kameramennya, tapi ia di dampingi asisten kamera yang sebenarnya lebih berpengalaman ketimbang Yuuto.
Pekerjaan itu dilakukan sampai pukul 3.30 sore. Tanpa setahu Yuki, Yuuto segera menghubungi Irene melalui telepon yang ada di studio.
Tapi apa yang di dengar Yuuto dari papanya Irene adalah hal yang sangat mengejutkan.
"Irene di bunuh...! Ku mohon kamu mau datang kemari, Yu...!"
Gemetar tubuh Yuuto, pucat wajahnya mendengar berita itu. Tanpa pamit kepada Yuki yang saat itu sedang beramah-tamah dengan para pegagumnya, termasuk Om Lucky, kepala marketing produk shampoo, assisten kemeraman dan sebagainya, Yuuto langsung nyelonong ke rumah Irene.
Sore itu seharusnya Irene mempersiapkan diri untuk pergi ke pesta ulang tahun Nana. Tetapi kenyataannya Irene terbaring dalam keadaan tak bernyawa lagi. Tubuhnya rusak sama sekali. Tak ada tubuh yang masih utuh, semua tersayat-sayat mengerikan. Lehernya sendiri mempunyai banyak goresan yang menurut dugaan dilakukan dengan pisau tajam. Ada lubang pada leher itu yang hampir tembus dari depan ke belakang.
Kedua biji mata Irene tak berbentuk lagi. Satu hilang, satunya lagi nyaris copot dari dalam rongga matanya. Dada sampai ke perut terkuak menjijikan. Bahkan menurut keterangan dari pihak kepolisian yang menemukan mayat Irene tak jauh dari jalan tol, keadaan mayat itu lebih mengerikan lagi sebelum di bawa ke rumah sakit. Bahkan kewanitaannya tersumpal sepotong tonggak kayu yang runcing, dengan panjang antara 20 cm, besarnya seukuran jali telunjuk, masuk menembus dari telinga kiri ke telinga kanan. Daun telinga yang kiri pun terpotong sebagian.
Dari hasil otopsi jenazah di peroleh kesimpulan, bahwa korban disiksa lebih dulu secara sadis, setelah itu baru di habisi nyawanya dengan tusukan terakhir pada bagian leher. Korban di temukan 100 meter dari jalan tol, di sebidang tanah kebun pisang yang jauh dari perumahan penduduk. Di duga pelakunya seorang wanita, karena di tanah sekitar itu di temukan empat jejak sepatu, dua jejak dari sepasang sepatu Irene, dan dua lagi jejak sepasang sepatu pembunuhnya.
Yuuto tertegun dalam keadaan tak bisa bicara, napasnya sesak dan jantungnya lemah. Ia teringat pembicaraan kemarin malam dengan Irene di teras. Gaya pembunuhan yang keji, bahkan amat keji itu pun mengingatkan Yuuto pada seraut wajah cantik bermata sayu, Yuki. Hal itu mengingat, Irene pernah mendapat ancaman dari Yuki, dan Yuuto sendiri pernah mendengar ancaman itu, ketika Yuki mengingatkan agar Yuuto menjauhi Irene. Yuuto pun masih ingat kata-kata Yuki, bahwa penyiksaan yang amat keji adalah suatu kegemaran bagi Yuki. Yuuto dapat memastikan, almarhumah Irene tentu menjerit-jerit dalam keadaan di sayat-sayat dan suara jeritan itu sengaja di nikmati oleh Yuki.
Tetapi, adakah orang lain yang percaya jika Yuuto mengatakan, bahwa Yuki lah pembunuh Irene? Adakah yang menduga bahwa perempuan seanggun Yuki dan dikagumi banyak orang itu adalah pembunuh paling sadis? Menurut Yuuto, tak ada orang yang percaya. Hanya dirinya sendiri yang punya kepercayaan akan hal itu, dan menyimpannya dalam hati. Hanya dirinya yang tahu siapa Yuki sebenarnya.
"Yu, ke mana kamu tadi? Selesai syuting kenapa menghilang begitu saja?" tegur Yuki ketika Yuuto sudah sampai di rumahnya kembali.
Yuuto menampakkan wajah dukanya. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan mengambil segelas air putih dan meminumnya habis. Sedangkan, Yuki mengikuti Yuuto terus dengan pandangan mata yang mendirikan bulu kuduk Yuuto.
"Ke mana kamu, Yu?" ulangnya dengan nada datar. Mulai aneh.
"Ke rumah Irene." jawab Yuuto karena segera merasa ngeri sendiri mendengar suara Yuki seaneh itu.
Yuki menghela napas, seperti mengalami kelegaan. Ia kemudian menuju kamar, dan kini ganti Yuuto yang mengikutinya sambil berkata,
"Irene terbunuh."
"Itu lebih bagus." komentar Yuki.
Di depan cermin hias, di kamar itu, Yuki berdiri menghadap cermin, melepas anting. Yuuto berdiri di sampingnya, memandang lewat cermin itu.
"Kamu yang melakukannya, Yuki?" gumam Yuuto dengan penuh kecemasan.
"Melakukan apa?" Yuki berlagak pilon, kendati ia tetap tenang.
"Kamu yang membunuh Irene, bukan?" gumam Yuuto lagi.
Yuki tersenyum dingin. "Irrne bukan kamu, Yuuto. Tak perlu di pikirkan lagi."
Ia berpaling menatap Yuuto dengan pesona wajah manja. "Kamu tidak ingin seperti dia, bukan?"
Tangannya mulai mengusap-ngusap dada Yuuto. Jemarinya merayap ke leher, ke dagu, dan meraba bibir Yuuto. Sambil bersikap demikian Yuki berbisik,
"Dia tak boleh mendekati mu selamanya. Siapa pun juga yang mencoba mendekap hati mu, ia akan mengalami nasib seperti Irene."
Bergidik bulu kuduk Yuuto mendengar ucapan itu. Ia jadi berdebar-debar dan takut untuk berdebat atau memprotes tindakan Yuki. Ia membayangkan, betapa mudahnya jika Yuki mau memperlakukan dirinya seperti Irene. Bisa saja kemarahan Yuki meluap padanya jika ia bersikap membela gadis lain. Oh, tidak! Yuuto tidak ingin mengalami kematian sekeji itu. Ia lebih baik diam dan melupakan nasib Irene ketimbang harus menjadi korban kegemaran sadis Yuki.
***
Bersamung…