Chu Qiao berdiri tegak di menara pengawas saat dia memandangi Bei Shuo yang sedang bergembira. Melihat masih ada harapan untuk menang, semua orang bergegas ke tembok kota. Membawa katapel tempur yang sederhana namun kasar, mereka mempertahankan kota dengan keras kepala.
Kumpulan panah hitam ditembakkan gelombang demi gelombang dan para prajurit musuh tumbang bagaikan rumput di bawah mesin pemotong rumput. Dengan memakai mantel putih, wajah Chu Qiao tidak berekspresi. Ribuan nyawa melayang setiap detik, dan hanya karena sebuah gerakan aba-aba darinya. Darah mengalir seperti sungai, dan di beberapa tempat, sudah mulai membentuk kubangan besar. Tiba-tiba, di medan perang ini, seolah-olah nyawa manusia sudah tidak lagi berharga, mereka hanya seperti semut, saat iblis peperangan membuka mulutnya dan menelan mereka.