Di malam yang gelap terlihat seorang pria sedang bersiul sambil mengangkat sebuah plastik sampah berwarna hitam yang akan dia buang ke tempat pembuangan. Baru saja ia akan meletakkan plastik sampah itu, dia melihat sebuah peti kayu yang tidak ia ketahui apa isinya. Ia penasaran dengan isinya, namun ketika ia melihat sebuah tangan manusia terlihat keluar dari dalam peti itu dan mengeluarkan darah segar yang sangat banyak pria itu berteriak histeris dan jatuh terduduk di atas aspal saking terkejutnya. Para pejalan kaki yang lewat dan mendengar suara teriakan pria itu tentu langsung berdatangan menghampirinya, ketika mereka melihat kotak kayu tersebut semua orang terkejut dan salah satu dari mereka pun langsung menelpon polisi.
***
Aku menatap gedung apartemen bernama apartemen Moon light di hadapanku dengan tatapan datar, aku tahu kakak tidak menyewakan gedung ini tapi melihatnya secara langsung tetap saja mengejutkan. Aku sungguh ingin tahu kenapa kakak tidak mau menyewakan gedung ini. Gedung ini besarnya bukan main. Tapi bukan meninggi namun melebar kesamping. Kenapa? Karena dari peta yang di berikan mas Aksa padaku satu unit apartemen di sini memiliki dua lantai. Dua lantai!! Sayangnya dia tidak memberikan peta yang lebih jelas hanya tata letak dimana semua unit yang di tempati, siapa yang menempatinya? Aku tidak tahu. Mas Aksa cuma bilang kalau aku akan tahu sendiri nanti jadi dia tidak perlu memberitahukannya padaku.
Selain itu seperti yang aku tahu tempat ini memang sulit di temukan. Kalau aku tidak teliti aku tidak mungkin bisa menemukan gerbang depan dan mungkin akan berakhir berputar-putar seharian. Gerbang masuknya tersamar oleh pagar hidup, kalau aku hanya sekilas melihat aku tidak mungkin tahu gerbangnya ada di sana. Terlebih tidak ada pos satpam yang terlihat untuk menandai pagar bagian depan melainkan sebuah rumah, rumah berukuran sedang yang mungkin cocok ditinggali satu orang sendirian. Ukurannya bahkan sama dengan rumah yang kutempati sebelumnya. Aku menatap sekelilingku dan menemukan kalau halaman apartemen ini juga luas. Malah sangat luas hingga mungkin cukup untuk tiga lapangan olahraga. Yup, tempat ini bahkan punya lapangan olah raga sendiri aku baru tahu. Kakak sepertinya benar-benar menginvestasikan tempat ini dan menjadikannya sebagai tempat yang nyaman untuk orang-orang kepercayaannya.
"Nona anda siapa? bagaimana caranya anda bisa masuk?"
Merasa yang di maksud oleh suara laki-laki itu adalah aku akupun menengok dan melihat seorang laki-laki tampak berdiri tidak jauh dariku. Dia cukup tinggi, mungkin sekitar seratus tujuh puluh sentimeter lebih, yang pertama kali menarik perhatianku adalah rambutnya yang putih sama seperti warna rambut Reyna dan gaya rambutnya yang tidak biasa. Poni yang menutupi kedua matanya membuatku tidak bisa terlalu jelas melihat wajahnya dan hanya bisa menebak-nebak ekspresi wajahnya dari bibirnya. Aku sangat yakin dia ini adalah seorang satpam. Terlepas dari pakaiannya yang tidak sama seperti satpam biasanya dan designnya terbilang unik dari postur tubuhnya aku tahu dia bisa bela diri dan dia juga menjaga tubuhnya dengan berolahraga. Aku lebih khawatir dengan matanya. Kalau dugaanku benar dan dia terkena albino seperti Reyna gaya rambutnya itu akan mengganggu penglihatannya. Ada banyak kuman dan polutan yang hinggap di rambut karena itu memiliki poni sepanjang laki-laki ini dan dengan sengaja menutupi mata sendiri dengan poninya sama saja dengan cari masalah kesehatan, apalagi mata orang yang terkena sindrom albino sangat sensitif hal ini hanya akan memperburuk keadaan. Aku benar-benar ingin memeriksa matanya tapi kalau aku melakukan gerakan tiba-tiba aku yakin dia bisa menghindar. Dia sepertinya sudah punya banyak pengalaman meski masih muda. Aku mungkin harus membicarakan hal ini dengannya nanti. Akupun mengeluarkan kartu tanda pengenalku dan memperlihatkannya padanya.
"Salam kenal, namaku Aileen Fredella. Aku diminta pindah kemari karena keinginan kak Adara untuk menjadi pengurus baru aparteman ini."
Aku melihat dia menatapku dari atas kebawah sesaat, aku tidak tahu apa yang dia fikirkan saat melihatku karena wajahnya yang tidak terlalu terlihat tapi mau bagaimana lagi. Aku melihat dia menundukan kepalanya sesaat sebelum kemudian berkata.
