Chereads / Gadis Kelam 2 / Chapter 4 - Bab 4, Meninggalkan Ketakutan

Chapter 4 - Bab 4, Meninggalkan Ketakutan

Mobil melaju perlahan di jalanan Bandung yang basah setelah hujan. Di dalamnya, Lina duduk di kursi pengemudi dengan mata fokus ke jalan, sementara ibunya duduk di sebelah, memandangi pemandangan kota yang semakin ramai.

Hujan rintik-rintik masih turun, membuat kaca depan sedikit buram meskipun wiper terus bekerja.

"Lina," panggil ibunya pelan.

"Hm?" Lina melirik sebentar.

"Apa kita benar-benar meninggalkan semuanya begitu saja?"

Lina menghela napas dan menggenggam setir lebih erat. "Bu, kita udah bahas ini. Aku gak bisa tinggal di rumah itu lagi. Lagipula, aku udah punya rumah di sini. Ibu bisa tinggal dengan nyaman."

Ibunya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya... Mungkin ini yang terbaik."

Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya mereka tiba di kompleks perumahan tempat Lina tinggal. Rumahnya sederhana tapi nyaman, dengan taman kecil di depan dan pagar besi hitam yang kokoh. Tidak seperti rumah lama mereka, rumah ini terasa lebih hidup dan jauh dari kesan menyeramkan.

Lina memarkirkan mobil dan keluar, menarik napas dalam-dalam. Bandung memiliki udara yang lebih sejuk dibanding kota sebelumnya.

"Ah, akhirnya sampai juga," ucapnya sambil menggeliat.

Ibunya tersenyum kecil dan ikut keluar dari mobil. "Rumahmu terlihat nyaman, Lina."

Lina mengangguk. "Aku harap begitu, Bu."

Namun, sebelum mereka sempat masuk ke dalam rumah, terdengar suara seseorang dari belakang.

"Halo, wanita independen yang baru saja kembali ke tanah kelahirannya!"

Lina langsung menoleh dengan ekspresi datar. Seorang pria berdiri di dekat pagar, mengenakan jaket cokelat dengan senyum lebarnya yang khas.

Natan.

Rekan kerjanya yang selalu berusaha mendekatinya, meskipun Lina tidak pernah benar-benar menganggapnya serius.

"Natan? Ngapain kamu di sini?" tanya Lina malas.

"Aduh, Lina... Kasar banget. Aku kan cuma ingin menyambutmu dengan hangat." Natan meletakkan tangannya di dada seolah tersinggung.

Ibunya tertawa kecil melihat tingkah pria itu. "Lina, ini teman kerja kamu?"

Natan langsung membungkuk hormat. "Betul sekali, Bu! Saya Natan, rekan kerja Lina yang paling keren dan tampan di kantor."

Lina mendengus. "Ngaku-ngaku."

"Tapi bener, kan?" Natan mengedipkan sebelah mata, membuat Lina hanya bisa menghela napas panjang.

Ibunya tersenyum. "Ah, kamu lucu juga, Nak Natan. Tapi, kenapa kamu ada di sini?"

"Sebenarnya aku tadi lewat daerah sini dan lihat mobil Lina masuk. Aku pikir, 'wah, ini kesempatan emas buat menyambutnya!' Jadi ya, aku mampir deh," jawab Natan santai.

Lina hanya melipat tangan di dada. "Dan sekarang kamu udah menyambutku. Jadi silakan pulang."

Natan memasang wajah memelas. "Lina, kejam banget sih? Aku ini kan teman baikmu..."

"Teman?"

Natan tertawa canggung. "Oke, oke. Mungkin aku berharap lebih dari sekadar teman, tapi kita bisa mulai dari sana, kan?"

Lina hanya menatapnya datar, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. "Terserah."

Ibunya hanya tertawa kecil sebelum mengikuti Lina masuk. Namun, sebelum pintu tertutup, Natan menyelipkan kakinya ke celah pintu.

"Eh, Lina, boleh aku masuk sebentar?"

Lina menatapnya curiga. "Buat apa?"

"Ya siapa tahu kamu butuh bantuan mengangkat barang atau semacamnya."

Lina menghela napas panjang. Ia tahu Natan hanya mencari alasan untuk tetap dekat dengannya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak terlalu keberatan.

"Terserah. Jangan bikin ribut," ujarnya akhirnya.

Natan langsung bersorak kecil. "Siap, Boss!"

---

Di dalam rumah, suasana jauh lebih nyaman. Ibunya mulai berkeliling, melihat-lihat setiap ruangan dengan kagum.

"Lina, rumah ini luas juga, ya?"

Lina mengangguk. "Iya, cukup buat kita tinggal nyaman."

Sementara itu, Natan sudah nyaman sendiri, duduk di sofa dengan tangan di belakang kepala. "Wah, enak banget nih rumahnya. Aku betah kalau tinggal di sini."

Lina menoleh dengan tatapan tajam. "Siapa yang bilang kamu boleh tinggal di sini?"

"Yah, aku kan bisa jadi tamu kehormatan, minimal seminggu aja..." Natan terkekeh.

Lina menggeleng, tapi entah kenapa senyum kecil muncul di wajahnya.

Semenjak kejadian di rumah lama, ia hampir lupa bagaimana rasanya tertawa.

Dan entah kenapa, kehadiran Natan membuat suasana menjadi lebih ringan.

---

Hari-hari berlalu dengan cepat.

Lina mulai terbiasa dengan kehadiran Natan di rumahnya. Awalnya, ia berpikir pria itu hanya akan menginap sehari atau dua hari, tapi ternyata Natan benar-benar berniat tinggal sementara waktu.

"Aku serius, Lina. Aku butuh tempat tinggal sementara, dan rumahmu ini nyaman banget," kata Natan suatu malam saat mereka sedang duduk di ruang tamu.

Lina mendengus. "Kamu kan punya apartemen sendiri."

"Ya, tapi sendirian di apartemen itu membosankan," jawab Natan santai. "Di sini aku bisa ngobrol sama kamu, sama ibumu. Lagipula, kalau ada orang jahat, aku bisa langsung melindungi kalian!"

Lina menatapnya dengan ekspresi datar. "Oh, jadi kamu mau bilang kamu pemberani?"

"Tentu saja!" Natan menepuk dadanya dengan bangga. "Aku ini laki-laki sejati!"

Namun, tak lama setelah ia berkata begitu, seekor kecoak terbang melewati ruang tamu.

Dan dalam hitungan detik, Natan sudah berlari ke belakang sofa dengan ekspresi panik.

"Kecoa! Tolong! Itu monster terbang!"

Lina tertawa keras melihat reaksinya, sementara ibunya hanya menggeleng sambil tersenyum.

Mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lina mulai merasa bahwa semuanya benar-benar telah berakhir.

Bahwa kegelapan yang menghantui hidupnya telah pergi.

Namun, ia tidak tahu bahwa sesuatu sedang mengawasinya.

Dan itu hanya masalah waktu sebelum semuanya kembali berubah.

To Be Continue...