Udara malam begitu dingin ketika Lina melangkah keluar dari stasiun kereta. Hanya ada beberapa orang di sekitar, sebagian besar buru-buru menuju kendaraan mereka. Lina menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir kegelisahan yang menyesakkan dadanya.
Sudah lima tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini. Lima tahun sejak berita tentang Natalia tersebar luas dan menggemparkan warga sekitar. Kini, ia kembali ke rumah itu—rumah yang menyimpan lebih banyak kenangan buruk daripada kenangan baik.
Tangannya menggenggam erat pegangan kopernya, sementara langkahnya terasa semakin berat. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi bayangan tentang Natalia terus menghantui. Bagaimana bisa seseorang menghilang begitu saja tanpa jejak? Darahnya ada di mana-mana, tetapi tubuhnya tidak pernah ditemukan.
Saat memasuki gang kecil yang menuju rumahnya, Lina memperhatikan sesuatu yang berbeda. Lingkungan di sekitar tampak lebih sepi dari biasanya. Lampu jalan berkelap-kelip lemah, menciptakan bayangan yang bergerak seperti sosok yang mengintai. Beberapa rumah yang dulunya ramai kini gelap dan tak berpenghuni.
Ketika rumahnya akhirnya terlihat di ujung jalan, perasaan aneh menyergapnya. Rumah itu tidak berubah—masih berdiri dengan cat yang mulai memudar dan jendela yang tertutup rapat. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suasananya… lebih sunyi.
Lina mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka, dan wajah ibunya muncul di baliknya. Wanita itu tampak lebih tua, garis-garis kelelahan di wajahnya lebih jelas dari yang terakhir kali Lina ingat.
"Lina…" suara ibu terdengar serak, seolah menahan emosi yang telah lama tertahan.
Lina tersenyum kecil dan masuk ke dalam. Suasana di dalam rumah tidak jauh berbeda dengan luar—sepi dan terasa dingin. Tidak ada suara televisi, tidak ada suara tawa. Hanya ada keheningan yang menusuk.
Ia meletakkan kopernya di dekat sofa dan duduk. Ibu duduk di hadapannya, menatapnya dalam diam.
"Bagaimana kabar Dimas?" Lina bertanya, mencoba mencairkan suasana.
Ibu tersenyum tipis. "Dia di kamar. Lebih banyak mengurung diri sekarang."
Lina mengangguk. Tidak heran. Anak itu pasti masih trauma dengan apa yang terjadi lima tahun lalu.
Setelah berbasa-basi sebentar, terdengar ketukan di pintu. Ibu segera berdiri dan membukanya. Seorang polisi berdiri di sana, wajahnya penuh keseriusan.
"Maaf mengganggu, Bu. Kami hanya ingin memberikan laporan terakhir tentang kasus Natalia."
Ibu mempersilakan polisi itu masuk. Lina duduk diam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Kami tidak menemukan jasadnya."
Ibu menundukkan kepala. Sudah lima tahun, tetapi mendengar pernyataan itu tetap menyakitkan.
"Tapi darahnya ditemukan terseret hingga ke dalam kamarnya," lanjut polisi itu. "Itu terakhir kalinya ada tanda-tanda keberadaannya. Kami tidak bisa menyimpulkan apakah dia diculik, dibunuh, atau…" Polisi itu berhenti, seakan ragu untuk melanjutkan.
"Atau?" Lina bertanya, nadanya dingin.
Polisi menghela napas. "Atau… dia masih di sana."
Sunyi.
Ibu menggeleng cepat. "Tidak. Itu tidak mungkin. Natalia sudah… sudah pergi."
Lina diam saja. Ada sesuatu dalam pernyataan polisi itu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Setelah polisi berpamitan dan pergi, ibu beranjak ke dapur untuk membuat teh. Lina tetap di tempatnya, tetapi pikirannya tidak tenang.
Ia berdiri dan berjalan tanpa arah… hingga langkahnya membawanya ke lorong yang menuju kamar Natalia.
Ia tidak tahu kamar itu terlarang.
Tapi ada sesuatu yang menariknya ke sana.
Tangannya meraih gagang pintu dan mendorongnya.
Klek.
Pintu terbuka dengan mudah. Tidak terkunci.
Aroma anyir langsung menyeruak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Lantai kamar dipenuhi darah yang telah mengering. Jejaknya membentuk pola aneh, menyeret ke satu sudut ruangan.
Matanya tertuju pada sesuatu di lantai.
Sebuah cincin.
Masih bersih. Masih mengkilap, seolah baru saja diletakkan di sana.
Tanpa berpikir panjang, Lina mengambilnya dan memakainya di jari manisnya.
Saat itu juga, udara di dalam ruangan berubah. Suhu turun drastis, membuat napasnya mengembun. Ia segera keluar dan menutup pintu.
Saat kembali ke ruang tamu, ibu menatapnya dengan raut cemas.
"Kamu tidak masuk ke kamar Natalia, kan?"
Lina terdiam.
Ibu menelan ludah. "Kamar itu… seharusnya tetap tertutup."
Sebelum Lina sempat menjawab, suara keras terdengar dari dapur.
BRAK!
Gelas pecah. Lemari bergetar.
Lina dan ibu menoleh dengan panik.
Dan di sana, berdiri sosok yang tidak seharusnya ada.
Natalia.
Wajahnya hancur, matanya penuh dendam. Ia menatap mereka, napasnya berat, tangannya berdarah.
Lina menahan napas.
Namun, secepat ia muncul, ia menghilang.
Sunyi.
Lina menoleh ke kamar Dimas. Tidak ada suara. Tidak ada reaksi.
Pintu kamarnya sedikit terbuka.
Dengan perasaan tidak enak, Lina melangkah masuk.
Dan langsung menahan teriakannya.
Tubuh Dimas…
Hancur.
Potongan-potongan tubuhnya berserakan di lantai.
Dimas sudah mati.
Dan semua ini… dimulai kembali.
To Be Continue...