"Maaf atas ketidak sopanannya nona, nama saya Haruou Arsenio Magnus, keluarga saya sudah melayani keluarga anda selama bertahun-tahun. Dan saya bertugas di sini setelah kematian ayah saya beberapa tahun lalu."
Mendengar hal itu ingatanku tiba-tiba terarah kepada pak Hasan, beliau adalah kepala pelayan sekaligus seseorang yang menjadi sosok ayah untukku. Dia orang yang baik namun juga tegas dan seseorang yang perfectionist. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghentikanku saat aku ingin melakukan sesuatu sesukaku dan satu-satunya yang bisa memarahiku dan kakak saat kami berbuat seenaknya. Dia meninggal sekitar dua tahun lalu karena sakit ginjal setelah berjuang selama lima tahun untuk melawan penyakitnya. Sayangnya aku tidak bisa datang ke pemakamannya karena aku sendiri sedang sakit saat itu dan hanya bisa mendoakan dari jauh.
Aku ingat pak Hasan bilang dia punya anak yang umurnya satu tahun lebih muda dariku dan tinggal di Tanggerang bersama istrinya, istrinya adalah pelatih beladiri dan memiliki tempat pelatihan sendiri di sana karena itu ia tidak bisa memboyongnya untuk tinggal bersamanya. Anaknya sendiri sangat suka beladiri dan Pak Hasan tidak ada keinginan untuk membawa anaknya karena ia tahu istrinya tidak bisa jauh-jauh dari anaknya. Aku pernah dengar mereka datang beberapa kali tapi aku belum pernah bertemu dengan mereka sama sekali. Mengetahui dia ini anak Pak Hasan satu hal yang ku sadari, dia sudah pasti tampan karena itu dia menutupi wajahnya dengan poninya agar dia tidak menarik perhatian.
Jangan salah, semasa hidup Pak Hasan adalah laki-laki paling tampan yang pernah ku temui, bahkan dengan umurnya yang sudah menginjak kepala lima dia tidak memiliki terlalu banyak keriput di wajahnya dan tubuhnyapun juga tegap dan nampak sehat meski sebenarnya dia sedang sakit. Pesonanya tidak menghilang sedikitpun dengan kondisinya yang kurang sehat bahkan ada anak muda dan suster di rumah sakit yang naksir padanya. Untungnya dia setia pada istrinya karena itulah aku dan kakaku punya standar tinggi soal urusan laki-laki. Kalau tidak terlalu tampan maka harus setia tapi kalau tampan maka harus setia!!
"Jadi kamu Haruou yang selalu di omongin sama Om Hasan?, aku turut berduka cita atas meninggalnya beliau. Maaf gak bisa datang ke pemakamannya."
Mendengar perkataanku aku melihat Haruou menggeleng.
"Tidak apa-apa nona, saya mengerti. Lagipula saya tahu nona punya banyak masalah yang harus anda selesaikan dan sibuk mengejar pendidikan nona yang sempat tertinggal."
Perkataan Haruou tiba-tiba membuatku teringat dengannya, sudah cukup lama aku tidak mengingat dia karena banyak kesibukanku belakangan ini dan aku bersyukur karena itu berarti aku sudah mulai melupakannya namun aku tahu itu mustahil…
"Kamu tahu ya?"
"Sebagai anak dari kepala pelayan saya tentu tahu, saya juga turut berduka cita atas apa yang menimpa nona."
Aku bisa merasakan kalau Haruou merasa tidak enak sudah membahas hal ini tapi sebenarnya aku sungguh tidak keberatan. Lagipula kejadian itu terjadi sudah sangat lama.
"Haruou, gak apa-apa. Kamu gak perlu merasa bersalah tentang hal ini. Lagipula kejadiannya udah lama."
Haruou menggeleng dan menjawab.
"Tidak nona, saya yang kurang sensitif dengan perasaan nona. Apa lagi saya tahu sampai sekarangpun anda masih berduka."
Yang dia katakan memang tidak salah, aku masih berduka. Kehilangan kakak bahkan tidak membuatku merasa sangat kehilangan seperti kehilangan 'mereka'. Luka hatiku karena kehilangan mereka masih belum sembuh dan semakin menyakitkan saat kak Adara juga pergi.
"Kandang itu… apa nona punya hewan piaraan?"
Tersadar dari lamunanku karena pertanyaan Haruou aku beralih menatap kandang Luna yang berada di sampingku, aku baru teringat dengan Luna dan belum sempat memeriksa keadaannya jadi akupun menekan pintu kandangnya dan mengeluarkan Luna dari dalam. Benar saja dia tampak agak stress berada di dalam tempat yang sempit cukup lama dan dia sepertinya kehausan. Untungnya aku sudah membuatkan satu botol susu untuk dia minum jadi aku mengambil botol susu yang kuletakan di dalam tas selempangku dan menggendong Luna untuk kuberi minum. Seperti orang pada umumnya Haruou tentu tampak terkejut melihat piaraanku yang tidak biasa.
"Namanya Luna, jangan khawatir dia jinak. Mau coba pegang?"